Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Januari 2012

Sudah

Sedang dunia masih kokoh bersandiwara,
sudah..
Kabut hitam itu telah tiada.
hari ini Sang Maha Daya sudah tunjukkan semua.

Aku tahu siapa dia..
Sudah bukan lagi waktuku untuk bermuram asa

Jumat, 27 Januari 2012

Surat untuk Samiadji,


Surat untuk Samiadji,
Sudah dua puluh satu tahun kau tiupkan nafas di rongga ini,
Perihal fana yang pernah kau ceritakan dulu,
Meski anganmu tak mampu gapai itu.

Surat, untuk Samiadji,
Semoga kau paham maksud kedatanganku,
Menantimu di sela-sela stasiun kereta,
Berjejalan dengan penumpang lainnya.

Entah sampai kapan, Samiadji…
Ku tulis surat berucap sepi,
Ku selipkan harap dan doa di sela sunyi
Ku tatap cahaya yang semakin lari


Samiadji,
Jika kau tahu
Ia sudah mampu
Mengepalkan tangannya yang erat,
Hingga kau terjatuh
Dan mati.

Gresik, 03 Januari 2012

Senin, 02 Januari 2012

lagi coba nulis yang berbau agama...:)


Sinopsis
Dalam angannya ia berandai, “Jika aku tidak di tempat ini, mungkin aku sedang bersama teman-temanku menikmati siang di deretan penjual es campur di seberang jalan atau sedang memilah-milah novel-novel lama di kios milik penjual buku bekas di pasar”.
Zahira adalah seorang putri dari keluarga yang memiliki tingkat kereligiusan tinggi. Ayahnya pernah mengenyam pendidikan di negeri para Nabi, Mesir. Ibunya adalah seorang penulis terkenal. Oleh orangtuanya, Ia harus “dipaksa” untuk mengenyam pendidikan di pesantren Nurul Iman Surabaya asuhan Kyai Amin. Keinginannya untuk memasuki sekolah umum paska kelulusannya dari MTs membuatnya merasa tertekan. Ia mengalami kebosanan yang teramat sangat. Bagaimana ia bisa mengusir kebosanannya itu? Apakah ia mampu keluar dari tekanan itu? Apakah ia berhasil mengejar cita-citanya meski ia adalah seorang santriwati?








“Langit dan Sangkar itu Saksinya”
oleh Noura Nahdliyah*

Kehidupan pesantren membuat Zahira merasa tertekan. Ia sangat terganggu dengan hafalan-hafalan, peraturan dan sebagainya. Keinginannya untuk memasuki sekolah umum harus gagal ketika ayah dan ibunya memasukkannya secara “paksa” di Pondok Pesantren Nurul Iman, Surabaya. Karena itu, ia sama sekali tidak merasakan kenyamanan sedikitpun ketika tinggal di pesantren. Sehari-hari ia hanya berdiam di atas loteng, tempat para santriwati biasa menjemur pakaian. Ia menulis buku harian, membaca novel serta mendengarkan musik dari MP3 player yang ia sembunyikan di balik kerudung panjangnya.
Zahira tinggal di sebuah ruangan sempit berisikan 40 santriwati. Ia menatap langit-langit kamar sempit itu. Dalam angannya ia berandai, “Jika aku tidak di tempat ini, mungkin aku sedang bersama teman-temanku menikmati siang di deretan penjual es campur di seberang jalan atau sedang memilah-milah novel-novel lama di kios milik penjual buku bekas di pasar”. Kemudian bayangannya berpindah ke gerombolan perempuan berkerudung membawa kitab suci. Seketika ia menggumam, “Entahlah”. Suara pintu almari seperti ia banting setelahnya, lalu ia pun keluar kamar, menikmati udara segar di tempat favoritnya.
(“_”)
Sudah tiga bulan Zahira nyantri di pondok ini. Selulus MTs ia dimasukkan ke pesantren oleh orang tuanya. Menurut mereka, pesantren adalah tempat yang paling tepat untuk Zahira, mengingat ia adalah putri dari keluarga yang memiliki tingkat religius yang tinggi. Pesantren yang dikelola sahabat baik ayahnya inilah yang menjadi pilihan utama. Sebuah pesantren milik KH. Amin yang bernama Pondok Pesantren Nurul Iman. Kemahiran Zahira dalam berbahasa arab dan inggris ketika di Mts membuat orang tuanya semakin yakin akan pilihannya itu. Di sisi lain, seorang Zahira yang aktif dalam organisasi siswa di MTs-nya merasa tidak tertantang jika harus menimba ilmu agama di pesantren. Baginya, ilmu yang sudah ia dapatkan di pendidikan formalnya yang rata-rata berbasis islami itu sudah cukup. Ditambah kesehariannya yang memang ditata seagamis mungkin oleh kedua orangtuanya itulah yang membuat ia merasa cukup. Selulus MTs ia ingin bersekolah di sekolah umum. Menurutnya, dengan pengetahuan agama yang cukup dimilikinya serta pengetahuan umum yang akan ia dapatkan di sekolah umum nantinya dapat membuatnya merasa mampu memiliki bekal lebih ketika ia dewasa nanti. Namun, kedua orangtuanya tetap pada pendirian semula, ia harus masuk pesantren.
“Tapi Zahira ndak mau, bah.. Abah dan Ibu seharusnya mengerti.. Zahira capek.. Zahira ingin jadi penulis. Zahira ingin jadi seperti mereka yang punya buku-buku bagus, diterbitkan, mendapatkan beasiswa ke luar negeri, terkenal”. Kata gadis berkerudung putih dengan terisak. Seorang lelaki paruh baya terlihat duduk diam di depannya. Hanya diam. Kemudian seorang ibu mencoba menenangkan gadis itu. “Ibu dan Abah mengerti, nduk.. Kamu ingin jadi penulis besar. Kami mendukung. Tapi jangan sekali-kali kamu berfikiran jika di pesantren kamu tidak dapat berkembang. Kamu masih bisa mewujudkan mimpimu itu, nduk.. Pesantren bukan seperti yang kamu bayangkan”, kata ibu itu meyakinkan. Gadis itu hanya diam. Ingin membantah Ibu dan Abahnya namun ia belum memiliki cukup keberanian.
Zahira, nama gadis itu. Wajahnya cantik, putih, kental sekali dengan wajah timur tengah. Pasti, karena ibunya masih memiliki keturunan dari negeri para nabi itu. Prestasinya di sekolah tidak di ragukan lagi. Ia selalu menduduki peringkat pertama di kelasnya. Prestasi non formalnya pun tidak kalah. Ia adalah ketua organisasi siswa di tempat dimana ia belajar. Kegemarannya membaca buku-buku ayahnya yang merupakan seorang guru besar satu universitas membuat pandangannya terhadap dunia semakin meluas. Hal itu membuat ia menginginkan untuk menjadi lebih dari yang sekarang ia dapatkan.
Kegemarannya menulis yang diturunkan oleh ibunya membuat ia semakin menginginkan lebih. Baginya, ilmu pengetahuan yang ia dapatkan belum cukup. Ia meyakini jika pengetahuan umumnya akan bertambah jika ia sekolah di sekolah umum, sekolah negeri. Meski kedua orang tuanya sama-sama memiliki pengetahuan umum yang tinggi, namun mereka tetap meyakini jika pengetahuan agama adalah lebih utama. Mereka mengenal Zahira. Kemampuan sosialisasi Zahira yang seperti itu membuat mereka khawatir nantinya Zahira belum bisa memagari dirinya dengan baik. Meski Zahira yakin ia sudah cukup dewasa untuk menjadi bijak atas dirinya sendiri, namun jaminan itu belum membuat orangtuanya merasa cukup.
(“_”)
Zahira memasuki pagar bertuliskan Pondok Pesantren Nurul Iman dengan perasaan bergejolak. Bermacam bayangan atas kehidupan pesantren membuatnya enggan melangkahkan kaki menuju bangunan utama, ndalem. Sepasang mata dara di atas atap ndalem seperti menyindirnya. Mungkin jika burung itu mampu berbicara, maka ia akan berkata, “Memangnya enak di kurung di pesantren. Meski bersama orang-orang yang katanya beragama, tapi tetap tidak enak. Dikurung di dalam sangkar yang meskipun terlihat seperti emas. Seperti aku”. Zahira tersenyum, seperti mengerti akan tatapan burung itu.
Seorang pria bersurban dan berjenggot panjang menyapa di teras bangunan yang paling besar di antaranya bangunan lainnya. Salam pun dicapkan oleh pak Hadi, abah Zahira. Mereka bertiga duduk di atas kursi kayu berukir. Pak hadi membuka bercakapan. Ia menjelaskan maksud kedatangannya. Persahabatan pak Hadi serta Kyai Amin yang sudah lama membuat mereka seperti keluarga. Mereka bersahabat ketika sama-sama belajar di negeri para nabi, Mesir.
Zahira kemudian dimasukkan di kamar santriwati di lantai tiga. Seperti santriwati lainnya, ia tidak dibedakan meski ia adalah putri sahabat baik Kyai. Memasuki ruangan sempit berisikan almari katu berjejer di ujung kamar serta rentetan baju kotor yang disusun rapi dengan gantungan baju serta disematkan pada tongkat kayu panjang yang kemudian dikuatkan dengan tali, pemandangan khas pondok pesantren. Tampak pula berjajar kitab-kitab, mulai dari Al Quran, Nashoihul Ibad, Riyadhus Sholihin dan sebagainya, “Ah, apa-apaan ini.. Zahira sudah mendapatkannya di MTs, Abah... Zahira tidak suka”, katanya dalam hati.
Setelah beberapa saat bercakap dengan Kyai Amin, pak Hadi segera pulang. Hal ini menjadi tanda diresmikannya Zahira sebagai salah satu santriwati di Pondok Pesantren asuhan Kyai Amin. Beragam rasa berkecamuk dalam hati Zahira. Mereka berkejaran seperti menerkam hati Zahira yang kalut, kemudian merasuk di otak serta membawa Zahira pada kebencian, “Sial”.
Hari-hari Zahira diisi dengan rutinitas yang menurutnya membosankan. Setiap pagi ia bangun tidur pagi sekali, sholat shubuh, mengaji, sholat dhuha, mengaji, sholat dhuhur, istirahat, sholat ashar yang diteruskan dengan sholat maghrib, mengaji, sholat isya’ dan mengaji kembali hingga pukul sepuluh malam, bersamaan dengankantuk yang manis menyapa. “Zahira bosan, Abah... Bawa Zahira pulang...”, kalimat itu muncul dari mulutnya, sementara matanya menitihkan benih air mata.
(“_”)
Zahira mulai merasakan hal yang berbeda ketika ia menikmati tengah tahun pertamanya di pesantren. Mudahnya ia bersosialisasi membuat ia mudah mengenal baik para pengurus pesantren. Kegemarannya membaca ia pergunakan untuk menyambangi kantor pengurus yang memiliki banyak rak-rak berisi buku bagus. Dan ia baru menyadari jika banyak terdapat novel di sana, cerpen serta kumpulan puisi sama seperti buku-bukunya di rumah. “Di pesantren ini boleh baca novel, ukhti...?”, tanya ia dengan heran. “Ya boleh lah, ukhti... Ini salah satu cara kita untuk berfikir maju. Ukhti nanti merasakan ketika sudah satu tahun di sini. Nanti ada klub sastra juga. Kalau ukhti suka menulis, ada klub jurnalistik dan menulis kreatif”, jelas salah satu santriwati pengurus.
Zahira menunjukkan sikap tertarik. Setiap minggu ia datangi kantor pengurus, dipinjamnya beberapa buku dan ia pun memiliki tempat baca favorit, loteng pesantren tempat santriwati menjemur pakaian. Setiap waktu istirahat ia baca novel-novel itu. Tidak jarang juga ia meminjam buku-buku sosial, penelitian serta lainnya. Baginya membaca adalah salah satu alternatif mengusir kebosanan. Suatu ketika ia meminta kiriman MP3 player dari sepupunya. “Buat apa, Zah.. Nanti Abahmu marah. Bukannya tidak boleh membawa apapun yang berbau musik di pesantren?”, kata Firda, sepupunya. “Sudahlah, mbak firda... Zahira bisa jaga kok... Boleh ya.. Nanti kalau mbak firda disuruh Abah buat sambang Zahira, mbak firda bawa ya...”, katanya melalui wartel pesantren.
Kehadiran MP3 player itu mampu menemani hari-hari Zahira dengan cukup nikmat. Ia nikmati suara yang mengalir dari kotak kecil itu sembari menyelesaikan bacaan-bacaannya. Namun ternyata ia masih belum bisa merasakan nikmat yang sebenarnya. Tiba-tiba ia mengamini bayangannya tentang suara burung dara sewaktu pertama ia masuk pesantren, “Memangnya enak di kurung di pesantren. Meski bersama orang-orang yang katanya beragama, tapi tetap tidak enak. Dikurung di dalam sangkar yang meskipun terlihat seperti emas. Seperti aku”.
(“_”)
Liburan tahun pertamanya ia habiskan di rumah. Libur yang tidak hampir satu bulan ini dibuatnya seindah mungkin. Ia berkumpul dengan teman-temnannya se-MTs dulu, bercanda dan bercerita tentang pendidikan masing-masing. Banyak cerita hadir di sana. Rata-rata temannya memiliki nilai hampir sempurna di ujian akhir semester. “Pelajarannya menarik loh, Zah... IPA itu dibagi lagi. Selain Fisika dan Biologi, ada Kimia juga”, kata Shafa dengan antusias. Zahira hanya diam dan menghabiskan es campur di depannya. “Sudahlah”, katanya dalam hati.
Liburan yang telah usai segera membawanya kembali ke pesantren. Ia menikmati tahun keduanya dengan cukup menyenangkan. Ia menjadi penulis rubrik sastra di buleti pesantren. Kemampuannya berbahasa inggris dan arab membuatnya mudah untuk menjalani tugas barunya itu. “Zahira senang sekarang, Abah...”, katanya sambil tersenyum ketika tulisannya terpampang di dalam buletin yang baru saja cetak. Ia terus mengasah kemampuannya. Ia tak lagi membutuhkan MP3 player untuk menemaninya mengusir kebosanan. Ia pun tak hanya meminjam novel, buku-buku sastra lainnya pun ia lahap. Tulisannya di buletin juga semakin berbobot.
Kebahagiaan Zahira bertambah ketika ia diangkat sebagai pimpinan redaksi buletin pesantren di tahun ketiga. Ia semakin semangat dengan tulisan-tulisannya, membimbing santriwati lainnya untuk menulis dengan baik. Tak cukup itu, ia pun menajalani hari-harinya dengan bangga. Pelajaran di pesantren mampu ia kuasai dengan baik. Hal itu berlangsung cukup baik hingga tahun terakhirnya di pesantren, tahun ke tujuh.
Memang, seorang Zahira tidak bisa diremehkan, akh..”, kata Kyai Amin ketika bercakap dengan pak Hadi di telepon. Kyai Amin yang dengan langsung mengawasi setiap perkembangan Zahira di pesantren cukup puas dengan apa yang dicapai Zahira. Ia pun merasa bahwa sudah cukup ia menjadikan Zahira sebagai santriwatinya. “Saatnya ia mengabdi di lingkungan, akh..”, ucap Kyai Amin kemudian. “Aku ingin menempatkannya di pesantren. Santriwati-santriwati di sini membutuhkan ustadzah seperti dia, yang mampu berfikir modern dan tentunya tidak meninggalkan keharusannya sebagai seorang muslimah”, lanjut Kyai Amin. “Terserah panjenengan, akh.. Saya manut. Namun alangkah baiknya jika hal ini dimusyawarahkan dengan Zahira dulu”, balas pak Hadi.
(“_”)
Dua tahun setelah pengabdiannya di pesantren.
Zahira memasuki ruangan persegi panjang di sudut pesantren. Rak-rak buku yang berisi berbagai macam buku membuatnya betah seharian duduk di mejanya. Kini ia adalah penasihat buletin pesantren. Ia pun mengajar di pesantren, pelajaran bahasa arab dan bahasa inggris. Zahira duduk di depan mejanya, mengambil amplop coklat di dalam map merah. Tertulis di mukanya:
Yth:
Sdri. Zahira Khairun Nisa
d/a Pondok Pesantren Nurul Iman
Surabaya Jawa Timur
Ia tersenyum menatap langit-langit ruangan. Ia buka amplop yang di pegangnya. Senyumnya kembali merona. “Alhamdulillah ya Rabb”, katanya lirih.
(“_”)
Suatu sore.
Zahira terlihat menatap langit atas loteng tempat ia biasa menetap, tempat favoritnya. Senyumnya cerah. Ia menikmati awan yang berarak menyapanya, bersandar pada dinding putih yang ia banggakan. Satu minggu lagi ia berangkat. Ia akan segera meninggalkan Indonesia. Langit Al-Azhar telah menyapanya. Senyuman pun dihadiahkan Tuhan lewat sesuatu di atas atap ndalem. “Selamat datang di Kairo, Zah..”, kata Burung Dara itu.

Surabaya, 19 November 2011
Di antara nyata dan maya