Cari Blog Ini

Sabtu, 25 Februari 2012

cerpen


“Sebuah Firasat”

Bemo yang aku tumpangi berjalan naik turun. Namun tak lagi kutemui terjalnya kerikil yang kerap  tertancap erat di atas tanah bergerigi ini. Paving yang disusun rapi menjuntai indah dari ujung perbatasan kecamatan hingga desa tempatku berjalan kini. Sangat berbeda pemandangannya sekarang. Masih aku ingat, pertengahan tahun 2000 aku meninggalkan desa kecil ini, terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di atas tanah berbalut kerikil. Masih banyak hutan liar di pinggir jalan. Masih banyak jalan-jalan berogga yang dibiarkan becek disapa hujan. Kedatanganku kali ini seperti menjadi saksi yang berbeda. Tak ada lagi hutan yang dipeluk mesra oleh jurang. Tak ada lagi jalanan yang dibiarkan becek karena cumbu hujan. Cahaya pun sudah terang sekarang. Benar, surat Emak waktu itu. Desa ini sudah berbeda sekarang. Sepuluh tahun yang kutinggalkan ini sudah merubahnya menjadi indah oleh villa-villa megah milik orang kota. Air terjun, pematang sawah, serta kali comberan pun sudah disulap menjadi tempat wisata.
Bemo yang sudah uzur suaranya ini kemudian berhenti di sebuah rumah kecil di ujung jalan. Tampak lapangan di sebelah rumah itu penuh sesak oleh bocah-bocah kecil yang sedang asyik bermain bola. Aku turun dari bemo, menginjakkan kaki untuk yang pertama kalinya setelah sepuluh tahun aku tinggalkan. Aku memejamkan mataku sejenak, menghirup udara sore yang mendung ini. Ada bau tidak sedap seertinya. Ini berbeda dengan indah sore yang biasanya.
Seorang perempuan yang sudah cukup dimakan usia itu berlari menghampiriku. Dibiarkannya tampah yang penuh beras itu jatuh ke lantai. Segera ia menuju tempatku berdiri. “Maman…”, teriak perempuan itu seraya memelukku. “Ini kamu, nak..”, katanya dengan mengusap rambut dan wajahku satu persatu. Diajaknya aku masuk ke dalam ruang kecil di balik serambi rumah. Ruang itu kecil, hanya berisi empat pasang kursi kayu tua serta satu meja bundar di tengahnya. Aku duduk dan dielusnya rambutku lagi. Tak terasa air mataku keluar.
Ini tempatku tinggal. Perempuan yang cukup berumur itu adalah Emakku. Aku memanggilnya Emak, sebutan khas orang desa untuk ibu. Aku pergi merantau atas permintaannya. Katanya, “Anak laki-laki itu harus bisa mandiri. Merantaulah. Manisnya hidup itu akan terasa setelah lelah berjaung”. Aku mengikuti nasihat itu dan pergi ke Jakarta. Baru setelah itu aku tahu jika nasihat Emak waktu itu adalah kutipan dari sabda ulama besar. Bukan mudah aku hidup di rantau. Hingga sepuluh tahun ini, aku baru bisa pulang. Tentunya dengan pundi-pundi yang sudah cukup di tangan.
---*---
Perempuan yang aku panggil Emak itu kemudian menghadiahkan aku sepiring nasi  putih hangat dengan lauk belut goreng dan sambal terasi. Diajaknya aku menikmati santapan sore itu dengan melihat bocah-bocah yang sedang berlari mengejar satu bola. Emak memanggil mereka. Diambilkannya sepiring penuh belut goreng serta sebakul nasi putih. Pun tak lupa sambal terasi yang ia suguhkan langsung di atas cobek. Kata Emak, tidak baik menyembunyikan makanan kepada tetangga. Makanan enak itu untuk dibagi. Begitu kata Emak yang selalu menanamkan jurus berbagi kepadaku setiap waktu. Meski bisa dibilang makanan ini biasa saja dan tidak banyak, namun prinsip berbagi itu sudah Emak patrikan dengan dalam pada jiwaku. Setelah mengambil makanan dari tangan Emak, bocah-bocah itupun menyantapnya di tengah lapangan.
“Masih untung mereka mau bermain seperti itu”, kata Emak tiba-tiba. Aku sekarang mengerti apa maksudnya. Lalu ia bercerita jika desa ini sudah berubah. Kedatangan orang-orang kota membuatnya seperti ini. “Orang-orang kota itu membawa uang, Man.. katanya, desa kita ini indah, bagus untuk wisata atau apalah itu namanya. Mereka mengajak pak camat membangun desa ini hingga menjadi seperti sekarang. Mereka membangung pemandian air panas di atas, air terjun dan kali comberan sudah dipagari. Masuknya bayar”, kata Emak dengan mata berkaca. Aku menyeruput teh manis di atas meja. “Bagus, Mak.. Desa kita jadi terkenal kan sekarang.. Maman juga sudah mendengar kabar ini dari kota. Maman mendengar jika warga di desa ini sudah berkecukupan hidupnya”, kataku. Emak kemudian mengambil sepotong singkong rebus dari piring dan melahapnya sedikit. Kemudian ia bersuara, “Bagus apanya, Man.. Kaya apanya… kehidupan memang sudah berkecukupan. Tapi moral? Emak nangis melihatnya”. Emakku menangis. Dari ceritanya aku kemudian tahu jika ini adalah hal bodoh. Menurutku, pak camat sudah salah telah membiarkan desa ini berubah.
Dari cerita Emak, tempat-tempat wisata itu tak ubahnya sarang penyamun yang siap mengobrak-abrik harta pelayar yang kebetulan lewat. Villa-villa itu setiap harinya didatangi muda-mudi berbaju minim yang siap dikuras habis perhiasannya. Pemandian air panas itu tak ubahnya seperti kolam susu bagi manusia berperut buncit yang haus. Air mata Emak terkuras habis karena cerita itu. “Kamu ingat Wulan, Man..”, Tanya Emak kemudian.
Wulan. Nama itu. Wulandari, sahabat yang setia menemaniku mengupas kulit singkong, lalu kita bersama mengangkutnya ke pasar dengan sepeda ontel tua warisan bapakku. Wulandari, satu-satunya sahabat yang mengerti bagaimana aku dan apa yang aku inginkan. “Iya, Mak.. Maman ingat”, kataku kemudian. Hatiku seperti tersayat ketika Emak bercerita tentang gadis berlesung pipit itu. Ia bekerja di salah satu villa sekarang. Hari-harinya ia gunakan untuk menemani sang perut buncit untuk sekedar minum the dan sarapan. Bahkan tak jarang juga ia menemaninya berkubang dalam selimut hitam. “Bukan Wulan saja, Man.. Hampir seluruh gadis muda di desa ini bekerja di tempat-tempat itu. Hanya perempuan tua seperti Emak inilah yang diiarkan tetap bekerja di sawah. Gadis-gadis itu perlu uang karena bapak-bapaknya yang malas bekerja. Dan benar, uang akan datang sesuai dengan yang sudah dijanjikan”, kata Emak menangis.
Tangisan Emak membawaku pada ingatan tentang laki-laki ringkih yang terbaring di atas ranjang dua puluh tahun yang lalu. Usiaku masih kecil waktu itu. Laki-laki itu berkata, “Pergilah ke makam buyutmu. Mintalah doa kepada Tuhan lewat perantara buyutmu. Berdoalah untuk kesembuhanku dan untuk desa ini”. Namun sepertinya doaku belum beruntung. Tepat ketika kakiku memasuki serambi rumah setelah dari makam buyutku, nafas laki-laki itu habis. Ia meninggalkan desa ini dengan segala rahasianya.
---*---
Sepuluh tahun setelah kepergiannya, aku pergi meninggalkan desa ini. Aku mencari kehidupan baru di kota, menemukan serpihan-serpihan lain hidupku yang belum tersusun rapi. Aku bergi meninggalkan Emak sendirian. Sawah peninggalan turun temurun dari buyutku itulah yang menjadi kesibukan sehari-harinya. Jika cuaca tidak bersahabat, ia lebih memilih untuk berdiam di rumah, menjahit kain-kain perca untuk dibawanya ke pengepul yang akan menyulapnya menjadi keset.
Emak sudah merapikan santapanku sore ini. Mataku masih setia menapaki jengkal demi jengkal langkah bocah-bocah itu bermain bola. Rasanya aku seperti dibawa terbang melayang di tengah lapangan dan melihat aku sendiri yang sedang berkejaran dengan bocah-bocah lain menendang bola. Aku pun kemudian teringat akan kebiasaanku tiap sore ketika aku masih kecil waktu itu. Tentunya masih ada bapak yang selalu duduk di kursi serambi dengan kacamata plusnya serta alquran kecil di tangan. Setelah aku bermain bola, bapak selalu menyuruhku duduk di sampingnya. Dimintanya aku untuk memijit kakinya, meski sebenarnya dalam anganku, akulah yang pantas untuk dipijit karena baru saja bermain bola.
Biasanya, bapak selalu bercerita tentang buyutku yang pernah menjadi pak camat di desa ini. Bapak juga sebenarnya kurang mengerti karena memang itu bukan jamannya. Namun kakekku selalu bercerita kepada bapak tentang apa-apa yang terjadi di desa ini. Pernah bapak bercerita tentang dipenjaranya buyutku hanya karena ia memberi makan gelandangan di ujung kecamatan. Kata orang-orang, mereka sama miskinnya degan orang kebanyakan. Semua warga kecamatan miskin. Mengapa harus memberi mereka makan? Uang darimana? Korupsi? Pantas saja kecamatan tidak maju. Cerita bapak membatku merenung sekarang. Aku juga ingat ketika bapak bercerita tentang buyutku yang dituduh menjadi dukun santet, yang sengaja membalaskan dendamnya dengan membuat kemarau berkepanjangan. Itu semua tidak benar. Berkali-kali bapak memberikan penekanan dalam kalimat itu.
Kepergian buyutku waktu itu menggemparkan seluruh warga kecamatan di sore hari. Jasadnya dibawa di desa kecil tempat aku tinggal sekarang. Semuanya tidak pernah mengerti apa dan siapa penyebab kepergiannya. Yang tersisa hanya cerita kakek bahwa pagi selepas subuh ia duduk dengan buyutku di serambi depan dan mendengar buyutku berkata, “Aku takut tempat ini hancur oleh moral manusianya sendiri. Biar saja aku difitnah berupa-rupa. Aku hanya meminta pada Tuhan untuk selalu memberikan cahaya di sini”.
Aku tersentak saat mengingatnya. Apakah mungkin firasat buyutku waktu itu terjadi sekarang? Puluhan tahun setelah buyut meninggal? Aku tidak habis fikir. Masih saja aku suka menghubung-hubungkan sesuatu yang tidak rasional. Aku kemudian menutup jendela dan pintu. Ini sudah magrib, tidak boleh berlama-lama di luar. Begitu aku ingat pesan Emak setiap petang.
---*---
Wulan. Tiba-tiba aku teringat tentang Wulan. Sedang apa ia malam ini? Entah mengapa setelah mendengar cerita Emak, aku seperti dikejar bayangan Wulan. Kepergianku waktu itu membuat Wulan menangis di pintu terminal saat aku memasuki bis patas jurusan Jakarta. Seperti apa ia sekarang? Aku mencoba mereka-reka gambaran Wulan sekarang. Pasti ia tambah cantik dan lesung pipitnya itu semakin manis oleh make-up yang ia beli dari hasilnya memanjakan vill-villa itu. “Aku harus bisa menemuinya”, kataku tiba-tiba bersemangat.
Malam itu juga aku pergi keluar. Aku berpamitan pada Emak untuk mengunjungi Tole, pemilik warung kopi di seberang jalan rumahku. Kini aku tak perlu lagi membawa senter untuk berjalan di malam hari. Lampu-lampu jalan itu sudah bersinar terang, seperti nyaliku yang terang untuk bertemu Wulan. Aku mampir sebentar di warung Tole. Sekedar menyapanya dan bersalaman. Lalu aku bilang kalau aku ingin meminjam sepeda motornya untuk aku bawa ke kecamatan. Aku bilang kalau aku ada perlu di kecamatan. “Ingin jalan-jalan di alun-alun kecamatan, Le…”, kataku saat Tole bertanya. Aku bawa sepeda motor yang aku pinjam dari Tole melintasi jalanan desa, melewati anak-anak muda desa yang bergurau lincah di tengah jalan. “Tidak biasa. Biasanya orang tua selalu menyimpan anak-anaknya di dalam rumah selepas petang. Sekarang, mereka semua seperti liar”, pikirku.
Tampak di depanku sebuah villa megah. Bentuk bangunan jaman victoria itu semakin manis dengan anak-anak tangga yang kokoh. Mungkin diinjak-injak berkali-kalipun tetap saja tersenyum girang. Aku tidak boleh memasukinya. Aku hanya boleh melihatnya dari depan dan mengamati jika saja Wulan ada di dalamnya. Begitu pikirku waktu itu. Aku duduk di sebuah warung kopi di seberang villa megah itu. Aku tidak kenal siapa pemiliknya. Sudah banyak pendatang di desa ini sejak bangunan-bangunan haram itu dibangun.
Sudah berjam-jam aku duduk di sini. Belum juga terlihat hidung si buncit yang diceritakan oleh pemilik warung ini. Aku sempat bertanya tentang Wulan dan memang semuanya mengenal gadis berlesung pipit itu. “Mbak Wulan itu primadona, mas.. Mbak Wulan selalu menjadi idola di desa ini. Tidak mudah untuk menemuinya”, kata ibu-ibu pemilik warung. “Bukan saja di desa ini, tapi di hatiku juga”, kataku dalam hati. Setenar apakah Wulan sekarang hingga ia harus susah ditemui. Belum jadi artis saja sudah seperti itu. Padahal dulu, aku dan Wulan sering bermain bersama, menghabiskan pagi di lading singkong serta sore di pematang sawah. Entah apa karena tangisannya waktu itu hingga ia harus berubah menjadi liar seperti ini?.
---*---
Aku kemudian mengembalikan sepeda motor Tole di samping warungnya. Dengan senyum aku memberikan beberapa lembar rupiah di tangannya. “Buat jajan anakmu, Le…”, kataku kemudian. Tole hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Senyumnya mengantar perjalananku pulang. Memasuki rumah, aku melihat kelambu kamar Emak tersingkap. Aku lihat Emak terlelap. Entah apa yang sedang diimpikannya. Aku kemudian menuju pancuran kecil di belakang rumah, mencuci kaki dan taganku serta wajah kusutku. Aku masuk kamar dengan angan yang belum terlepaskan. Aku belum bertemu Wulan.
Aku berbaring di dalam kamar 2x3 m dengan alas tikar buah karya warga desa pada jamannya. Sejenak anganku bernostalgia tentang apa-apa yang sudah aku temui hari ini. Tuhan, aku hanya pergi sepuluh tahun. Namun perubahan desa ini sudah tidak terelakkan lagi. Perubahan yang bagus, namun salah. Begitu cepatnya hingga tidak bias kupercaya. Cerita bapak tentang buyutku dulu semakin melayang di imaji. Benarkah memang ini sudah dirasakan buyutku sebelum pergi?
---*---
Setelah hari-hari itu, aku memutuskan untuk tidak kembali ke rantau. Aku kumpulkan semua pundi-pundi yang telah aku dapatkan selama sepuluh satu tahun ini. Aku bertekad untuk meneruskan pendidikanku yang hanya sampai bangku SMA ini. Aku kembali meninggalkan desa namun tidak untuk bekerja. Harapanku, aku bisa menjadi pak camat menggantikan buyutku dan akan aku beli Wulan untuk menjadi istriku.

Gresik, 25 Februari 2012
Nay

Minggu, 12 Februari 2012

Sebuah Cerpen


Origami Hati

“Kamu ingat foto itu? Foto origami bentuk hati yang pernah aku kirimkan padamu waktu itu. Seandainya kamu tahu, aku telah membuatnya dengan kedua tanganku sendiri dan akan kuberikan padamu di hari ini. Tapi. . . ", kata Nesha-dalam hati-sambil memegang setoples penuh origami hati berwarna-warni. Nesha pernah mengirimkan foto itu kepada Adit. Dan iapun masih mengingat jelas bagaimana jawaban Adit setelah menerimanya. “So sweet..”, bunyi pesan singkatnya waktu itu, sangat singkat.
Hari-hari setelahnya masih diwarnai dengan senyum cerah mereka berdua. Hingga pada satu ketika sebuah pertengkaran merusak semuanya, termasuk rencana Nesha tentang origami itu. “Apa maumu, dit…”, satu pesan singkat melayang dari ponselnya. “Aku mau kamu jangan pernah lagi hubungi aku”, balas Adit kemudian dilanjutkan tangis Nesha. Mimpi-mimpi dan harapan itu hilang. Nesha hanya bisa menangis melihat semua yang Tuhan gariskan.
Ia meletakkan toples berisi origami itu di atas meja kamarnya. Hari ini empat belas Februari. Ia sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, tempat yang ia inginkanpun sudah tersedia. Namun pertengkarannya satu minggu yang lalu membuat semuanya berbeda. Ia kemudian keluar kamar, meninggalkan toples itu sendirian.
<”>
Siang itu, seorang lelaki turun dari motor, menghampiri deretan bunga di sebuah kios kecil. Tampak jelas mata dan tangannya sedang beradu utuk memilih bunga. Kemudian ia labuhkan tangan kanannya pada seikat mawar putihyang terjajar di rak bagian atas. Tawar menawar terjadi dan dibawanya ikatan mawar putih itu pergi menaiki motornya lagi.
“Bukankah itu adit..”, kata Nesha dalam hati. Sudah berjam-jam ia berdiri di toko aksesoris seberang jalan, seberang kios bunga itu. Ia dapat mengamati dengan jelas kejadian di sekitarnya tanpa terkecuali. “Sudahlah. Tapi untuk siapa mawar putih itu?”, lanjutnya penuh Tanya. Nesha beralih mendekati meja kasir, mencoba mengusir Tanya yang baginya tidak pantas untuk dipikir.
<”>
“Mama.. Nesha pulang…”, teriak Nesha saat memasuki pintu rumah. Seikat mawar putih tergeletak di atas meja tamu. Nesha berlari lebih ke dalam rumah untuk mencari mamanya. Dengan celemek kuning mama Nesha keluar dari dapur. “Kenapa kamu teriak, Nesh…”, Tanya mama Nesha sambil membiarkan Nesha mencium tangannya. “Mama, bunga itu dari siapa?”, Tanya Nesha sambil menunjuk ikatan mawar putih di atas meja. Perempuan paruh baya itu tidak menjawab dan kembali memasuki dapur.
Dengan masih penuh Tanya, nesha masuk ke dalam kamarnya. Dilepaskannya jaket yang sejak tadi melapisi tubuh mungilnya. Seketika itu juga pandangannya jatuh pada meja kamar yang kosong. “Mama.. Toples Nesha mana?”, teriaknya sambil berlari ke dapur. Perempuan yang Nesha sebut mama itu kemudian mengajaknya duduk di kursi ruang tamu. Diraihnya ikatan bunga itu dan ia serahkan sebuah lipatan kertas putih kepada anaknya. “Baca, Nesh..”, katanya. Nesha heran, lalu ia meraihnya. Kemudian ia buka perlahan. Tampak di dalamnya:
“Nesha,
Jika saja aku bisa menyamakanmu dengan ikatan mawar ini…
Tapi maaf. Aku belum bisa”
Nesha diam sebentar, lalu menutup lembaran itu dengan air mata yang menetes. “Adit tadi ke sini. Dia membawa ini”, kata mama Nesha sambil menyerahkan mawar putih itu ke Nesha. “Ma.. Toples Nesha mana?”, Tanya Nesha dengan tangis. “Maafkan mama, Nesh.. mama memberikannya kepada adit. Setelah kamu cerita tentang toples itu kepada mama, mama merasa Adit perlu tahu tentang itu, tentang rasa bersalahmu”. Jawab mama. “Tapi, mama.. Mama tahu jika Adit sangat marah kepada Nesha. Adit sudah tidak ingin memaafkan Nesha lagi”, kata Nesha dengan tangisnya yang semakin terisak. Perempuan paruh baya itu hanya terdiam, mencoba memeluk gadis kecilnya yang semakin muram.
Tak lama kemudian, sebuah pesan singkat hinggap di ponsel Nesha. Segera ia merogoh benda pesegi panjang itu dari saku jeansnya. “Aku sudah terima origami itu. Bukan lagi fotonya yang aku terima, tapi yang nyata juga sudah kuterima”, bunyi pesan itu, saat Nesha membacanya. Nesha tidak tahu harus membalas apa. Ia tekan huruf-huruf di ponselnya dan terekirim. “Terima Kasih”, bunyinya.
<”>
Hari berlalu sejak sore di hari keempat belas februari itu. Ikatan mawar putih yang tadinya tergeletak di meja kini sudah terpajang cantik di dalam vas putih bening. Sesekali Nesha menghampiri dan mengusapnya satu persatu. Pesan dari sang pengirim mawarpun tak pernah lagi ia dapatkan. Ia hanya bisa memandang mawar-mawar putih itu dengan sayu. Dalam hatinya, ia masih terus bertanya, “Apa maksudmu dengan memberiku mawar putih ini? Mengapa kamu mau menerima toples berisi origami hati itu? Sedangkan kamu masih marah kepada aku?”. Nesha merasa ini semua adalah teka-teki yang ia sendiri tidak tahu sebenarnya perlu ia mengerti atau bahkan tidak. Namun satu hal yang Nesha yakin: “Sebagus apapun aku membuat origami hati itu, tetap saja tidak pernah sebanding dengan mawar putih kirimanmu”, kata Nesha sambil mencium mawar-mawar itu satu persatu.


07 Februari 2012

Noura