Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Desember 2013

Dawn Rhyme

A dawn rhyme for you, Mama..
Since I breath the dawn air,
I knew you're strong and fair
Like a fairy flew away the stream


A dawn rhyme for you, Mama. .
A bunch of honest from the deepest
Though you were in gloom,
you're still able to give me the bloom


I could feel your sorrow, Mama..
Accrossing the grey bridge alone
You stood still, Mama...
And asked me to go with,
caught the colony of butterfly,
chased away the depressed and loneliness



I wrote this rhyme for you, Mama..
To praise how strong you are
to tell how much I love you
to show how much I need you


Nay
Gresik
Dec, 22nd 2013


HAPPY MOTHER'S DAY FOR EVERY MAMA IN THIS WORLD <3

Mutiara dari Seberang





Ia memiliki minat belajar yang sangat tinggi. Kemampuannya menerima pelajaran sungguh melebihi teman sekelasnya. Tuhanpun memberikan ketajaman berfikir baginya. Lembar demi lembar kitab suci mampu bertahan dalam ingatannya. Tapi siapa sangka. Dibalik keistimewaan itu, cobaan setia menemani. Memaksanya untuk berurai air mata. Membuat matanya hitam. Sehitam hari-hari mudanya.

Seorang lelaki paruh baya sedang memungut sampah di jalanan. Ia pungut satu gelas bekas air mineral. Tak jarang ia hentikan kayuhan sepeda tuanya di tengah jalan. Membiarkan puluhan kendaraan berhenti di belakangnya.

Ia menyambut lelaki paruh baya itu di depan pintu, mengambilkan secangkir air yang baru saja ia tuangkan dari kendi. Di bilik paling belakang, seorang wanita yang juga paruh baya sedang menanak nasi untuk makan siang suaminya.

Mereka bertiga lalu menyantap nasi yang mengepul. Berkawan sambal dan daun singkong hangat yang tadi dipetik dari dekat sungai. Dia terlihat lahap. Begitu pula lelaki itu. Keringatnya berkah.

Setiap pagi ia pergi ke sekolah. Menyeberangi bengawan yang tak berujung. Sampan kecil inilah yang menemaninya setiap saat. Baginya, tak ada satupun yang mampu menghalangi langkahnya mencari ilmu.

Sesekali dia buka kitab kecil di tangannya. Lamat-lamat terdengar lantunan ayat yang menyejukkan. Angin menyiratkan hawa teduh. Kecipak air ikut bertasbih memuja sang pengendali alam.

Ia melakukan apa saja demi meraih apa yang pantas ia raih. Setiap malam ia mengulang lagi apa yang sudah ia pelajari di sekolah. Rumah itu hanyalah bilik bambu yang beralas tanah. Hanya disekat lemari dan beberapa papan untuk memisahkan mana kamar dan mana kakus. Untung saja listrik sudah masuk. Pikirnya, "aman".

Malam adalah kawannya berjuang. Ia berusaha pecahkan segala teka-teki Tuhan. Sepertiga malam itu seperti penerang di sela hidupnya yang malang.

Dia masih kecil. Namun berbagai tempaan hidup ia alami. Dunianya keras. Ia berusaha dengan lantang menembus batas yang harus ia tembus. Melangkahkan kaki dengan pasti ke arah cahaya di seberang bengawan.

Lelaki paruh baya itu tetap memungut sampah di jalanan. Ia banyak diam. Kayuhan sepedanya ia percepat agar segera sampai seberang. Ditambatkannya sepeda tua itu pada kayu di pinggir sungai. Lalu ia dayung sampan hingga ke seberang. Malam itu larut. Dia hanya berkata, "Nak, ini uang sekolahmu". Dan ia pun terlelap.




Gresik, 20 Desember 2013
Nay

Senin, 02 Desember 2013

Edisi Hari Guru *telat posting*

Omong-omong tentang Hari Guru tanggal 25 Nopember kemarin, rasa-rasanya saya latah ingin berkisah tentang ini. Saya menjadi hingga saat ini pun tak luput ya karena jasa-jasa mereka, guru. Bagi saya, guru itu seperti pelita dalam gelapnya malam. Mungkin benar salah satu lirik Hymne Guru "Engkau sebagai pelita dalam kegelapan.. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan...". Ketika saya haus ilmu ada titik-titik air yang diberikan oleh mereka yang saya sebut guru.


Baiklah. Guru yang paling berjasa bagi saya adalah Ibu saya sendiri. Mungkin karena beliau adalah Guru TK sehingga dapat dengan sabar membimbing saya. Pun tak kalah berjasa adalah paman dan bibi saya yang juga seorang guru, yang pernah mengajar saya di sekolah dan di rumah. Well. Mereka dari kalangan keluarga saya sendiri. Abaikan.


Saya mencintai bahasa inggris sejak SD. Guru saya itu namanya Bu Sunnah. Gaya bicaranya yang "keren" membuat saya begitu tertarik dengan pelajaran ini. Saya pun akhirnya meletakkan mapel Bahasa Inggris pada urutan pertama mapel favorit ketika menulis buku diari milik teman-teman (yang pernah hidup di jaman 1999-2000an pasti paham diari beginian).


Selanjutnya, Pak Budi adalah guru terbaik menurut saya. Saya bersekolah di MTs Swasta dan bapak tersebut adalah guru SMP Negeri. Pernah menjadi muridnya adalah satu kebanggan. Saya dibuat heran ketika dengan entengnya beliau keluarkan kamus Inggris-Inggris alias Oxford dan menerjemahkan satu persatu vocab yang saya tanyakan. Saya yang masih kelas satu Madrasah Tsanawiyah semakin tertarik dengan kekerenannya itu. Itulah mengapa hingga saat ini saya lebih suka membawa Oxford ketimbang Kamus Milyaran lainnya. Hal ini saya tularkan ke adik-adik (red: siswa-siswi) saya.


Bahasa Inggris tak pernah mati bagi saya. Di SMA saya lebih gila dengan mapel satu ini. Apalagi dengan adanya Ma'am Roby. Saya sangat antusias ketika diberi tugas menerjemahkan lagu bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Ini pada saat saya di kelas X. Hasil translate-nya masih ada sekarang. Dan saya tertawa setiap kali membacanya karena sungguh sangat hancur pola kalimat yang saya pakai waktu itu.
Di masa inilah saya mulai banyak membaca. Terlebih Lembar Kerja Siswa yang kami gunakan banyak sekali mencantumkan folktale, fairytale, legend, myth dan kawan-kawan. Apalagi saat itu hoby membaca sedang gencar-gencarnya karena didukung perpustakan sekolah yang menyediakan aneka menu novel. Saya mulai mengenal Dewi Lestari dengan Supernova-nya, lalu Andrea Hirata, Habiburahman El Shirazi, dan Hans C. Andersen. Saya suka membaca. Saya suka sastra Indonesia. Saya suka Bahasa Inggris. Jadilah saya penasaran, bagaimana jika sastra digabungkan dengan Bahasa Inggris? Inilah yang mendorong idealisme saya untuk menulis Sastra Inggris di urutan pertama SNMPTN 2008. Dan well, Tuhan mengijinkan saya untuk menyelam jauh ke dalamnya.


Jangan lupa, Dosen juga Guru loh ya.. Karena merekalah yang pernah menunjukkan jalan yang lurus menuju gerbang masa depan.
Dosen kebanggaan saya adalah Pak Khoiri a.k.a Pak Emcho dan Ma'am Tiwi. Keduanya adalah orang hebat. Saya bangga pernah mengenal dan dikenal mereka. Awal ketertarikan saya adalah ketika mendengarnya bercerita tentang Budaya, Menulis, Iowa University dan segala apapun tentang sastra. Saya menyadari ternyata pengetahuan saya tentang sastra sangat minim. Jujur saya merasa bodoh sendiri di kelas. Saya baru mengenal Rudyard Kipling, Ernest Hemmingway, Leo Tolstoy dan lainnya pada saat itu. Dan saya juga baru tahu jika statement "Tuhan Tau Tapi Menunggu" yang ada di novel Andrea Hirata adalah Ungkapan dari Eyang Leo Tolstoy. Awalnya saya pikir itu punya Hirata sendiri. (Hihihi)

Yang selanjutnya adalah Ma'am Tiwi. Beliau sedang studi di Aussie sekarang. Saya dibuat agak gila oleh Freud, Jung, dan orang-orang gila lainnya. Saya dibuat jatuh cinta kepada sosok Amir dalam buku Khalled Hossaeni, The Kite Runner. Begitu banyak air yang masuk otak saya sehingga banyak yang tumpah bahkan tak meninggalkan sisa. (eyaaaaa. Begitu bebalnya otak saya)



Well. Berbicara tentang guru, bukan melulu soal peran serta kedudukannya di masyarakat. Saya menyadari benar jika semua itu harus di dasari niat. Jika tulus ikhlas maka feedback dari siswapun baik. Sebaliknya, jika tidak maka hanya lelah saja yang didapat. Mencintai profesi ini sama dengan mencintai pacar. Sekali belok, maka hasilnya nol besar. (eyaaaa... Spam. Abaikan.)


Akhirnya, terima kasih setulus-tulusnya kepada para Pelita Malam yang telah menunjukkan saya dari jalan gelap gulita menuju jalan yang terang benderang yakni Addinul Islam.. (eh salah ya...) Terima kasih tak terhingga bagi segenap guru yang pernah ada di kehidupan saya, baik di bangku sekolah maupun di lingkungan sekitar. Teman-teman yang selalu ada untuk saya adalah guru yang berharga juga. Saya tidak sanggup membalas apa-apa. Saya hanya dapat mengamalkan apa yang sudah kalian berikan. Saya tulus memberikan ilmu yang pernah saya terima.
Nay-271113

Pelita Malam

Bukan melulu soal peran,
tapi aku berkata tentang kebenaran,
tentang mimpi-mimpi membawa Lintang ke langit menjulang
Menerobos labirin menyibak semak menjemput siang.


Kebodohan itu ibarat malam, gelap, pengap
Lentera yang diagungkan tak kunjung datang,
pelita pembebas duka tak mau mendekat,


Ada banyak kisah tentang mimpi, harap,
Ada berjuta Lintang di luar sana, Pilik dengan Sakola Alitnya, Alif anak amak yang gigih hingga ke Amerika.
Hanya berkaca pada itu saja. . Semangat yang tulus membara, meski harus mengulang dari titik nol.


Ya. Kau tahu. Malam segera hilang kerana fajar. Pekat melebur lewat matari yang bersinar terang. Jalan setapak yang terjal perlahan mulai hilang.


Hanya satu. Tulus. Semua tak akan jadi penghalang.


Dirgahayu untuk para Pelita Malam..
24 Nopember 2013
nay

Minggu, 17 November 2013

A Story: An Honesty through 6.903 Miles


Have you known about the honesty?
Yes. Here it is. The real story told by the name of honest.


Membaca buku ini, saya merinding, terharu, ikut igit-igit dan lainnya. Pada dasarnya, isi buku ini hampir sama dengan Kisah Lainnya, buku pertama tentang NOAH dan karyanya. Yang lebih istimewa dari sini adalah kemasannya yang eksklusif, disertai dengan gambar-gambar menarik tentang perjalanan mereka selama berkiprah di dunia musik.


6.903 Miles diambil dari jarak tempuh mereka mengadakan konser 2 Benua 5 Negara September 2012 lalu. Buku ini menjelaskan secara detail apa saja yang terjadi ketika perencanaan konser, problem yang muncul hingga suksesnya konser yang berhasil mengantongi rekor MURI ini. Buku ini memberikan pelajaran tentang keyakinan, mimpi serta perjuangan. Keyakinan akan mimpi membawa kerja keras bagi tiap-tiap personil untuk mewujudkan sehingga pada akhirnya mimpi tersebut dapat diraih melalui perjuangan yang tidak mudah.


Candra Gautama dan Hidayat A berhasil merangkai kenyataan yang ada menjadi susunan narasi yang menarik. Kekonyolan para personil NOAH mengisi satu dua kisah sehingga memberikan warna renyah dalam cerita. Momen-momen yang penting seputar konser berhasil disajikan secara apik dan runtut sehingga pembaca dapat mendapatkan deskripsi yang jelas dan menyeluruh.


Sebagai pembaca yang melihat dari sisi content bacaan itu sendiri, kisah-kisah yang terjadi tertuang terlihat sengat natural. Hal ini membawa pembaca seakan-akan berada di sana ada di antara mereka, ikut merasakan pelik masalah yang ada, hingga merasakan kemenangan bersama. Bahasa yang digunakan juga mudah dipahami, tidak berlebihan dan renyah. Gambar-gambar konser, kegiatan harian dan lainnya membuat pembaca betah berlama-lama membuka satu persatu lembar.


Selain itu, kejujuran satu persatu personilnya dalam bercerita patut diacungi jempol. Banyak pelajaran yang dapat diambil seperti perihal beberapa pesonilnya yang sangat dekat dengan Tuhan, bahan yang matang sebelum memutuskan suatu ide, serta solidaritas dan kekeluargaan tiap personil. Kerja sama yang baik dengan berbagai pihak juga menjadi satu alat kuat bagi bersatunya band tersebut.


Di sisi lain, bagi kalangan yang kurang berminat dengan ini, buku ini terlihat seperti media untuk memperbaiki citra NOAH pasca kasus yang menimpa salah satu personilnya. Terlebih ketika buku yang pertama "Kisah Lainnya" terbit berdekatan dengan kebebasannya dari penjara.

All in all, buku ini layak dibaca, terutama bagi mereka yang mengaku "Sahabat". Selalu ada pelajaran dari setiap langkah mereka. Bukan hanya satu dua personil saja, namun seluruhnya.


"Keberanian untuk merawat impian adalah separuh jalan menuju keberhasilan. Selebihnya ditentukan oleh semangat dan gairah untuk bekerja keras mencapai yang terbaik". (NOAH. 6.903 Miles)




Gresik, 17 Nopember 2013
Nay

 

Minggu, 27 Oktober 2013

Petaka Sang Kala



Senja bercerita tentang petuah dewa-dewa.
Sesekali jangan kau berhamburan di luar sana.
Sang kala sedang mencari mangsa.
Bisa saja kau dilahap olehnya.

Lama-lama, waktu berganti waktu yang beda.
Menggerogoti detik demi detik yang terbuang percuma.
Menjemput purnama dalam gelap gulita.

Hai, itu hitam di sana!

Sang kala gelar aba-aba menjemput petaka.
Gelegar Rahwana semacam sebarkan angkara.
Itu mereka saling tukar saling padu.
Merebut tahta bergumul belenggu.


Langit berontak.
Marah.
Sang kala dan Rahwana sedang beradu kuat.
Melahap tiap sisi jagat, rapat-rapat.
Hujan datang. Petir menggelegar.
Cetar.
Yang kalah silahkan berbenah.


Mari nikmati.
Gemuruh berontak.
Lari.




Gresik. 14 Maret 2013
23:09

Selasa, 01 Oktober 2013

Bulan Sabit Tiga Puluh September

Darah itu mengucur deras
Dari kepala-kepala tak berdosa mengalir
Bau Anyir, busuk, semerbak dari hulu hingga hilir.
Mayat-mayat bergelayut mengambang bebas
Lepas
Sisakan tangis pemecah malam pekat



Bulan malam itu bermata sipit, enggan tuk tampakkan rona
Hanya membuka sebagian mata lalu menutup jua
Rerintik hujan disulap menjadi deras
Sederas darah yang siramkan merah


Bendera merah itu sisakan luka
Semakin beringas sisakan derita
Teriakan tak jadi penghalang
Bendera merah tetap lalu lalang

Malam itu,
Bulan sabit tersenyum kecut.
Malam Tiga Puluh September, palu dan Sabit lepaskan satu persatu nyawa
Tak pandang itu sudra ataupun punggawa negara
Lepas. . Bebas. . . Melayang menembus batas taman langit.

Kini, tanpa sisa. Damailah di sana. . . .


Malam, 30 September 2013
nay

Minggu, 15 September 2013

Rasa di Sekolah, Semanis Cokelat Panas Villa Latte.

Bagian Satu
           Bel tanda masuk berbunyi. Gadis itu masih asik dengan buku di tangan. Kursi duduk di sudut perpustakaan itu tidak juga bergeser. Penghuninya sedang menjamah lembar demi lembar seakan menciptakan dunia baru miliknya sendiri. Sementara di sudut ruangan yang lain, seorang berbadan tinggi tegap sedang memasukkan buku olahraga ke dalam rak. Kemudian ia menjinjing beberapa buku menuju meja petugas. Ia sempat berhenti di samping meja si gadis. namun kemudian ia melanjutkan langkahnya. Dari arah meja petugas, ia kembali menatap ke arah gadis itu. Ia masih tetap tidak bergeming. Dunia seperti miliknya sendiri.
----------------------
           "Kring.... Kring....Kring...". Bel tiga kali tanda belajar sudah berakhir. satu persatu siswa keluar dari kelas. menikmati kebebasan sejenak setelah hampir tujuh jam bergelut dengan buku, menjamah tiap lekuk papan tulis dengan mata sayu. Gadis itu kini nampak lesu dengan menjinjing ransel hitamnya. Ia berjalan santai menuju ruangan kecil di seberang kantor guru. Plakat putih bertuliskan "Sekretariat Mading" menggantung di pintu.
               Di dalam ruangan, beberapa siswa berseragam putih abu-abu sudah datang lebih dulu. Salah seorang dari mereka dengan tegas berdiri dan memberi isyarat agar gadis itu segera masuk.
"Baik teman-teman, langsung saja saya mulai rapat kita kali ini. Sebelumnya, mari kita berdoa dulu", pimpin Caca, pimred Mading SMA Bina Insani. Suasana hening sejenak menyelimuti ruangan tiga kali empat itu. Kei, gadis itu terlihat memainkan bolpoin hitamnya dengan keduatangan. Dia mencoba memasuki dunia ciptaannya sendiri.
               "Teman-teman, Minggu kemarin tim futsal kita mengikuti Regional Futsal School Competition. dan sebuah prestasi yang membanggakan karena mereka membawa harum nama sekolah kita dengan membawa piala juara. Nah, dari sanalah mading kita bertema untuk minggu ini. Nantinya, kita tidak akan hanya meliput tentang Tim Futsal, tapi juga beberapa prestasi kita yang lain. Seperti tentang guru bahasa kita, Bapak Sukonto yang baru-baru ini telah me-launching buku ketiganya". Terdengar riuh tepuk tangan dari peserta rapat. "Tentu saja yang menjadi headline kita adalah Tim Futsal. Setuju?". Semuanya mengangguk. Caca adalah pemimpin yang mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang sehingga idenya dapat diterima anak buahnya dengan lapang.
                    "Baik, saya dan tim sudah memutuskan untuk liputan kali ini akan dihandle oleh Lucy pada bagian Feature. Nantinya Lucy dan tim akan langsung mewawancarai narasumber yakni Kapten Tim Futsal kita, Ferli". Mendengar nama Ferli, sontak Kei mengangkat kepalanya. Dalam hati, ia mengginkan posisi itu. Ferli, lelaki tegap penguasa lapangan hijau adalah idola baginya. Meski mereka sudah saling kenal, namun ia tidak pernah berani menyatakan perasaannya. Caca seperti membaca kemana arah berfikir Keila. Ia pun melanjutkan rapat. "Dan untuk bidang kajian sastra dan hiburan, akan dipegang Keila sebagai ketua tim. Nantinya, liputan tentang buku baru pak Sukonto ada pada bagian ini".
                       Rapat berlanjut dengan pembagian tugas masing-masing tim. Setelah sekitar satu jam dan dirasa cukup, Caca menutup rapat dan merapikan catatannya. Satu persatu keluar dari ruangan. Hanya tersisa Caca serta Kei yang masih asik dengan dunianya.
"Keila sayang, bengong aja! pulang yuk".
"Ca, kamu kok jahat sih sama aku?".
"Kenapa? Ada yang salah?".
"You know me so well lah.. Ferli".
Caca hanya tertawa. "Udah ayo capcus ke Villa Latte. Udah ngidam Mocca Float nih"
Sepasang sahabat itu kini pergi menuju Villa Latte, kedai kopi di sudut jalan, tempat favorit mereka berburu segala jenis ide.

Bagian Dua
Secangkir cokelat panas mengepulkan asap ke langit-langit. Dua piring roti bakar keju serta satu gelas mocca float menjadikan meja persegi itu nampak meriah. Sepasang meja kursi di sudut kedai adalah tempat favorit bagi mereka berdua. Meja yang aman dari segala bising dan menjadi tempat tercurahkannya ide mereka berdua. Kei agaknya masih kurang bersemangat. Ia hanya melihat keluar jendela dan mengamati laju kendarann yang berlalulalang. Caca tersenyum melihat sahabatnya yang kini gusar.
"Kei, aku paham.... Tapi kita juga butuh profesinalisme. Setiap orang bisa bagus di satu hal namun belum tentu bisa untuk lain hal. Lucy bagus untuk itu. Liputannya untuk edisi kemarin sangat bagus. Itu acuan staf redaksi buat pasang dia di report kali ini. Dan kamu masih harus belajar untuk itu".
"Tapi Ferli, Ca...."
"Ini buat liputan, Kei.... You have to know it. Bisa ngerti kan Kei?
Keila hanya bernafas panjang dan meneguk cokelat panasnya. Bayangan Ferli sedang menggelayut di syaraf-syaraf otaknya.
----------------------------------------------
                  "Am I Jealous?", tanyanya pada cermin.
Rambutnya yang masih basah dibiarkan menjuntai. Dipandangi lagi wajahnya. Ia tidak pernah merasa segusar ini. Ia tidak paham apa yang seenarnya ia rasakan. Sepertinya, tidur adalah penyembuh yang tepat untuk hal semacam ini. Ia ingin beristirahat dari segala macam beban fikiran dan berharap semua akan baik-baik saja ketika ia membuka mata nanti.
                  Tetiba ponsel di atas ranjangnya berbunyi. Sebuah pesang singkat masuk. Dilihatnya sekilas lalu dilemparkannya kembali ke ranjang. Ia lalu sadar dari siapa pesan itu. Diambilnya kembali dan muncul sebuah nama: Ferli.
                      KEI, LAGI BINGUNG NIH TUGASNYA BU DINA. VILLA LATTE YUK....
AKU KE TEMPATMU. OK...
Sebaris huruf Y dan A ia ketik untuk membalas pesan Ferli. Keinginannya untuk beristirahat sepertinya sudah lepas.
---------------------------------------------
                     Villa Latte tampak lengang malam itu. Mereka duduk di tempat biasanya, sudut kedai dan menatap arah jendela. Satu persatu buku ia keluarkan dari tas. Dua cangkir cokelat panas berjajar di meja. Ditemani dua piring roti bakar keju lebih terlihat nikmat dan menggoda. Malam ini bukan malam pertamanya kencan tugas dengan Ferli. Sudah beribu masa mereka lewati berdua. Bukan hanya malam. Bukan hanya di meja Villa Latte. Tapi juga di bangku-bangku taman, di kantin, juga perpustakaan. Ketika pagi beranjak siang, pun ketika panas bersambut hujan. Mereka sering berdua, namun hanya dalam topeng "tugas sekolah". Entah apa yang mereka rasakan berdua. Yang jelas Keila merasa nyaman. Dengan cara itulah ia bisa lebih dekat dengan Ferli. Meskipun ia sendiri tidak paham apa yang ada dalam benak Ferli. Benarkah ia ingin bersama Keila atau hanya untuk memanfaatkannya? Apapun itu, Keila merasa bahagia meski sebenarnya ia sangat dibuat gusar.
                         Villa Latte masih lengang saat mereka berdua membereskan buku. Sudah hampir dua jam. Mereka tidak berkata apapun selain seputar tugas. Bercandapun hanya sebatas hal-hal biasa saja. Keila tampak melihat jam di tangannya. Ia merasa mengantuk. Ia ingin segera pulang, merebahkan sejenak tubuhnya dari segala kegusaran.
"Fer, kita langsung pulang ya...Aku pengan istirahat"
"Kamu lagi sakit, Kei? Kenapa gak bilang? Tau gitu gak usah keluar kan tadi..."
"Gak apa kok.. Yuk!"
"Iya, thanks ya, Kei... Aku ngerepotin kamu terus"

         Matic merah itu sudah berhenti di depan rumah Kei. Ia bergegas masuk setelah mengucapkan terima kasih. Ferli merasa aneh. Keila tidak seperti biasanya.
-------------------------------------------------------------
Rumah Caca.
             "Ca, menurutmu perasaanku ke Ferli itu apa sih?"
             "Apa bagaimana maksudmu, Kei?"
             "Aku jatuh cinta"
             "Halah, gaya kamu... Deket cuma gitu doang udah cinta? Kalian pernah ngobrol?"
             "Iya lah..."
             "About what? Tugas?
             "Hu'um"
           "Ealah Kei.... Aku saranin kamu buat belajar apa itu cinta". Caca tertawa sambil memukul bahu sahabatnya itu.
             "Aku mau belajar nulis liputan yang keren. Mana kak Fikri"
Fikri adalah kakak Caca. Ia adalah seorang wartawan di sebuah koran swasta. Keila merasa dengan Fikri-lah ia belajar menulis liputan yang tepat. Caca hanya tersenyum melihat sahabatnya itu. Ia pun memanggil kakaknya.
            "Kak, ini nih si kecil pujaanmu lagi pengen belajar nulis"
            "Hai, Kecil...."
            "Hai, kak... Apa kabar? Bantuin Kei gih......"
            "Tumben.... Ada apa-apa nih....Tulisanmu bagus loh Kei... Kenapa masih belajar sama kakak?", cibir Fikri.
        "Jadi begini ceritanya. Kei itu gak bis bikin liputan yang bagus. Nah, Caca gak kasih kesempatan buat Kei dapetin bagian itu. Kei gak mau dong kak... Kei harus bisa". Kata Kei panjang lebar.
           "Ada maunya tuh, kak... Gegara yang jadi narasumber itu si Ferli", celoteh Caca.
           "Oh.. Kak Fikri tahu!", sambutnya dengan senyum.
            Fikri pun segera memberikan catatan-catatan kecil untuknya. Keila hanya mengangguk-angguk tanda paham. Caca mengamati gerak-gerik sahabatnya itu. Inilah Keila, meski ia terlihat kurang bisa dewasa dalam masalah hati namun jika ia sudah menginginkan sesuatu maka ia akan selalu berusaha menggapainya.  Hal ini yang membuat Caca kagum akan sahabatnya itu.

Bagian Tiga
Lapangan Futsal Sekolah.
             Selepas sekolah, Ferli dan timnya berlatih di lapangan. Mereka terlihat sangat menikmati tendangan demi tendangan. Beberapa yang lain sedang duduk di bangku panjang menikmati mereka  yang sedang berlari mengejar benda bulat itu. Salah satu di antaranya adalah Lucy. Ia sudah siap dengan handy cam, bolpoin serta kertas yang penuh list pertanyaan. Lucy tidak sendirian. Ia meliput dengan dua timnya. Kapten ganteng dan gagah itu sedang meneguk sebotol air mineral lalu mengusap peluh yang membanjiri dahi dan lehernya. Lucy menghampirinya dan mengajak duduk di bangku panjang.
               Sementara itu, di sebuah jendela yang menghadap ke lapangan, seorang gadis sedang mengamati gerak-gerik mereka berdua. Seperti dihantam godam yang sangat berat di kepalanya, Kei merasa sangat pusing melihat keakraban mereka. Hatinya berasa ditusuk jarum yang baru saja dientas dari bara. Ia beralih pergi dan kemudian merunduk di mejanya. Ia pun kembali menciptakan dunianya sendiri.
---------------------------------------------------------------
                   Ferli merasa Keila seperti telah menjauhinya. Ia tak lagi bersedia menemaninya mengerjakan tugas. Di perpustakaan mereka tak pernah bertegur sapa. Sms Ferli tak pernah ia balas. Catatan-catatan dari Fikri ia abaikan begitu saja. Ya. Segala tentang Ferli ia biarkan lepas.
                          Ferli sendiri tidak pernah menyadari ada apa sebenarnya. Di samping itu, kedekatan Ferli dan Lucy tidak lagi sebatas pewarta dan narasumber. Mereka terlihat bersama di kantin, di taman, bahkan Villa Latte, saksi bisu segala cerita yang pernah ada.



Gresik, 15 September 2013
nay

Sabtu, 07 September 2013

Kepada Kawan

Kawan,
Andai engkau tahu betapa bahagianya aku. Aku sudah memiliki pekerjaan yang mapan. Menjadi seorang Guru. Ya kawan... Guru. Kamu tahu itu bukan cita-citaku yang sebenarnya.
Kawan, apakah kamu masih ingat saat aku bercerita tentang cita-citaku? Tentang aku yang iri melihatmu kemana-mana membawa kamera, block-note serta bolpoin. Kamu adalah wartawan di sebuah koran nasional. Persis seperti yang kamu cita-citakan. Tentunya sesuai dengan Jurusan Ilmu Komunikasi yang kamu ambil.

Hai kawan,
tentunya kamu masih ingat saat aku berteriak kepadamu ketika namaku ada di pengumuman ujian masuk universitas. Sungguh bahagia seakan terbeli ketika tahu aku akan menjadi bagian dari sebuah jurusan bergengsi di Universitas Negeri. Sastra Inggris. ya. Tentunya kamu tahu bagaimana aku berusaha meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku mencintai Sastra. Aku mencintai dunia ini.
Kawan, pun tentunya kamu ingat betapa aku selalu menyempatkan untuk mampir setiap minggu ke kantormu, hanya untuk menyelipkan satu dua amplop karya-karyaku di meja resepsionis. Aku tak pernah melewatkan satu detikpun tanpa meninggalkan buku kecil ini, yang selalu membawaku kemanapun aku pergi. Milyaran kata tertulis rapi di buku kecil, pemberianmu.

Kawan,
yang seperti itu adalah semata usahaku untuk terus belajar tentang segala isi dunia ini. Bahwa dunia akan terasa indah ketika tersusun dalan sebuah tulisan. Kamu pun tak pernah bosan menemaniku menjelajah tiap perpustakaan, menemukan bukti-bukti bukan hanya sekedar orasi, berbaik-baik dengan hati untuk keberhasilan imaji.
Kawan, kamu tentunya masih ingat  ceritaku saat aku bahagia dengan kuliahku. Aku mempelajari banyak hal tentang dunia. Sastra membawaku pada pemahaman tentang psikologi manusia, sejarah dunia yang bahkan tidak aku pahami sebelumnya, strata sosial yang mampu ciptakan karya, area geografis yang sangat indah, yang mampu membawa pada karya yang indah pula. Pun aku juga belajar tentang perhitungan yang tepat, diksi demi diksi yang mampu terjual sempurna, serta rima irama yang indah bergelora.

Kawan,
aku suka saat kamu memperhatikanku bercerita. Meski hanya diam lalu memetik gitarmu tanda bahagia. Kamu tahu, menjadi penulis adalah cita-citaku. Penulis yang tidak hanya mampu membawaku dikenal massa, namun juga yang bisa mengharumkan nama negara di dunia.

Kawan, maaf.... Pilihanku menjadi seorang guru bukanlah karena aku lelah menulis, bukan karena karyaku tidak laku dijual, bukan pula karena aku tidak berhasil menemukan pekerjaan. Namun inilah kata hati. Sudah saatnya aku berjalan atas naluri. Dan kau tahu, aku telah belajar banyak untuk ini. Aku telah belajar pelbagai jenis ilmu. Kau tahu itu, kawan...
Doakan aku saja. Ini urusanku dengan Tuhan. Dan aku tidak akan pernah menyerah untuk segala yang ada di angan.

Jumat, 06 September 2013

ILUSI: Sebuah Puisi

Tanyakan pada awan
saat aku enggan bergandeng tangan.
Berjalan sendiri-sendiri
saat aku enggan ditemani.
Lepas,
ingin menghilang melepas penat.
Terhempas,
raib melawan riak yang kian pekat.


Sanubarimu tak kuatkan lonceng keadilan
Hingar bingar mencari pembelaan sana sini
namun tetap tak mampu jadikan pedoman.


Lepaskan penat,
biar lenyap seiring hilangnya pekat.
Dan agar kau tahu bahwa bisumu adalah menipu
dan diamku adalah sesalmu.



Nay, 07 September 2013
13: 36

La Tahzan - Sisi lain Atiqah Hasiholan

La Tahzan. Ya. Akhirnya ini yang menjadi pilihan. Film garapan Danial Rifki ini diadaptasi dari cerpen karya Ellnoviyanti Nine yang berjudul "Pelajar Setengah TKI" yang kemudian ditulis dengan apik dalam skenario oleh Jujur Prananto. Yang menjadi tokoh utama adalah seorang mojang Bandung, seorang mahasiswi desain yang sedang belajar bahasa Jepang. Namanya Viona yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan. Impiannya adalah bisa belajar di Kyoto University. Dan ia berhasil mencicipi Jepang setelah lembaga kursusnya membawanya untuk Arubaito, Belajar Sambil Bekerja.



Istilah cinta semi segitiga lebih saya sukai ketimbang cinta segitiga untuk cerita satu ini. Hasan (Ario Bayu) adalah sahabat Viona sejak kecil. Masalah yang dihadapinya membawanya untuk pergi ke Jepang. Ada problem di bengkelnya dan ia harus mengumpulkan pundi-pundi untuk pengobatan ibunya. Di sisi lain, Yamada (Joe Taslim) mengagumi Viona sejak pertama bertemu ketika tanpa sengaja Viona menabraknya saat ia buru-buru ke kedai Sushi untuk bekerja.

Kepergian Hasan yang tiba-tiba membuat ibunya khawatir dan berpesan kepada Viona untuk mencari anaknya. Dengan modal alamat yang diberikan ibu Hasan, Viona meminta tolong Yamada. Hampir bertemu, namun Hasan belum bersedia menemui Viona.

Hari demi hari dilalui Viona tanpa hasan. Ada saat dimana ia merasa nyaman berkawan dengan Yamada. Begitupun Yamada. Ia merasa telah jatuh hati dan berniat memperistri Viona.

Hasan sudah bersedia menemuinya. Mengetahui Viona sedang dekat dengan Yamada, Hasan hanya berpesan bahwa Viona harus ingat Tuhan. Yamada bukan pemeluk Islam. Karena itu, Yamada bersedia masuk Islam. Ia belajar ilmu agama, belajar tata cara salat dan sebagainya.

Sebuah kenyataan terungkap. Diam-diam Yamada memahami perasaan Viona dan Hasan. Mereka berdua sedang bergejolak. Ia kemudian sadar bahwa agama bukan mainan. Sebenarnya ia masih ragu untuk memeluk Islam. Ia hanya ingin Viona menjadi istrinya.

Saya memberikan dua sampai tiga bintang untuk film ini. Percakapan bahasa jepang yang hampir 60% digunakan membuat saya seperti merasa menonton film jepang. Akting Joe Taslim sangat natural di dukung dengan face-nya yang sangat Jepang sekali. Ario Bayu, sudah pasti tidak diragukan. Sedang Atiqah Hasiholan?

Saya melihat Atiqah berbeda di sini. Selama ini, saya melihatnya sebagai aktris yang selalu memiliki peran serius, high class, moderat, dewasa, dan sebagainya. Seperti di beberapa film yang pernah saya tonton. Antara lain Java Heat, Ruma Maida, Jamila dan Presiden serta Arisan. Di film ini, ia berperan sebagai gadis lulusan Desain yang aktif, lincah, ceria, sedikit manja dan kurang peka. Saya merasa karakter ini kurang pas dimainkan oleh Atiqah. Namun, saya juga melihat ia telah berusaha keras untuk menjadi Viona dengan baik. Di sinilah saya melihat sisi lain dari seorang Atiqah Hasiholan.

Well. La Tahzan. Artinya Jangan Bersedih. Saya masih bingung dimana letak La Tahzan di film ini. Dari awal cerita hingga akhir, saya konsentrasi untuk mereka-reka apa sebenarnya inti film ini. Dan saya hanya menemukan satu kata: Orenji! (red: Orange. Bahasa Jepang) Bahwa sesuatu yang terlihat manis di luar belum tentu manis di dalam. Apakah istilah Orenji ini berlaku bagi kisah hidup Hasan? Atau gambaran Jepang menurut kacamata Hasan dan Viona?
Satu hal yang saya pahami hingga sekarang, bahwa agama bukan permainan yang bisa kita mainkan sewaktu luang, agama bukan kartu yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Agama adalah iman. Percaya di dalam hati.

Satu hal lagi, Original Movie Soundtrack yang memakai lagu Udje-Bidadari Surga sempat membuat saya sangat tertarik. Dan akhirnya, non-sense.


Salam.
Nay, 17 Agustus 2013
00:59

Kamis, 05 September 2013

Sudah lupa tanggal berapa kejadian sebelum-sebelumnya... Yang jelas, Senin 02 September 2013 adalah hari baru saya menyandang status sebagai seorang pengajar, guru bahasa inggris di salah stu sekolah menegah atas islam swasta di daerah dekat rumah saya. Tepatnya di kecamatan sebelah. Jauh dari anggapan tentang trah, garis keturunan, garis kekuasaan dan segala cibiran. Tidak pernah terencana sebelumnya bahwa saya akan memutuskun untuk berlabuh di pekerjaan satu ini. Basic saya yang bukan seorang lulusan sarjana pendidikan membawa saya takut dan sempat ogah untuk menjajal dunia ini. Namun, tekad dan keinginan saya yang mebawa saya untuk mengabdikan diri di sini. Jalan berfikir saya yang lebih realistis, tekad untuk tidak menganggur dan keinginan untuk mengamalkan ilmu saya adalah beberapa diantara alasan saya terjun di sini. Saya tidak berpikir bahwa saya bisa, namun saya berpikir bahwa saya harus terus belajar dengan mengambil tantangan-tantangan yang bahkan di luar jangkauan saya. Itu semata karena saya percaya bahwa Tuhan ada di dimana saja ketika saya membutuhkan-Nya. Dan satu yang harus diingat, bahwa saya akan tetap belajar menulis, menjual ide-ide saya lewat tulisan dan membahagiakan hati saya dengan karya. Bismillah. Semoga ini bukan jalan yang akan membawa saya kepada murka Tuhan. Semoga Tuhan meridhoi. Amin. Salam. Semangat!





Nay
05 September 2013
Twitter         : @nona_nay
Surel/FB      :  an_nuura@yahoo.co.id

Kamis, 23 Mei 2013

Oase

Kawan, kamu tahu apa yang paling membuatku bahagia di dunia ini? Bukan karena mendapatkan baju bagus, gadget yang up to date atau benda mewah lainnya. Yang membuatku bahagia adalah menemukanmu. Seperti sudah jarang, bahkan langka, ada seorang yang sepertimu. Kamu tahu kawan? Menemukanmu adalah seperti menemukan setitik oase di tengah sahara nan luas.


Malam itu, kita sedang menikmati panasnya jagung bakar dan kopi yang kita sruput di bukit bintang. Hawa dingin sungguh menusuk membawaku dan beberapa kawan lain ke dalam obrolan tentang daging dan perempuan. Ditengah perdebatan itu, kamu hanya tersenyum sambil meneruskan menulis. Katamu, apa hasil bicara kalian? Apakah memberi perubahan? Lalu kamu melanjutkan kembali menarikan penamu di lembar demi lembar blocknote yang selalu kamu bawa kemanapun kamu ada.


Pernah juga ketika aku `ngotot` soal LPG 3KG yang mulai langka, kamu hanya tertawa kecil lalu mulai memetik dawai gitar dan bersenandung. Kamu baru berhenti ketika aku berteriak kencang dengan memanggil namamu, "Fikriiiiii.....".


Kamu selalu acuh ketika issu-issu hangat beredar di media. Bagimu, berita-berita `uneducated` itu tak ubahnya seperti bakwan-bakwan hangat yang tersedia di meja bu tini, pedagang gorengan favoritmu. Belum dua jam semua gorengan panas itu telah habis. Kamu bilang, tidak usah heboh. Paling satu dua minggu lagi sudah berganti berita `heboh` lain. Percayalah. Demi Tuhan!


Aku mungkin baru mengenalmu, kawan. . Namun satu hal yang perlu kamu tahu, aku belum pernah mempunyai teman yang sepertimu. Jangan GR dulu ya. . Rerata mereka hanya tukang gosip, sekedar mencari kesalahan orang lain, omong besar dan selalu heboh. Sedang kamu, yang lebih berbicara adalah tanganmu. Lewat tulisanmu.


Pernah suatu kali aku kaget. Kolom opini sebuah koran nasional bertuliskan namamu. Yang sangat aku tidak percaya, obrolan tentang daging dan perempuan yang hanya kau balas dengan senyum itu seakan meleleh dan meluap di halaman ini. Kau utarakan dari pelbagai sudut pandang. Kau kuatkan dengan teori materialism, hedonism dan lain-lain yang tidak satupun aku pahami. Sungguh indah tulisanmu, kawan. . .


Pernah di satu waktu tiba-tiba sebuah pesan singkat mampir di ponselku. Itu darimu. `Jangan terlalu menjadi budak novel. Mulailah membaca bacaan yang lebih membangun cara berfikirmu, Nay kecil...`.

Aku tidak membalas pesanmu. Aku lebih memilih membiarkan mulutku memakimu atas tuduhan yang entahlah, selalu membuatku tersinggung namun terasa nikmat. Kamu hanya diam atas segala ocehanku. Lalu, beberapa detik kemudian petikan gitarmu terdengar. "Nay, sudah ngomongnya? Mau dengarkan lagu baruku?", katamu sambil tersenyum. Aku seperti tersiram air es dibawah suhu minus yang paling minus. Dan entah mengapa, aku selalu menikmatinya.



Gresik, 23 Mei 2013
22:04

Sabtu, 11 Mei 2013

Pemberhentian Terakhir

Setiap titik-titik yang diteteskan hujan itu mempunyai cerita. Embun yang setia pada pagipun awalnya hanya setitik dan lamat-lamat menyisahkan basah yang sangat. Begitupun dalam setiap ceritera. Titik-titik membawa pada kalimat yang panjang dan bermuara sebagai sebuah kisah. Lambat laun kisahpun tak cukup satu, ada dua, tiga, bahkan beberapa.


Setiap langkah mempunyai alasan. Tiap-tiap alasan memberikan makna. Bukan hanya satu makna,ada pula dua, tiga hingga hampir lima. Langkah membawa pada satu tujuan. Ada yang bilang, tujuan itu tidak begitu penting. Yang lebih berharga adalah perjalanan. Entah dengan apa langkah yang diambil untuk sampai pada tujuan. Yang jelas menikmati perjalanan membawa pada satu kepuasan. Oh ya, bisa lebih darisatu, dua, tiga dan seterusnya.


Namun, pada saatnya,semua itu akan terhenti. Yang menghentikan adalah masa. Hasil akhir sangatlah ditentukan oleh permulaan. Titik-titik hujan itu akhirnya akan menjadi banjir jika tidak terhalang hutan rindang. Begitu pula tiap langkah yang tidak dibentengi oleh kekuatan dan keyakinan teguh. Langkah yang tidak memilki tujuan. Langkah-langkah itu tak berguna. Sia-sia.


Gresik, 11 Mei 2013
Noura

Senin, 08 April 2013

Hazy Rhyme

And I jot down your name in my heart
Though it's summer even in breeze
Jotting down thou step by step
Nay, don't move on!
Just keep your step and slow down

Spring and autumn has moved and on
let me stand waiting thou
hafta forget the others scream
supposing to build another dream

Gray,
Hazy,
Gloomy,
This track seemed to be gloom
but am sure to wait till doom



Gresik, April 9, 2013

Kamis, 04 April 2013

Curhat buat Diary

Dear Diary,
Kehidupan itu seperti roda. Terus berputar menyusuri masa. Sesekali berhenti singgah untuk sekedar minum kopi. Atu bisa juga hanya menyapa teman lapa di ujung gang yang bersebelahan dengan pertokoan.

Diary,,
Manusia sudah kurang bisa dipercaya. Setiap hari ada saja yang menjadi perdebatan. si A dituduh bermain dengan Si B. Si C sedang berkasus dengan Si D. Entah ada Si E, F, G sampai Z yang sedang bermasalah. Semua ada setiap hari.
Kepala serasa pecah melihat mahluk-mahluk Tuhan dengan issu-issu berbeda sepanjang zaman. Ad yang sedang dipenjara karena kasus tampar menampar. Ada yang sedang "galau" karena Eyang-nya (dianggap) sesat dan ada yang dipenjarakan mantan pacar.
Sarapan pagiku selalu bermenukan itu-itu saja. Makan siangpun disambut warta yang sama. Hanya saat malam saja aku bisa ngakak karena parodi yang disuguhkan awak operet itu  cukup menghibur. Kadang kritis juga dengan tontonan berbudaya seperti di beberapa stasiun bernafas informatif selain warta-warta geje itu.

Dear Diary,
Tuhan sedang tertawa di atas sana. Mahluk-mahlukNya sedang kocar-kacir. Mondar-mandir berputar bak kincir.
Siapkan saja waktu kapan Tuhan perintahkan Isrofil untuk meniupkan suara kiamat untuk dunia yang sudah teramat pekat.




Nay
Gresik, 04 April 2013