Ia biasa dipanggil Leprechaun. Tubuh lapuknya tak henti mengganggu
siapaun yang berani setor nyawa ke rimba. Jantan, rakus dan tua. Bahkan
kerikilpun bisa dijualnya. Begitu kata nenek suatu sore. Aku yang masih
berusia tujuh tahun mudah saja mengamini cerita nenek. Baru ketika aku
menginjak belasan, aku baru tahu jika semua itu tak ubahnya dongeng
pengantar tidur. Leprechaun tidak ada. Lelaki tua itu bukanlah Lucifer,
kurcaci, goblin atau apapun. Manusia. Ya. Dia manusia. Sama seperti
kita.
Aku membawa kapak menuju rimba. Pagi itu aku mememani kakek
menebang kayu untuk ditukar dengan setampuk roti. Sisa-sisa kayu yang
tidak terjual biasanya digunakan nenek untuk mendidihkan sup jagung
kesukaan kami. Ceracau burung pagi menghantarkan kami lebih ke tengah
rimba. Kami berpencar. Kakek melirik pohon quercus di arah barat. Aku
diutusnya ke selatan. Satu pesannya, jangan sekali-kali ke seberang. Di
sana tinggal bangsa jin. Salah satunya adalah Leprechaun.
Sungai itu tidak terlalu luas, tapi kata kakek sungai ini
tidak berujung. Semaknya tinggi dan aku tidak benar-benar yakin apa
benar dibaliknya ada kehidupan. Sebenarnya ada satu sisi yang tidak
bersemak. Orang-orang biasa mencari ikan di sana. Namun tentunya mereka
tidak akan membiarkan anak laki-laki belasan sepertiku untuk sendirian
di sana.
Pohon oak berdaun rimbun berdiri kokoh di bibir sungai. Inilah
satu-satunya pohon yang mampu menaungi kepala-kepala pemegang kail. Kayu
bakar yang sedari tadi kukumpulkan sekarang sudah menggunung. Aku
beristirahat sejenak di bawah rimbunan daun oak sembari menunggu kakek.
Ini adalah tempat kami biasa berkumpul.
Angin semilir serta sapaan riuh burung-burung membuatku sedikit
terpejam. Namun aku segera terperanjat. Tetiba aku melihat sekelebat
bayangan membelah semak-semak tinggi itu lalu berjalan cepat agak
pincang. Aku sangat penasaran. Apa itu yang disebut dengan Leprechaun?
Sosok tua yang sangat mengganggu, rakus dan suka menghabisi siapapun
yang berani sendirian ke tengah rimba.
Aku melihat sebuah sampan telah ditinggalkan pemiliknya. Aku
menoleh ke belakang. Kakek belum muncul, pikirku. Ada niatan untuk
menyeberangi sungai dengan sampan lapuk itu. Antara iya dan tidak lalu
aku memberanikan diri menyeberanginya. Di seberang, aku ikatkan tali
pada batang oak lapuk dan melanjutkan langkahku membelah semak.
Tanahnya sedikit becek. Seperti perpaduan gambut dan pasir. Aku
mengikuti jejak-jejak yang tertinggal di tanah. Jika ia sebangsa jin
mengapa jejak kakinya terekam jelas, pikirku. Jalanan semakin sempit.
Belukar itu telah memakan seluruh jalan dan hanya sisa setapak. Suara
hewan kecil riuh terdengar. Pohon-pohonnya semakin tinggi dan matari
mulai enggan menelisik lebih dalam.
Aku masih mengikuti jejak dalam rimba yang belum aku pahami
ujungnya. Tetiba aku mendengar sebuah pintu terbuka. Aku bersembunyi di
balik pohon yang cukup lebar tubuhnya. Di ujung jalan, tampak sebuah
rumah kayu yang tidak begitu lebar. Seorang berjubah abu berjalan
bungkuk sedang membuka pintu. Pintu berdecit dan terbuka. Tangan kirinya
membawa sesuatu yang berdarah. Sepertinya ia baru saja berburu rusa.
Aku menyelinap menuju rumah kayu itu. Aku bersembunyi di bawah
jendela samping. Asap mengepul di atasnya membuatku agak tersedak.
Mungkin ia sedang menyiapkan belanga untuk rusa buruannya tadi.
Aku berdiri dan tanpa sadar kepalaku membentur daun jendela.
Suaranya rapuh mencoba mendekat. "Siapa di sana?". Keringat dingin
mengucur dari ubun-ubun hingga kaki. Aku takut melangkah. Namun tubuh
itu telah ada di depanku, di balik jendela itu.
Aku hanya terdiam. Beberapa saat kemudian tanganku sudah ada
dalam genggamannya dan dengan terseok dia membawaku ke dalam. Bau
dedaunan yang diuapkan di atas bara cukup menyengat. Kanan kirinya
terlihat rak-rak menjulang tinggi berisi tumpukan kitab bersampul kulit.
Di sisi lain, kepala rusa dan harimau menyeringai lepas. Aku didudukkan
di atas bangku panjang menghadap ke ranjang.
"Sedang apa kau di luar, anak muda? Kau mengikutiku?"
Aku hanya menunduk antara takut dan malu. Lalu dia menuangkan
cairan semacam sirup ke dalam cawan tembaga dan menyerahkannya kepadaku.
"Minumlah. Bagaimana kamu bisa sampai di tempat ini?"
Aku memberanikan diri untuk segera membuka suara. Kuceritakan
satu dua musababku hingga sampai di sini. Lalu ia pun bercerita. Aku
merasakan ada kejujuran di setiap katanya, ada seberkas perih di setiap
nadanya, dan ada luka yang membekas dalam di hatinya.
Dulu, pekerjaannya adalah peracik obat. Hanya karena tidak mampu
meracik kesembuhan akan wabah lepra yang menimpa penduduk desa ia
kemudian diusir jauh dari desa. Tidak ada tempat yang mampu memberinya
pijakan. Semua orang menganggapnya setan penghancur kehidupan. Hingga ia
menemukan tempat ini, jauh di tengah rimba, tempat segala bahaya.
Orang-orang membuat beragam ceritera tentangnya.
Aku terdiam. Dongeng nenek ternyata salah.
Nay
Jan 14