Cari Blog Ini

Kamis, 06 Februari 2014

Sang Leprechaun

Ia biasa dipanggil Leprechaun. Tubuh lapuknya tak henti mengganggu siapaun yang berani setor nyawa ke rimba. Jantan, rakus dan tua. Bahkan kerikilpun bisa dijualnya. Begitu kata nenek suatu sore. Aku yang masih berusia tujuh tahun mudah saja mengamini cerita nenek. Baru ketika aku menginjak belasan, aku baru tahu jika semua itu tak ubahnya dongeng pengantar tidur. Leprechaun tidak ada. Lelaki tua itu bukanlah Lucifer, kurcaci, goblin atau apapun. Manusia. Ya. Dia manusia. Sama seperti kita.

Aku membawa kapak menuju rimba. Pagi itu aku mememani kakek menebang kayu untuk ditukar dengan setampuk roti. Sisa-sisa kayu yang tidak terjual biasanya digunakan nenek untuk mendidihkan sup jagung kesukaan kami. Ceracau burung pagi menghantarkan kami lebih ke tengah rimba. Kami berpencar. Kakek melirik pohon quercus di arah barat. Aku diutusnya ke selatan. Satu pesannya, jangan sekali-kali ke seberang. Di sana tinggal bangsa jin. Salah satunya adalah Leprechaun.

Sungai itu tidak terlalu luas, tapi kata kakek sungai ini tidak berujung. Semaknya tinggi dan aku tidak benar-benar yakin apa benar dibaliknya ada kehidupan. Sebenarnya ada satu sisi yang tidak bersemak. Orang-orang biasa mencari ikan di sana. Namun tentunya mereka tidak akan membiarkan anak laki-laki belasan sepertiku untuk sendirian di sana.


Pohon oak berdaun rimbun berdiri kokoh di bibir sungai. Inilah satu-satunya pohon yang mampu menaungi kepala-kepala pemegang kail. Kayu bakar yang sedari tadi kukumpulkan sekarang sudah menggunung. Aku beristirahat sejenak di bawah rimbunan daun oak sembari menunggu kakek. Ini adalah tempat kami biasa berkumpul.

Angin semilir serta sapaan riuh burung-burung membuatku sedikit terpejam. Namun aku segera terperanjat. Tetiba aku melihat sekelebat bayangan membelah semak-semak tinggi itu lalu berjalan cepat agak pincang. Aku sangat penasaran. Apa itu yang disebut dengan Leprechaun? Sosok tua yang sangat mengganggu, rakus dan suka menghabisi siapapun yang berani sendirian ke tengah rimba.

Aku melihat sebuah sampan telah ditinggalkan pemiliknya. Aku menoleh ke belakang. Kakek belum muncul, pikirku. Ada niatan untuk menyeberangi sungai dengan sampan lapuk itu. Antara iya dan tidak lalu aku memberanikan diri menyeberanginya. Di seberang, aku ikatkan tali pada batang oak lapuk dan melanjutkan langkahku membelah semak.


Tanahnya sedikit becek. Seperti perpaduan gambut dan pasir. Aku mengikuti jejak-jejak yang tertinggal di tanah. Jika ia sebangsa jin mengapa jejak kakinya terekam jelas, pikirku. Jalanan semakin sempit. Belukar itu telah memakan seluruh jalan dan hanya sisa setapak. Suara hewan kecil riuh terdengar. Pohon-pohonnya semakin tinggi dan matari mulai enggan menelisik lebih dalam.

Aku masih mengikuti jejak dalam rimba yang belum aku pahami ujungnya. Tetiba aku mendengar sebuah pintu terbuka. Aku bersembunyi di balik pohon yang cukup lebar tubuhnya. Di ujung jalan, tampak sebuah rumah kayu yang tidak begitu lebar. Seorang berjubah abu berjalan bungkuk sedang membuka pintu. Pintu berdecit dan terbuka. Tangan kirinya membawa sesuatu yang berdarah. Sepertinya ia baru saja berburu rusa.

Aku menyelinap menuju rumah kayu itu. Aku bersembunyi di bawah jendela samping. Asap mengepul di atasnya membuatku agak tersedak. Mungkin ia sedang menyiapkan belanga untuk rusa buruannya tadi.

Aku berdiri dan tanpa sadar kepalaku membentur daun jendela. Suaranya rapuh mencoba mendekat. "Siapa di sana?". Keringat dingin mengucur dari ubun-ubun hingga kaki. Aku takut melangkah. Namun tubuh itu telah ada di depanku, di balik jendela itu.

Aku hanya terdiam. Beberapa saat kemudian tanganku sudah ada dalam genggamannya dan dengan terseok dia membawaku ke dalam. Bau dedaunan yang diuapkan di atas bara cukup menyengat. Kanan kirinya terlihat rak-rak menjulang tinggi berisi tumpukan kitab bersampul kulit. Di sisi lain, kepala rusa dan harimau menyeringai lepas. Aku didudukkan di atas bangku panjang menghadap ke ranjang.

"Sedang apa kau di luar, anak muda? Kau mengikutiku?"

Aku hanya menunduk antara takut dan malu. Lalu dia menuangkan cairan semacam sirup ke dalam cawan tembaga dan menyerahkannya kepadaku. "Minumlah. Bagaimana kamu bisa sampai di tempat ini?"

Aku memberanikan diri untuk segera membuka suara. Kuceritakan satu dua musababku hingga sampai di sini. Lalu ia pun bercerita. Aku merasakan ada kejujuran di setiap katanya, ada seberkas perih di setiap nadanya, dan ada luka yang membekas dalam di hatinya.

Dulu, pekerjaannya adalah peracik obat. Hanya karena tidak mampu meracik kesembuhan akan wabah lepra yang menimpa penduduk desa ia kemudian diusir jauh dari desa. Tidak ada tempat yang mampu memberinya pijakan. Semua orang menganggapnya setan penghancur kehidupan. Hingga ia menemukan tempat ini, jauh di tengah rimba, tempat segala bahaya. Orang-orang membuat beragam ceritera tentangnya.

Aku terdiam. Dongeng nenek ternyata salah.

Nay
Jan 14