Cari Blog Ini

Selasa, 22 April 2014

Tentang Kami....

"Delapan tahun kita lewati. Berbagai rintangan kita hadapi. Dan ini saatnya kita wujudkan mimpi-mimpi yang sempat terpendam. Salah satu mimpi terindahku adalah meminangmu. Aku ingin memiliki keturunan darimu. Aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Maafkan aku atas segala mimpi buruk yang pernah hadir dalam hidupmu. Semua itu karena ulahku. Maaf. "

sender: 085645079***
received: 23:35:57
21-04-2014



Hati siapa yang tak trenyuh membaca untaian kalimat yang begitu menyejukkan itu. Sms itu praktis membuat malamku berderai air mata. Setelah sebelumnya seseorang menyanyikan penggalan lagu dari Motif Band bertajuk Tuhan Jagakan Dia. Kemudian dilanjutkan dengan obrolan ringan, canda tawa, hingga berhenti pada barisan huruf di atas. Kami berstatus pacar, tapi kami bukanlah pasangan yang sering bertemu setiap kali, pergi kemana saja berdua atau melewatkan setiap sabtu malam bersama. Kami memiliki jalan sendiri. Usia kami bukan lagi belasan yang kerap berkeliaran kesana-kemari. Cerita kami sungguh sangat di luar apa yang pernah kami berdua pikirkan.


Kami saling mengenal di pertengahan 2006. perkenalan kami membawa pada satu titik keakraban kami sebagai teman, sahabat, adik dan kakak. Setahun kita melewati hari-hari bersama, kami mulai merasa tertarik satu sama lain. Kami berdua bukan type orang yang peraya akan Love at the First Sight. Bukan berarti pemilih, tapi kami sangat berhati-hati untuk masalah hati.

20 April 2007 adalah awal dari segala cerita. Ikrar suci itu kami ucapkan atas dasar saling percaya. Ya. Kami memutuskan untuk lebih dari sekedar teman, lebih dari sahabat dan lebih dari sekedar adik dan kakak. Kami berjalan bersama. Hati kami berpagut mesra meski tak pelak badai pun kadang mencoba mendekat dan menghempaskan kokohnya hati kami. Sampai pada akhirnya, 30 Agustus 2010, kami sudah tidak kuat untuk menjalani ini bersama. Selain karena jarak yang cukup jauh, kepercayaan di antara kami pun juga mulai pudar. Kami dihadapkan pada ego yang sama-sama tinggi. Alam bawah sadar kami berusaha untuk selalu menang sendiri.


Akhir 2010, 2011 sampai awal 2012, hampir dua tahun aku tidak pernah lagi mendengar tentangnya. Hanya satu dua kabar yang menyebutkan bahwa dia sudah bahagia bersama yang lain. Aku sangat terpukul. Aku sama sekali tidak pernah percaya dia semudah itu melupakan semuanya. Aku saja sungguh terlampau sulit ketika semakin ingin melupakannya. Aku yang keterlaluan atau bagaimana?

Juni 2012. Rasa itu tumbuh kembali. Entah. Sebenarnya aku ingin berlari namun tenagaku sudah tak cukup. Aku ingin berhenti, berhenti dan diam di hadapannya. Aku benar-benar tak kuasa berjalan sendiri. Satu kenyataan, bahwa dia sempat sangat merasa terpukul atas keputusan kami saat itu. Dan dua tahun yang kelam itu semata-mata hanya untuk pencarian jati dirinya. Ya. Dia mengalami krisis identitas. Dia biarkan dirinya berjalan jauh hingga sampai tak sadar ia terlampau jauh menembus batas. Dia khilaf.

Pertemuan-pertemuan tak sengaja berikutnya membuat hati kami terpanggil kembali. Namun, kami belum cukup siap untuk menjalani apa yang pernah kami sepakati bersama. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk berjalan bersama tanpa ada paksaan. Biarkan hati kami yang memilih. Dan, 12 Desember 2012 hati kami sudah memilih. BismIllah.

Badai itu belum cukup. Abad kegelapan itu sering sekali mengusik. Aku kurang percaya meski dirinya berusaha beribu-ribu kali menjelaskan. Rasa trauma membuatku selalu merasa curiga. Tuhan, aku inngin percaya, tapi ketakutanku begitu besar....

Juni 2013, hatiku mantap memilihnya.

Dan setelah itu, tidak pernah ada lagi kebohongan di antara kami. Hati kami sudah berpagut erat.

Kini, April 2014, sudah delapan tahun kami saling mengenal. Kami bukan lagi anak kemarin sore yang bisa dengan mudahnya diombang-ambing oleh segala godaan. Satu hal yang selalu ia ajarkan adalah "Sabar". Kami pernah jatuh oleh ego kami masing-masing. Kami pernah sakit karena ulah kami sendiri. Jika saja saat itu kami sabar, mungkin delapan tahun ini tidak akan ternodai oleh kata putus-nyambung ribuan kali.

Dan, kami punya mimpi-mimpi. Suatu saat kami akan memperoleh kenyataan dari mimpi-mimpi kami. Percayalah, semua akan indah pada waktunya. Tuhan tidak pernah tidur.



Nay
22 April 2014

Jumat, 04 April 2014

Senja dalam Cinta dan Kehangatan Pulau Weh

sumber gambar: http://bentangpustaka.com/wp-content/uploads/Sunset-in-Weh-Island-3D-300x300.png




Judul                            : Sunset in Weh Island
No. ISBN                    : 2010019068258
Penulis                          : Aida M.A.
Penerbit                        : Bentang Belia
Tanggal Terbit               : Januari 2013
Jumlah Halaman            : 260
Kategori                       : Remaja
Teks Bahasa                 : Indonesia


Sunset in Weh Island adalah sebuah novel remaja yang ditulis oleh penulis muda berbakat, Aida M.A. Novel setebal 260 halaman ini diterbitkan oleh salah satu lini Bentang Pustaka, Bentang Belia. Novel terbitan tahun 2013 ini menyuguhkan keindahan alam Indonesia yang sangat memesona, terlebih pada latar utama cerita yakni di pulau paling ujung Indonesia, Weh, Sabang.
Seperti novel remaja pada umumnya, Sunset in Weh Island menceritakan tentang cerita cinta khas remaja pada sebuah tokoh unik bernama Mala serta pemuda tampan berkebangsaan Jerman, Axel. Mala adalah  seorang remaja cerdas, puteri kecil Bram, pemilik salah satu cottage di Ie Boih. Ia bukanlah gadis seksi yang sintal dan cantik. Dia kurus, tidak terlalu tingga serta berkulit cokelat. Namun sikapnya dewasa, cerdas dan imut. Persis seperti mendiang Mommy, isteri Bram.
Pertemuan dua hati ini berawal ketika Mala berada dalam satu kapal yang sama dengan Axel, bule Jerman yang datang ke Indonesia dengan niat hilang sementara dari segala hal tentang Marcell, sahabat yang telah mengkhianatinya. Pertentangan akan penjualan sebuah gudang milik Marcell yang telah dijadikan markas latihan tim reggaeton, perpaduan tarian hiphop dan latin, asuhan Axel inilah yang membawanya terbang berjam-jam dari Frankfurt ke Jakarta lalu menetap menemani pamannya, Alan, di sebuah surga eksotis di ujung Sumatera bernama Weh.
Cottage Alan, yang juga sebuah tempat pelatihan diving, bersebelahan dengan cottage Laguna milik Bram. Inilah yang membuat keduanya bertemu. Mala selalu menyajikan menu-menu baru di cottage bersama dengan Fida serta Rahmat, pasangan suami istri yang menjadi pegawai Bram. Selain mereka, ada pula Raffi, sang istruktur diving, idola Mala sejak dari SMA yang selalu memanggilnya dengan sebutan Adik Kecil.
Pertemuan tidak sengaja Axel dan Mala membawa mereka pada perseteruan khas remaja. Axel menjuluki Mala dengan The Accident Girl karena kecerobohannya. Mala memanggilnya dengan Curly karena rambut Axel yang ikal. Mereka tidak pernah bisa berbicara dengan sikap bersahabat. Namun pada akhirnya hati mereka terpaut. Ketika Mala merasa jika perasaannya kepada Raffi sungguh sangat mustahil. Raffi telah memiliki kekasih, seorang gadis pemenang ajang kecantikan. ia sangat jauh berbeda dengan Mala. Axel pun sedang resah akan permasalahannya dengan Marcell. Dua kali ia merasa dihianati. Setelah kepergian ibunya ke LA lalu persahabatannya denga Marcell. Pasca itu semua, ia semakin tidak percaya dengan cinta. Diantara kepercayaan, harapan dan cinta ia hanya memilih sebuah kepercayaan. Dan mereka berdua, ibunda Axel serta Marcell, adalah dua orang yang tidak bisa dipercaya. Dari curhatan malam itu, terasa ada sesuatu yang bebeda di hati mereka berdua.
Mala memiliki kebiasaan yang unik. Melihat sunset di senja yang menakjubkan membawa ingatannya melayang pada dimensi lain tempat Mommy berada. Rindunya kepada Mommy membuatnya kerap berderai air mata. Angin senja akan selalu membawa salamnya kepada Mommy di surga. Dengan kebiasaannya ini, Mala membawa Axel ke setiap tempat yang menyuguhkan pesona keindahan sunset. Menikmati burung kembali pulang serta menyaksikan awan yang berkejaran dengan mega merah membuat tautan hati keduanya semakin kuat.
Membaca Sunset in Weh Island, kita akan diajak menyusuri jengkal demi jengkal jalanan kota Sabang. Dimulai dari pelabuhan Balohan yang menghubungkan dengan Banda Aceh, sepanjang jalan danau Aneuklaot, Pantai dan alam bawah laut yang menakjubkan di  Pulau Rubiah serta Tugu Sakti Nol Kilometer, titik nol kilometer Indonesia. Seperti membaca sebuah buku destinasi perjalanan, keterangan kota demi kota dijelaskan secara gamblang namun tidak membosankan. Kenangan demi kenangan disajikan begitu romantis. Kedewasaan dalam bersikap dan berkata setiap tokohnya menjadikan novel ini bukan lagi novel remaja yang cengeng, manja, akan tetapi sebuah cerita yang sangat berbobot, unik namun terkesan tidak menggurui. Penjelasan singkat tentang diving menambah nilai plus di novel ini. Begitu pula dengan penggunaan bahasa jerman dalam beberapa dialog dapat memberikan kesan eksklusif dan menarik pada sebuah novel remaja.
Tidak akan pernah bosan membaca novel ini. Meski jalan cintanya bisa ditebak seperti novel remaja pada umumnya, namun cara Aida M.A. menarasikan satu persatu deskripsi sebuah kota, pertautan dua hati yang tidak disengaja, serta gejolak ego remaja membuat pembaca betah berlama-lama serta  ingin terus dan terus melahap lembar demi lembar hingga halaman terakhir.
Akhirnya, Sunset in Weh Island telah memberikan satu warna berbeba pada genre novel remaja Indonesia. Keindahan Bumi Indonesia, Nilai Persahabatan, Kasih Sayang Orang Tua, Cinta, Kata Hati, Kecerdasan serta Proses Pendewasaan dikemas secara apik membuat novel ini layak dibaca.

Saya beri Empat Bintang.



Gresik, 05 April 2014
Noura "Nay" Nahdliyah


Berikut ini kutipan yang menurut saya sangat berkesan:
-          “Kamu lihat bagaimana laut yang tenag kemudian bergelombang, membawa ombak naik, surut, menepi, lalu kembali lagi. Itu perumpamaan hidup manusia. Tuhan membuatmu memiliki sahabat, tapi bersamaan dengan itu Tuhan memberimu seorang musuh. Bahkan itu bisa terjadi dari seseorang yang tidak kamu harapkan sama sekali……………” Alan kembali bertanya……dst (pg 192)
-          “Kalau kamu mencintainya, tunjukkan saja.tapi, kamu harus percaya, sakit dan bahagia itu satu paket. Kita tak bisa memilih bahagia saja dan menghindari duka. Sebagai pengandaian, kamu nggak bisa beli sepatu sebelah kiri saja karena yang kanan diciptakan dan difungsikan secara bersamaa. Percayalah, Mala…saat kamu bisa menerima keduanya, hatimu akan lebih tenang”. (pg 201)
-          Aku tidak mencintaimu karena sebuah kepercayaan, tapi aku percaya bahwa ketika kita saling mencintai maka kita akan saling menjaga, saling memberi yang terbaik. Coz you, you just come and go like a beat, like the same song on the radio, fast forward and rewind. Play that song again..and again. (pg 223)
-          “Kamu tahu? Di belahan bumi mana pun aku pergi, aku tahu separuh hatiku tertinggal di sini, karenanya aku selalu kembali, di sini, di hatimu.” (pg 243)


End