Pernah galau????
Saya termasuk tipe perempuan yang mudah sekali ketahuan ketika
sedang galau. Mungkin karena wajah saya yang melas ya.. (hihihi spoiler)
Jadi begini… Saat itu akhir tahun 2011. Saya sudah harus
memprogram skripsi untuk tugas akhir S1 saya. Setelah lulus proposal, saya
lanjut analisa per bab. Nah, Desember 2011 nenek saya meninggal. Kedekatan saya
dengan beliau membuat saya sempat terpukul. Rasanya, perasaan belum siap
kehilangan telah membuat saya sangat marah pada keadaan. Hasilnya, hampir satu
bulan skripsi tidak saya pegang sama sekali.
Februari 2012 saya
mulai ngebut dengan skripsi.
Saya benar-benar ingin segera lulus dan dapat mengikuti wisuda di bulan Juli.
Satu bulan saya bergelut dengan buku sumber, intens bertemu dosen pembimbing,
revisi dan terus revisi. Maret 2012 petaka itu kembali mendera. Saya mendapati
teman dekat saya (kami pernah berstatus pacar selama dua tahun lalu kami memutuskan
untuk menjadi teman saja karena dirasa lebih banyak kerugian daripada
manfaatnya) sedang dekat dengan seseorang dan saya mengenal baik perempuan itu.
Hati mana yang tidak sakit. Saya merasa dibohongi. Skripsipun terbengkalai
kembali. Banyak sekali revisi yang harus saya kerjakan sementara otak saya
tidak cukup kuat untuk merumuskannya.
Dan April 2012 saya bertekat untuk segera menyelesaikan
segala yang tertunda. Dengan tidak menghiraukan apapun, minggu kedua Mei 2012
saya berhasil sidang. Tentu dengan adanya revisi di beberapa hal. Saya kerjakan
dengan sepenuh hati. Hingga pada akhirnya saya mendapatkan kabar jika saya
lulus sidang dengan nilai A. Saya bahagia. Namun, kegalauan saya belum berhenti
di situ. Apakah saya bisa menyandang gelar sarjana di bulan Juli? Tuhan belum
berpihak kepada saya.
Salah satu syarat kelulusan di universitas tempat saya belajar
adalah nilai TEP (sejenis TOEFL) minimal 500 untuk jurusan bahasa inggris dan
450 untuk semua jurusan selain Bahasa Inggris. Karena saya mengambil jurusan
Sastra Inggris maka saya harus menyelesaikan hutang nilai 500 itu. Petaka
tersenyum kepada saya. Sebelas kali saya harus bolak-balik di nilai 480, 470,
487, begitu seterusnya. Saya sempat patah semangat. Kemungkinan wisuda bulan
Juli sudah sirna. Pendaftaran wisuda sudah ditutup. Saya tidak mungkin
mengikuti tes kembali dengan rentang waktu sedekat itu. Saya pun menghibur diri
saya sendiri untuk dapat merelakan jika saya harus wisuda di bulan Oktober
2012.
Tuhan menjawab doa saya. Kegalauan saya membuahkan sebuah
prestasi. Tes yang keduabelas, nilai saya mencapai target. Saya mulai percaya
jika selagi ada usaha maka apapun dapat terwujud. Usaha itulah yang disebut
dengan proses. Sebanyak apapun proses yang harus saya lewati, yakinlah bahwa
pada proses yang terakhir kebahagiaan itu akan didapat. Masalahnya, kita tidak
pernah tahu kapan datangnya proses terakhir itu. Mungkin seperti inilah para
pakar berproses, seperti Thomas Alfa Edison yang menemukan pijar bohlam terbaik
pada percobaannya yang ke 9999.
Saya percaya, Galau itu penyakit hati. Penyakit yang dibuat
sendiri oleh hati dan fikiran kita. Kolaborasi keduanya membuat kita bingung
untuk bertindak, tidak bisa berfikir jernih, sehingga mengganggu aktifitas kita
sehari-hari. Obat galau juga bergantung pada hati kita masing-masing. Jika kita
memandang segalanya dengan positif, pasti penyakit itu akan hilang dengan
sendirinya. Tentunya dengan tidak pernah melupakan bahwa segala yang terjadi
adalah dengan adanya campur tangan Tuhan. Hanya kepada-Nyalah kita menyerahkan
segala keluh kesah. Dan hanya kepada-Nyalah kita memohonkan segala jalan.
Stop Galau! Jika tetap galau, kita harus berkaca pada hati
masing-masing. Sudah sedekat apakah kita dengan Tuhan???
Noura ‘Nay’ Nahdliyah
03 Mei 2014