Cari Blog Ini

Selasa, 18 November 2014

Saya dan Literasi

Membudayakan literasi adalah cita-cita saya. Entah bagaimana caranya, saya ingin mempunyai perputakaan pribadi di rumah, berada pada lingkungan yang benar-benar "melek" literasi serta mampu mendidik anak-anak saya nanti dengan kebiasaan satu ini. Secara pribadi, saya mulai tenggelam dalam dunia literasi sejak dini. Saya sangat bersyukur dilahirkan di sebuah keluarga yang sadar betapa pentingnya membaca dan menulis. Saya terbiasa mendengar tante (adik dari bapak) saya yang selalu mendongeng sebelum saya tidur. Nenek saya pun melakukan hal yang sama. Kenapa bukan ibu saya? karena saya sudah punya adik ketika usia saya masih dua tahun jadi saya lebih banyak tidur dengan Tante dan Nenek. Meski begitu, ibu saya yang notabene adalah guru Taman Kanak-Kanak akan selalu meminjami saya buku-buku cerita bergambar dari perpustakaan sekolah, tentunya yang sesuai dengan usia saya. Bapak saya juga hobi membaca. Di rumah, kebanyakan buku-buku agama, filsafat islam, sejarah islam dan beberapa kitab kuning lainnya adalah milik Bapak. Saya baru sadar, kepergian Bapak sembilan belas tahun silam meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi kami ketiga anaknya, yakni buku-buku itu.

Saya sudah khatam Qishosul Anbiya' pada usia saya yang masih sembilan tahun. Meski saat itu saya tidak membaca ayat-ayat yang termaktub di dalamnya, namun saya dapat dengan mudah terbawa suasana ketika membaca kisahnya hingga di luar kepala. Saya lebih dahulu tahu tentang kisah Nabi Khidzir dan Nabi Musa ketimbang teman-teman saya saat itu. Ketika pelajaran Aqidah di sekolah sedang membahas itu, saya sudah memahami dan merasa pintar sendiri (Jangan ditiru kalau yang ini. Anak kecil biasa ingin mencari perhatian guru dengan menjadi sosok serba tahu dan bahkan sok tau).

Saya tidak pernah dipaksa untuk membaca. Saya selalu ingin tahu tentang hal-hal baru. Di rumah, banyak sekali cergam-cergam sederhana yang biasa saya beli di tukang mainan depan SD sdulu. Masih ada beberapa seperti Kisah Nabi-Nabi, Surga -Neraka, Punakawan, dan beberapa Cerita Misteri. Kalau tidak salah buku-buku kecil nan tipis itu harganya lima ratus rupiah, sekitar akhir tahun sembilanpuluhan atau awal duaribuan. Selain itu, saya rajin ke perpustakaan sekolah hanya untuk mengobrak-abrik majalah Mentari dan Bobo di lemari. Dua majalah itu yang selalu menjadi incaran saya. Saya sering bermimpi menjadi Nirmala dan saya paling muak dengan paman Gober. Saya juga ingat, buku paket Bahasa Indonesia jaman saya SD dulu terbitan Balai Pustaka. Di dalamnya banyak sekali cerita rakyat. Dari sinilah saya tahu cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Roro Jongrang dsb.Ketika SMP, saya mulai bisa membeli buku yang agak "mahal". Saya selalu hunting komik detective Conan dan Doraemon di Pasar Pahing, pasar desa setempat. Selain itu komik-komik jepang lainnya saya pinjam dari teman. Barulah ketika SMA saya lebih serius membaca dan terkesan lebih memilih bacaan yang berat-berat.

Rasa ingin tahu yang tinggi tidak serta merta menghentikan bacaan saya pada satu buku itu saja. Saya akan selalu mencoba untuk mencari tahu hubungan-hubungan lain yang saling berkaitan dengan apa yang sedang saya baca. Seperti pada saat itu saya duduk di kelas dua SMP (sekarang kelas delapan). Saya menemukan istilah Segitiga Bermuda dari komik Doraemon. Ceritanya Nobita dkk terperangkap ke dalam segitiga sesat itu. Banyak kapal atau pesawat yang selalu hilang di sana. Saat itu saya belum mengenal internet. Dengan membawa sejuta penasaran saya menanyakan hal itu kepada guru Geografi. Dan saya pun menemukan jawaban yang logis tentang Bermuda. Jawabannya sangat ilmiah, tidak seperti tayangan televisi islami jaman sekarang yang yakin jika Bermuda adalah istana Dajjal (eh).

Bagi saya membaca adalah perintah Tuhan. Bukankah yang diperintahkan Tuhan untuk Muhammad pertama kalinya adalah Iqra', bacalah? Tidak membaca sama dengan mangkir dari peritah Tuhan, itulah yang saya jadikan pemacu untuk terus membaca dan membaca. Bagi saya, membaca adalah candu. Sedikit saya mencobanya pasti ketagihan lagi dan lagi. Membaca bukanlah perkara mudah. Membaca itu ibarat salat. Jika hanya membaca tanpa tahu tujuannya, alur ceritanya, hubungan dengan hal-hal lain dan segala tetek-bengeknya maka membaca itu batal, tidak sah dan nonsense.

Selanjutnya tentang menulis. Bertahun-tahun setelah bangsa primitif meninggalkan tulisan gambar, potongan dan bunyi mulailah dikenal tulisan alfabetis yang kita kenal sekarang ini. Menulis adalah sejarah. Apa yang pernah terjadi biarlah menjadi masa lalu namun menulislah. Tulisan itu nantinya akan memberikan pembelajaran yang sangat berharga jika kita pernah khilaf di masa lalu. Sebaliknya, ketika dalam masa lalu kita bahagia maka tulisan itu akan menjadi sebuah perwujudan rasa syukur kita yang mendalam. Sukarno saja pernah bilang bahwa kita janganlah sampai melupakan sejarah. Dari mana kita tahu sejarah bangsa kita jika para pakar sejarah itu tidak menuliskan penemuannya dalam buku-buku yang nantinya kita baca. Bahkan Much Khoiri dalam essainya Andaikata Gajah Mada Menulis Memoar (2014) berandai-andai jika sang Maha Patih itu dapat menuliskan sejarahnya maka Indonesia akan cerdas akan pengalaman-pengalaman maha dahsyat di masa lalu. Kiranya begitulah makna penting bagi Literasi, khususnya membaca dan menulis.

Literasi sebenarnya tidak hanya mencakup ranah membaca dan menulis saja. Banyak sekali media literasi yang ada. Namun, Indonesia belum sepenuhnya kenal dengan Literasi. Hal yang paling sederhana contohnya adalah membaca. Kebiasaan membaca yang minim membuat pemuda dan pemudinya terasa tertinggal jauh di belakang. Sementara para youth dinegara bagian lain sudah melangkah jauh di depan. Di Inggris misalnya, kita akan dengan mudah menemukan pejalan kaki yang membaca sambil berjalan, makan siang di kantin, di dalam trem, bis dan sebagainya. Di Indonesia? Saya sering membaca di angkot, di halte sambil menunggu bis sepulang kerja dan ketika berjalan di trotoar. Namun apa hasilnya? Saya dianggap sok pintar, aneh dan lucu. Sungguh ironisnya budaya kita.

Akhirnya, membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat berkaitan. Bacaan ada karena ditulis. Menulispun harus berdasar apa yang dibaca. Membaca adalah perintah Tuhan. Menulis adalah investasi hidup kita di masa akan datang. Membacalah sejauh matamu memandang. Menulislah sejauh tanganmu mampu menggapai. Pada saatnya, keniscayaan itu akan ada. Pasti.


Nay
Gresik, 18 Nopember 2014
23:05

Kamis, 13 November 2014

Jejak Budaya Meretas Peradaban - Diary Sang Motivator

Membaca adalah candu. Barisan kata itulah yang selalu terpatri di alam pikir saya, bahwa membaca selalu membuat ingin lagi dan lagi. Bagi saya candu itu bukanlah bercangkir-cangkir kopi, rokok atau apapun. Buku selalu menjadi sesuatu yang membuat saya ingin dan ingin terus membaca. Saya bisa menghabiskan lima ratus halaman dalam satu hari untuk jenis buku apapun, dengan catatan saya sedang tidak banyak tugas dan pekerjaan. Saya bisa membaca dimana saja, di kamar sambil mendengar musik, sambil sms calon suami, sambil menonton televisi, sambil menunggu angkot ketika pulang kerja, ketika di dalam angkot atau bis, sambil makan siang di food court atau dimanapun.

Akibat kecanduan, rasanya hampa jika tidak ada satupun buku yang harus dilahap. Hingga akhirnya saya mendapat kiriman buku dari seseorang yang saya kagumi, dosen pembimbing skripsi saya. Dua ratus dua halaman ini harus saya habiskan dalam tiga hari karena ada beberapa hal yang harus saya kerjakan disamping kesibukan mengajar di beberapa tempat. Ya. Jejak Budaya Meretas Peradaban milik Much Khoiri a.k.a pak emcho ini telah membuka lebar mata saya betapa banyak jalan Tuhan yang belum saya cicipi, bahwa saya adalah hamba yang kecil, belum bisa apa-apa, bahwa saya adalah kerdil dan tidak layak untuk menyombongkan diri.

Kumpulan Essai, saya lebih suka menyebutnya Diary, milik pak Emcho ini menyajikan empat puluh satu tulisan yang dibagi menjadi tiga bagian, antara lain Jejak Safari Budaya, Jejak Etos-Inspirasi dan Jejak Hikmah-Kearifan. Kesemuanya merupakan rangkuman perjalanan beliau dari mulai yang berhubungan dengan studi, pekerjaan hingga kehidupan pribadinya. Kehangatan sebuah keluarga, kerja keras, istiqomah dalam belajar dan bekerja serta kelucuan-kelucuan namun filosofis dihadirkan dengan renyah disini. Bahasanya yang ringan namun lugas membuat essai-essai ini tidak terkesan berat untuk dibaca.

Saya yang notabene adalah mahasiswi Sastra merasa sangat terbantu dengan adanya buku ini. Pengetahuan saya bertambah. Bagaimana multikulturalisme dalam berbangsa dan bernegara itu sungguh penting (dalam essai Spirit Multikulturalisme: Mutual Understanding). Prinsip Otherness (liyan) menjadi penting dari sekedar keseragaman atau kesamaan. Saya jadi teringat almarhum Gus Dur yang selalu menomorsatukan keberagaman bukan keseragaman.

Disamping itu, posisi saya sebagai tenaga pendidik juga merasa sangat terbantu dengan munculnya tulisan-tulisan pak Emcho, terlebih dalam hal pengajaran bahasa. Permainan wacana disajikan sangat baik dalam artikel berjudul Otewe. Begitupun juga dengan judul Di Atas Langit Ada Langit membawakan konsep pengajaran genre teks yang jarang disampaikan dengan jelas oleh guru bahasa dikarenakan perbendaharaan pengetahuan yang belum cukup.

Kemudian saya menjadi iri ketika membaca Melintasi Khatulistiwa, Plane or Train?, Duel dengan Street Boy di New York, dan Dinner Produktif bersama Pak Profesor. Ternyata bukan hanya tubuh saya yang kerdil, nyali saya pun demikian. Saya belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menjelajahi dunia. Saya belum bisa menikmati sisi lain dari sekian juta kilometer luasnya Bumi Tuhan.

Ke Rumah Tegar, Yang Pulang dan Yang Datang serta Rumah Kami Kembali Sepi membawa saya pada perenungan yang teramat dalam. Betapa kehangatan sebuah keluarga utuhlah yang sedang saya rindukan saat ini. "Rumah Tegar" membawa saya rindu "Rumah Bapak" yang jarang saya kunjungi akhir-akhir ini.  

Pada akhirnya saya mengutip penggalan puisi Langston Hughes, bahwa tanpa impian, hidup adalah burung yang berpatah sayap yang tak kuasa terbang. Tanpa impian pula hidup adalah ladang tandus yang membeku bersama salju. Mungkin saya tidak bisa sepenuhnya mewujudkan mimpi-mimpi saya. Namun saya justru akan lebih mudah terjatuh dan tak kuat menahan beban jika saya tidak mempunyai mimpi yang tinggi. Semoga saya dapat memetik hikmah inspirasi dari buku ini, seperti yang pak Emcho pesankan di cover buku: 
Noura, Selamat membaca dan memetik hikmah ispirasi.
TTD
23.10.14






Nay,
13 Nopember 2014
21:16