Pintu hati saya selalu terketuk
akan dua hal, Dua Mantera Ajaib. Yang pertama, saya sangat yakin bahwa Tuhan
tidak pernah miskin memberikan nikmatnya kepada kita, para hamba-Nya. Fabiayyi
aalaa i robbikumaa tukadzdzibaan. Penggalan Ar-Rahman yang diucapkan
berulang-ulang tersebut senantiasa membuat hati saya menangis. Maka nikmat
Tuhan mana lagi yang pantas kita dustakan?
Kita terlampau lupa bahwa Tuhan
telah memberikan segalanya bagi kita. Kita tidak pernah merasa puas. Kita
selalu meminta lebih dari apa yang sudah kita dapatkan. Kadang, melimpahnya
harta menjadi tolok ukur bagi sebuah nama, yakni nikmat. Namun, sadarkah kita
bahwa sebenarnya nafas, detak jantung, serta kesempatan yang selalu kita miliki
adalah nikmat-Nya yang sungguh tidak terkira?
Kita tidak pernah menyadari bahwa
segala yang pernah kita alami saat ini adalah buah dari apa-apa yang pernah
kita lakukan di masa lalu. Ya. Saya telah membuktikannya. Saya memang bukanlah
hamba yang cukup suci untuk tidak berbuat salah. Saya akui, khilaf seringkali
muncul melebihi alam sadar. Namun saya selalu berusaha merayu Tuhan dengan cara
saya sendiri. Dan, saya berhasil. Tuhan masih sangat sayang kepada saya.
Saya sangat mengagumi cara Tuhan
mempertemukan saya dengan laki-laki yang sekarang menjadi suami saya. Seperti
yang saya katakan di atas, bahwa segala laku kita di masa lalu akan membuahkan
hasil di masa depan. Saya telah menjalin hubungan dengan suami saya sejak
sembilan tahun yang lalu. Orang hanya tahu bahwa hubungan yang terlampau lama
ini pasti telah menghasilkan berupa-rupa kejadian yang sudah bukan barang
rahasia. Orang hanya tahu kami sering jalan berdua, mengunjungi rumah
masing-masing serta intens mengunjungi jejaring sosial. Namun, mereka tidak pernah tahu apa yang
sedang kami berdua lakukan jika bertemu, bagaimana cara kami menghabiskan waktu
berdua, apakah kami benar-benar pergi hanya berdua atau ada teman bersama kami,
bagaimana cara kami membatasi diri untuk bersikap, bagaimana cara kami
menghindar untuk berdekatan. Ya. Hanya kami dan Tuhan yang tahu. Karenanya,
maka Tuhan memudahkan jalan kami menuju bahagia. Pernikahan kami dilancarkan.
Segalanya dimudahkan. Tuhan menunjukkan balasan atas kesabaran kami untuk
bersikap. Tuhan memberikan hadiah terindah bagi kami berdua dengan sebuah ikatan
suci. Maka, masihkah saya mendustakan segala Nikmat-Nya? Nikmat mana lagi yang
pantas kita dustakan, wahai manusia?
Yang kedua, petikan At Tholaq ayat
tiga inilah yang sekali lagi selalu mengetuk hati saya. Tuhan selalu memberikan
nikmat dengan tangannya sendiri, dengan caranya sendiri, dengan apa yang telah
diyakininya. Wayarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Tuhan memberi rezeki kepada
hamba-Nya berupa nafas, detak jantung, kesempatan dan segala nikmat hidup
dengan caranya yang tidak pernah kita duga, tidak pernah kita kira sebelumnya.
Mengenai saya, saya bukanlah dari
keluarga menengah ke atas yang selalu mudah menunjuk sesuatu ketika
menginginkannya. Saya harus berfikir panjang tentang baik buruknya, menghemat dengan
segala cara, rajin menabung demi apa yang saya impikan. Saya selalu
berkeyakinan bahwa Tuhan akan mengganti segala yang kita keluarkan, asal dengan
ikhlas. Tuhan tidak akan lupa untuk mengembalikan segalanya ketika kita
benar-benar membutuhkannya. Saya tidak menyebut diri saya adalah orang paling
ikhlas di mata Tuhan. Namun saya selalu berdoa agar segala apa yang saya
perbuat selalu dilandasi niat tulus dan ikhlas. Tuhan maha tahu apa yang ada
dalam diri saya.
Saya pun telah membuktikan akan
hal ini. Saya adalah tertua dari tiga bersaudara. Ibu saya adalah seorang
single parent yang gajinya hanya cukup untuk dirinya sendiri. Kedua adik saya
sedang menempuh pendidikan sarjana. Saya satu rumah dengan paman dan bibi saya.
Mereka memiliki anak-anak yang selalu membuat hari saya ceria. Saya tidak pernah
bisa untuk tidak memberikan mereka “oleh-oleh” ketika saya bepergian. Nah,
biasanya setelah saya “bagi-bagi”, selalu saja ada rezeki yang datangnya tidak
saya duga. Entah itu ada bonus dari kantor, pulsa yang tetiba terisi, sisa uang
saku yang ikut terendam cucian dan baru saya temukan, dan sebagainya. Ya. Tuhan
mengembalikannya dengan cara yang tak terduga. Min hatsu laa yahtasib.
Pada akhirnya, segala sesuatu
bergantung pada diri masing-masing. Tuhan sangat sayang pada kita, hamba-Nya.
Tinggal kita sajalah yang mampu mengartikan dengan baik akan kasih sayang Tuhan
atau malah mendustakan segalanya.
Dari semua itu, sangat pantas jika
saya mengucap syukur atas segala nikmat yang telah Tuhan berikan. Tuhan telah
memeluk segala mimpi saya lalu akhirnya Ia menyiapkan waktu yang tepat untuk
mewujudkannya. Sekali lagi, Tuhan tahu, tapi menunggu.
Nay
Siang Penghujung Januari Tahun
Lima Belas
Dalam Nikmat Hujan yang sempat
saya dustakan............