Cari Blog Ini

Minggu, 22 Februari 2015

Secangkir Senyum

Menikmati pagi dengan secangkir senyummu yang menyungging akan selalu jadi pemanis di hari-hariku. Sejak saat itu, segalanya akan terasa manis.Senyuman itu, dalam secangkir hangat yang menyejukkan. Setiap pagi akan selalu kau tunggu, dari tanganku. Senyuman itu akan selalu tersungging saat aku membuatmu terjaga, terbangun dari mimpi yang telah menjadi nyata. Ya. Secangkir senyum itu akan menawarkan semangat membara di pagi buta.

Secangkir senyum itu kini kita nikmati berdua. Segalanya akan terasa lebih kuat karena kita tahu bahwa Tuhan memberikannya untuk berdua. Kita tidak lagi berjalan masing-masing. Secangkir penuh senyum itu kini tak lagi habis sendirian.

Kamu tahu, tiga perempat nafas ini akan selalu ada bersamamu. Jika aku diberi Tuhan umur seratus tahun, maka tujuh puluh lima tahun mendatang akan kulewati bersamamu. Karenanya, aku tidak pernah ingin salah pilih.


nay

senyum secangkir kopi 
 https://annisazizah.files.wordpress.com/2012/10/304447_372932056119775_1110476469_n.jpg

Selasa, 03 Februari 2015

Dua Mantera Ajaib







Pintu hati saya selalu terketuk akan dua hal, Dua Mantera Ajaib. Yang pertama, saya sangat yakin bahwa Tuhan tidak pernah miskin memberikan nikmatnya kepada kita, para hamba-Nya. Fabiayyi aalaa i robbikumaa tukadzdzibaan. Penggalan Ar-Rahman yang diucapkan berulang-ulang tersebut senantiasa membuat hati saya menangis. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang pantas kita dustakan?
Kita terlampau lupa bahwa Tuhan telah memberikan segalanya bagi kita. Kita tidak pernah merasa puas. Kita selalu meminta lebih dari apa yang sudah kita dapatkan. Kadang, melimpahnya harta menjadi tolok ukur bagi sebuah nama, yakni nikmat. Namun, sadarkah kita bahwa sebenarnya nafas, detak jantung, serta kesempatan yang selalu kita miliki adalah nikmat-Nya yang sungguh tidak terkira?
Kita tidak pernah menyadari bahwa segala yang pernah kita alami saat ini adalah buah dari apa-apa yang pernah kita lakukan di masa lalu. Ya. Saya telah membuktikannya. Saya memang bukanlah hamba yang cukup suci untuk tidak berbuat salah. Saya akui, khilaf seringkali muncul melebihi alam sadar. Namun saya selalu berusaha merayu Tuhan dengan cara saya sendiri. Dan, saya berhasil. Tuhan masih sangat sayang kepada saya.
Saya sangat mengagumi cara Tuhan mempertemukan saya dengan laki-laki yang sekarang menjadi suami saya. Seperti yang saya katakan di atas, bahwa segala laku kita di masa lalu akan membuahkan hasil di masa depan. Saya telah menjalin hubungan dengan suami saya sejak sembilan tahun yang lalu. Orang hanya tahu bahwa hubungan yang terlampau lama ini pasti telah menghasilkan berupa-rupa kejadian yang sudah bukan barang rahasia. Orang hanya tahu kami sering jalan berdua, mengunjungi rumah masing-masing serta intens mengunjungi jejaring sosial.  Namun, mereka tidak pernah tahu apa yang sedang kami berdua lakukan jika bertemu, bagaimana cara kami menghabiskan waktu berdua, apakah kami benar-benar pergi hanya berdua atau ada teman bersama kami, bagaimana cara kami membatasi diri untuk bersikap, bagaimana cara kami menghindar untuk berdekatan. Ya. Hanya kami dan Tuhan yang tahu. Karenanya, maka Tuhan memudahkan jalan kami menuju bahagia. Pernikahan kami dilancarkan. Segalanya dimudahkan. Tuhan menunjukkan balasan atas kesabaran kami untuk bersikap. Tuhan memberikan hadiah terindah bagi kami berdua dengan sebuah ikatan suci. Maka, masihkah saya mendustakan segala Nikmat-Nya? Nikmat mana lagi yang pantas kita dustakan, wahai manusia?
Yang kedua, petikan At Tholaq ayat tiga inilah yang sekali lagi selalu mengetuk hati saya. Tuhan selalu memberikan nikmat dengan tangannya sendiri, dengan caranya sendiri, dengan apa yang telah diyakininya. Wayarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Tuhan memberi rezeki kepada hamba-Nya berupa nafas, detak jantung, kesempatan dan segala nikmat hidup dengan caranya yang tidak pernah kita duga, tidak pernah kita kira sebelumnya.
Mengenai saya, saya bukanlah dari keluarga menengah ke atas yang selalu mudah menunjuk sesuatu ketika menginginkannya. Saya harus berfikir panjang tentang baik buruknya, menghemat dengan segala cara, rajin menabung demi apa yang saya impikan. Saya selalu berkeyakinan bahwa Tuhan akan mengganti segala yang kita keluarkan, asal dengan ikhlas. Tuhan tidak akan lupa untuk mengembalikan segalanya ketika kita benar-benar membutuhkannya. Saya tidak menyebut diri saya adalah orang paling ikhlas di mata Tuhan. Namun saya selalu berdoa agar segala apa yang saya perbuat selalu dilandasi niat tulus dan ikhlas. Tuhan maha tahu apa yang ada dalam diri saya.
Saya pun telah membuktikan akan hal ini. Saya adalah tertua dari tiga bersaudara. Ibu saya adalah seorang single parent yang gajinya hanya cukup untuk dirinya sendiri. Kedua adik saya sedang menempuh pendidikan sarjana. Saya satu rumah dengan paman dan bibi saya. Mereka memiliki anak-anak yang selalu membuat hari saya ceria. Saya tidak pernah bisa untuk tidak memberikan mereka “oleh-oleh” ketika saya bepergian. Nah, biasanya setelah saya “bagi-bagi”, selalu saja ada rezeki yang datangnya tidak saya duga. Entah itu ada bonus dari kantor, pulsa yang tetiba terisi, sisa uang saku yang ikut terendam cucian dan baru saya temukan, dan sebagainya. Ya. Tuhan mengembalikannya dengan cara yang tak terduga. Min hatsu laa yahtasib.
Pada akhirnya, segala sesuatu bergantung pada diri masing-masing. Tuhan sangat sayang pada kita, hamba-Nya. Tinggal kita sajalah yang mampu mengartikan dengan baik akan kasih sayang Tuhan atau malah mendustakan segalanya.
Dari semua itu, sangat pantas jika saya mengucap syukur atas segala nikmat yang telah Tuhan berikan. Tuhan telah memeluk segala mimpi saya lalu akhirnya Ia menyiapkan waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Sekali lagi, Tuhan tahu, tapi menunggu.

Nay
Siang Penghujung Januari Tahun Lima Belas
Dalam Nikmat Hujan yang sempat saya dustakan............