“Ya. Suatu saat nanti kanal-kanal itu mengalirkan
kedamaian lewat kecipak air bersambut bias rona jingga. Sejenak kau tambatkan
gondola ini, lalu kau ajak aku menikmati kelip warna langit Venesia. Dan esok,
gondola-gondola itu kan membawa kita kembali berdiri meretas arus dengan dayung
kita sendiri, melepaskan segala asa menuju istana Neptunus. Mengabarkan bahwa
kita masih dan akan selalu baik-baik saja. Dan, langit biru Adriatik semakin
cerah ketika kudapati senyummu mengembang membelah langit, meyakinkanku bahwa
tidak ada lagi yang mampu menghalangi segala titah Neptunus. Disaksikan rumah
dara raksasa , di sepanjang Venice Canal kau bisikkan dengan tulus,
Percayalah”.
---------------------
Mimpi itu
kembali mengusik hariku. Eropa dan segala keindahannya seakan bergelayut di
sepanjang waktu. Mimpiku untuk segera menginjakkan dua kaki di tanah biru Eropa
tak lagi dapat diurungkan. Namun, hanya satu yang selalu ia sampaikan kepadaku,
“Sabar, dik. Suatu saat nanti ya”. Dia tidak pernah menjanjikan sesuatu yang
lebih untukku. Dia hanya selalu meyakinkan bahwa segalanya dapat dengan mudah
terwujud dengan satu hal, sabar. Dia enggan memberiku janji-janji manis.
Beberapa hari
ini ada yang tidak beres dengan hatiku. Sebentar-sebentar aku merasa muak
dengannya. Ia seakan mengacuhkan segala yang aku mau. Ia hanya diam lalu
membalasku dengan senyum.
Hari ini adalah
Ulang Tahunku. Mengucapkanpun tidak. Bahkan aku berfikir jika ia sama sekali
tidak pernah mengingat peristiwa penting itu. Sepulang dari bekerja ia terlelap
dengan cepatnya. Padahal aku telah membayangkan berupa-rupa kejutan yang
mungkin saja ia siapkan khusus untukku. Mungkin saja ada seikat lili yang ia
taruh di meja rias, atau sekotak cokelat di ranjang, atau bahkan setangkai
mawar saja yang ia genggam untukku. Kali ini, aku benar-benar marah. Inikah
kesabaran yang selama ini ia sarankan? Sungguh, ini sudah terlampau sabar.
Aku membereskan
tas kerjanya sambil menggerutu. Tas kulit hitam itu tak sengaja kujatuhkan
ketika kakiku tersandung kursi. Ada sesuatu yang menyembul di kantungnya. Aku
membukanya. Dua tiket pesawat ke Eropa.
-----------
Kilatan cahaya
di sekitar kaki perkasa itu sangat menentramkan. Malam ini membawaku terbang
akan mimpi yang pernah terangkai mesra di benak. Aku masih belum percaya jika
kami berdua sedang duduk di bawah angkuhnya kaki eiffel yang menopang jutaan
cahaya tinggi di atasnya. Angin semilir menerobos paksa jaket hitam yang sedang
kupakai. Pergantian musim kali ini agaknya membuatku sedikit menggigil.
Aku mengamatinya
lebih tajam. Kaki itu semakin angkuh menantang langit lepas. Sejenak aku
menatap dua bola mata indah di sampingku. Kusandarkan bahu di pundaknya. Aku
tatap matanya sekali lagi. Ia tersenyum. “Dik, kamu tahu. Keyakinanmu yang
membawa kita sampai di sini hari ini. Aku tidak bisa menjanjikanmu apapun. Aku
hanya percaya jika Tuhan menciptakan kesabaran untuk sebuah kemenangan. Selamat
Ulang Tahun, dik”. Lalu ia mencium keningku.
Ini bukan hanya
sekedar hadiah Ulang Tahun. Ini adalah kejutan terindah yang telah dirancang
dengan sangat apik oleh Tuhanku. Dan lelaki yang sedang berada di sampingku
saat ini adalah salah satu dari sekian banyak rencana Tuhan untukku.
Tidak banyak
kata yang terlontar. Mulut-mulut kami sibuk mensyukuri nikmat Tuhan yang sungguh
tak layak jika kami dustakan. Jutaan bintang di atas kami seakan tersenyum.
Kota cahaya ini benar-benar memberikan ketentraman. Dari sekian ribu pendaran
cahaya di sekitarku hanya ada satu cahaya yang sangat terang, bola matanya,
menyejukkan.
-----------
Venesia, suatu
pagi.
Setelah
menikmati hari-hari berkeliling Paris, kami mengunjungi Venesia. Persis seperti
di dalam mimpi, aku melihat deretan Gondola wisata yang siap membawa kami
menyusuri kanal. Dengan bahasa perancis yang agak terbata aku menawar harga
lalu duduk di ujung. Ia tampak sedang merapikan kaus putihnya lalu duduk di
belakangku merentangkan tangan. “Sedang apa?”, tanyaku. Ia hanya tersenyum lalu
berkata, “Kanal ini nantinya berujung pada samudera Atlantik. Kamu tahu? Sungai
Seine di Paris, Nil di Mesir, Bengawan Solo di Indonesia, entah apapun itu
pasti berhenti di samudera. Samudera-samudera itu adalah muara segala sesuatu.
Begitupun hidup. Kemanapun langkah kita tertuju, yang pasti muaranya hanya
satu. Kamu tahu, muara hidupku adalah kamu. Tentunya dengan petunjuk Tuhanku”.
Aku tersenyum. Dara-dara berterbangan di di atasku. Lalu berhenti di sebuah air
mancur di seberang. Aku semakin tersenyum.
Riak air
mendampingi dayung yang semakin maju dan mundur. Aku berkaca diantara riaknya.
Wajahku berbeda. Ada seutas senyum yang menyungging indah di sana. Aku pandang
sekali lagi. Ronanya berbeda. Aku bahagia.
-------------------
Kafe de La Monte
tampak lengang. Ia memesan secangkir kopi mengepul di udara lalu aku membawa
secangkir cokelat panas kearah meja bundar
di ujung kafe. Pembatas kaca membawa mata kami memandang lepas kearah
matari pagi. Sinarnya yang hangat membuat kami merasa benar-benar terberkati.
Sedikit demi sedikit kepulan hangat ini habis. Tidak ada kata. Kami benar-benar
hanyut dalam cangkir masing-masing.
Bagiku bahagia
itu sederhana. Menikmati senyumnya yang menyungging lewat bibirnya yang tipis
adalah sebuah bahagia. Menatap bola-bola cahaya di matanya bagiku juga bahagia.
Namun, aku tidak pernah sebahagia ini. Bukan karena aku berhasil meraih mimpiku
untuk mengijakkan kaki di tanah biru, namun ini karenanya. Lelaki yang kini
sedang menatap hangat kepulan asap arabica khas de La Monte ini telah mampu
meyakinkanku dengan caranya. Ia mampu meyakinkanku akan sebuah ketulusan dan
kesabaran. Aku percaya, mimpi dan cita-cita tidak akan pernah berhasil tanpa
dukungan, usaha dan pasti kesabaran. Dan bagiku, ia adalah pendukung terhebat
yang aku miliki. Ia pelatih kesabaran kelas tinggi. Semangatnyalah yang mampu
mengantarkanku menuju gerbang benua biru, gerbang mimpiku.
Ia menatapku.
Senyumnya semakin manis. “Setelah ini kita kemana?”, tanyanya. Aku membalasnya
dengan antusias. “Istanbul, Turki”.
-----------
Pesawat kami
akan tiba di koordinat 41”00’49”LU. Selat Bosporus tampak sibuk dilihat dari
udara. Bandara Attaturk tampak lengang. Setelah membereskan bagasi, kami
menyewa taksi yang kemudian membawa kami menuju kawasan Sultanahmet. Sepanjang
perjalanan yang kami lihat adalah kenangan-kenangan masa lalu. Sisa-sisa
kejayaan yang pernah Tuhan berikan masih berdiri kokoh meski nafas Tuhan
agaknya telah lepas.
“Apa yang kamu
rasakan?”, ia mengacaukan gambaran masa lalu di benakku.
Rasa tenang yang
aku rasakan. Sejujurnya aku lebih merasa dekat dengan Tuhan ketika menginjakkan
kaki di tempat ini. Tuhan seakan ada lebih dekat denganku. Aku kemudian
tersenyum dan menjawab, “It’s really home”.
Ia hanya
tersenyum lalu memukul ringan pundakku. “Kecil, Ini hanya pintu gerbang saja.
Kamu justru akan lebih dekat dengan Tuhan saat kakimu menginjak Tanah Haram”.
Aku berdebat panjang dengannya. Aku tumpahkan segala yang aku tahu. Aku
berceramah panjang lebar tentang Byzantium, lalu Konstantinopel. Aku mendongeng
bebas tentang Usmaniyah, Ottoman, Mustafa Kemal Attaturk dan berbagai hal. Ia
hanya mendengar sambil tersenyum. Terkadang ia jengkel lalu mengacak rambutku
yang terurai. “Kecil, dasar kamu. Cerewet”. Aku melingkarkan lenganku di
pinggangnya. Langit Istanbul tersenyum.
Setelah
membersihkan diri, aku meninggalkannya sebentar untuk menikmati secangkir cokelat
hangat di bawah. Aku ingin ada semacam quality
time untuk diriku sendiri. Aku membayangkan apa saja yang aku jalani
beberapa hari ini. Pikiranku mengarah kepadanya. Ia yang kini menemaniku
berkunjung ke benua biru. Ia yang memberikan hadiah perjalanan istimewa ini di
hari ulangtahunku. Ia yang selalu memberiku pelajaran kehidupan. Ia, lelaki
yang telah menjadi suamiku.
Dulu, aku selalu
meremehkan apa yang ia titahkan. Tak pernah sedikitpun aku membenarkan apa yang
ia lakukan. Namun dengan sabar ia memberikan tiga perempat dari nafas hidupnya
untukku. Ia membuatku semakin dekat dengan Tuhan. Ia membuatku semakin dekat
dengan mimpi dan cita-cita. Lelaki itu, suaranya hanya terdengar seperlunya. Ia
lebih banyak diam. Hanya bertindak sebagaimana mestinya.
Aku berjalan
keluar penginapan. Di depanku, Menara Blue Mosque terlihat megah. Rancangan
Sedefhar Mehmet Aga ini sungguh sangat menggoda mata. Di seberangnya, bekas
Gereja Patriarchal Orthodox Cathedral berdiri kokoh. Aku menatapnya lama. Lalu
kurentangkan tanganku dan menghadap langit. Mataku terpejam. Aku merasakan
kedamaian di hati. Ini adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku.
Inilah mimpi yang selama ini mengganggu pejam mataku. Mimpi lama yang akhirnya
terwujud oleh ketulusan kasih. Mimpi yang terwujud oleh kedekatan pada Tuhan.
Mimpi yang tergapai oleh kesabaran. Mimpi yang ia wujudkan.
Aku menghela
nafas tinggi. Syal yang aku pakai terkibas oleh angin. Mataku terbuka. Langit
sangat cerah. Biru yang bercampur putih sangat menentramkan hati. Tuhan
memberikan kuasanya berlimpah. “Mana lagi nikmat yang pantas aku dustakan?”,
aku bertanya pada diri sendiri, dalam hati.
Sepasang lengan
mendarat di pinggangku. Ia sudah berdiri di belakangku. Aku berbalik, mencium
lembut tangannya juga keningnya. Ia berkata, “Pada saatnya, kamu akan tahu
bahwa setiap jiwa memiliki cara yang berbeda untuk memberikan sebuah
kebahagiaan. Dan ini caraku untuk membahagiakanmu. Selamat Ulang Tahun, dik”.
Semilir pagi
membawa kedamaian di hati. Tuhan, terima kasih.
Nay,
24
Oktober 2014