Namaku
Espresso
Oleh: Noura
N
Historica Coffe Shop nampak
ramai. Jajaran meja kursi kayu dan lampu yang menggantung membuat suasana
manis. Sofa-sofa putih di sudut ruangan sudah ramai terisi. Seseorang dengan
rambut terurai sebahu sedang berbincang dengan lelaki yang juga berambut
sebahu. Kaus maroon yang sedang mereka kenakan sama persis. Mungkin sengaja
disamakan untuk mengindikasikan jika keduanya adalah sepasang kekasih. Tapi tunggu
dulu, ternyata bukan ini yang aku temukan di keduanya.
“Nad, Saya punya pertanyaan
buat kamu.” Lelaki itu bertanya.
“Ya, kak”, perempuan itu
tersenyum.
“Kamu tahu kenapa saya suka
Espresso? Lebih tepatnya Single Espresso.”, tanya Fikri, lelaki itu.
Nadia hanya tersenyum. Busa
Latte Macchiatto yang menggunung dimainkan dengan sendok panjang.
“Seharusnya kamu enggak perlu
repot-repot jawab juga sih. Kenikmatan Espresso memang bukan untuk dirangkai
dalam kata. Cukup untuk dirasa”, Fikri membalas dengan senyum.
“Kak Fikri lagi kurang
pembahasan ya?”, ia meneguk Latte Macchiatto dengan senyum yang lebar.
Hai, namaku Espresso. Aku
tertawa sendiri melihat percakapan mereka. Aku merasa disanjung. Aku selalu
menemani hari-hari mereka di sini, di coffe shop ini. Historica Coffe Shop
selalu menjadi jujukan keduanya. Aku dan saudara-saudaraku selalu tersaji manis
di masing-masing meja saji.
Rasanya bahagia bisa menemani
manusia-manusia ini. Ada rasa yang kurang bisa aku pahami saat melihat keduanya
bercengkrama. Semacam rasa yang tak terungkap, rindu yang malu-malu, atau benci
yang dibuat-buat. Yang pasti aku puas saat melihat mereka pergi dengan senyum
dan menikmatiku habis hingga teguk terakhir.
“Espresso itu rasanya kuat.
tajam. Single Espresso disajikan dengan hati. Suhu sembilan puluh derajat
celcius membuatnya pas di lidah. Pressure-nya pas. Semuanya pas. Single
Espresso biasa dinikmati mereka yang ramah, easy-going, mudah akrab sama
orang. Nah, unik.”, Nadia membuka suara. “Sama seperti kamu, kak. Pikiranmu
tajam. Kamu peka terhadap permasalahan apapun. Semacam peka terhadap zaman. Hahaha”,
Nadia terbahak. “Kak Fikri cowok unik yang pernah saya kenal.” Tiba-tiba
dingin. Diseruputnya kembali Latte Macchiatto itu pelan.
“Tapi saya enggak peka sama
cewek ya. Cewek cantik kayak kamu masih saja saya abaikan”.
“Glek.” Latte Macchiato yang
manis berhenti tiba-tiba di tenggorokan Nadia.
“Hahaha jangan kayak kancil
yang kepergok nyuri timun gitu ah. Tapi jujur, lima tahun kenalan sama kamu,
saya masih belum berani memutuskan. Kamu terlalu baik. Tapi kamu nyaman kan?”
Tidak ada suara. Aku tertawa
melihat mereka. Fikri kemudian menegukku pelan. Aku seperti masuk ke dalam
aliran darahnya lalu ke hatinya. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di
sana, di hati. Rasa itu seperti ingin berontak tapi pelan-pelan bisa ditahan.
Dia sangat hati-hati. Dia tidak ingin gegabah.
Tampaknya, Fikri bukanlah
lelaki yang plin-plan. Dia tidak seperti lelaki buaya penebar pesona. Satu yang
kuamati, dia sangat hati-hati. Dia tidak ingin merusak segalanya.
----
Di waktu yang lain, seseorang
yang berdasi necis tengah memesan Triple Espresso, duduk tak beraturan,
kemudian merenggut cangkir dengan paksa dan meneguknya tergesa-gesa. Aku
membaca kebencian di wajahnya, juga hatinya. Ponselnya berdering.
“Sudah kubilang. Aku tidak ada
apa-apa dengan wanita itu. Sekali lagi
kamu tanyakan itu, aku akan ceraikan kamu”
“Tidak usah menangis. Urus saja
dirimu. Mengurus diri sendiri saja tidak becus. Bagaimana bisa aku simpati
padamu?”
“Aku tidak main-main. Tujuh
tahun menikah dan belum mendapatkan momongan itu hal yang sederhana menurutmu?
Aku sudah capek kau tuduh terus-terusan”
Ponselnya dimatikan.
Aku menutup mata erat-erat.
Perasaanku tercabik saat mendapati mulutnya menegukku paksa. Panas tubuhku
setelah diseduh dengan sembilan puluh derajat celcius air tidak lagi dihiraukannya
dan aku masuk ke dalam aliran darahnya yang penuh kebencian. Dia terlihat
seperti pecandu berat kopi. Tiga kali ukuran standar espresso membuat larutan
dalam cangkirnya sangat kental. Dia ambisius. Emosional. Aku bisa membacanya
saat aliran darahnya yang panas menyatu dengan sembilan puluh derajat panas
tubuhku.
------
Namaku Espresso. Aku biasa
menghadapi berupa-rupa jiwa. Kadang pahit, kadang manis. Sama sepertiku, hidup
juga memiliki sisi pahit. Hidup memang rumit. Betapa mudahnya membuat masalah,
memunculkan dendam lalu menyemai benci.
Aku dipuja orang namun tetap
ada sisi lain dalam diriku yang sebenarnya pilu. Aku hanya bisa mendengar dan
melihat mereka menikmatiku tapi tidak untuk bercengkrama dengan mereka, bukan
untuk menegur mereka saat ada yang kurang tepat atau memuji mereka saat mereka
benar-benar hebat. Meski begitu, aku bahagia bisa menemani mereka dalam suka
maupun duka.
Pernah ada satu masa, saat aku
benar-benar tidak dijamah sampai aku benar-benar dingin. Malam itu berbeda.
Yang kudapati hanya air mata.
Dua cangkir Double Espresso ada
di atas meja saat itu.
“Dokter tidak mungkin
memberikan diagnosa yang salah.” Lelaki itu berbicara kepada langit. Wanita di
depannya terisak. “Tapi kanker itu tidak berbahaya kan..?”, tangisnya memecah
malam.
“Dua bulan lagi katanya. Jika
bertahan.”, tangan kurus itu menggenggam erat jemari si wanita. Tangisnya menderu. Aku dibiarkan
diam.
“Aku akan berusaha semampuku
untuk membahagiakanmu. Mungkin ini caraku sebelum benar-benar pergi. Aku ingin
menjadi yang terbaik yang pernah kamu punya. Aku ingin menjadi kenangan
terindah untukmu”.
Si wanita menangis. Tidak ada
kata.
Aku merenung.
-----
Tapi, aku selalu bahagia
melihat pasangan ini. Fikri dan Nadia adalah langganan Historica Coffe Shop.
Tidak ada pilihan lain bagi Fikri selain memilihku untuk menemani hari-harinya.
Katanya, aku adalah potret dirinya. Aku di temani saudaraku, Latte Macchiatto,
yang selalu tampak manis.
Fikri mencoba untuk mencairkan
suasana.
“Bagaimana kuliahmu? Ada masalah
sama diktatnya?”
“Bukan tentang diktat
kuliahnya, kak. Melihat wajah professor saja saya sudah bingung. Bagaimana saya
bisa paham materinya?”, tawa Nadia mengudara.
“Yang saya tangkap sih begini
ya kak, Persona itu topeng. Ibaratnya begini, saya sebenarnya seorang yang
pemalas. Lalu di depan calon mertua, tiba-tiba saya jadi orang yang rajin
banget, rapi banget, dandan manis, suka bersih-bersih dan apa aja lah. Nah itu
namanya Persona. Tingkah laku yang saya tampilkan di lingkungan sosial dengan
tujuan menampilkan kesan tertentu pada sekitar. Dengan arti lain saya
menyembunyikan sifat asli dari lingkungan sekitar. Sama aja munafik dong kak?”.
“Sebenarnya begini, Jung
mengartikan Persona sebagai topeng yang dipakai seseorang sebagai respon
terhadap tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat. Singkatnya, buat cari
identitas lah.”
“Enggak paham”. Nadia megusap
gelas Latte Macchiatto yang tinggal separuh isinya.
“Hahaha.. Sabar, Nad. Yang jelas dalam dunia psikologi,
psikis manusia terbagi jadi dua. Yang pertama temperamen atau watak, lalu ada personality
atau kepribadian. Watak itu sifat bawaan sejak lahir sementara kepribadian itu
sifat yang sengaja dibentuk. Kadang malah sengaja dibentuk biar bisa nutupin yang
jadi sifat aslinya. Nah, karena persona itu diambil dari kata personality
maka bisa dipastikan
bahwa persona, demi maksud tertentu, digunakan untuk menutupi watak kita yg
asli”.
“Sudah ah, kak. Ngobrol yang
lain aja yuk.” Nadia enggan memikirkan tugas kuliahnya.
Ah, Fikri memang lelaki cerdas.
Sayangnya, dia tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan rasa yang mengganjal.
Namaku Espresso. Lalu lalang
penikmat kopi di coffe shop ini sama sekali tidak membuatku terganggu untuk
mengamati pasangan ini. Aku hanya bisa mengumpat kesal atas sikap Fikri yang
kurang tegas. Seharusnya, jika dia benar-benar potret diriku, dia tidak akan
selambat itu mengungkap rasa. Aku tidak mau seorang Fikri seperti orang
kebanyakan yang hanya sok menikmati kopi dan menyandingkan jiwanya seperti kopi
padahal sebenarnya ide tentang kopi di otaknya nonsense.
Seperti ada kata-kata yang
ingin kumuntahkan di depannya. “Ayo, Fikri. Come on. Just say it.
Lima tahun sudah terlalu lama untuk sebuah perasaan.” Sekali lagi. Namaku Espresso. Aku hanya bisa
mengamati mereka lewat cawan enam puluh mili saja. Aku tidak mampu bersuara.
Fikri menatap Nadia sekilas.
Dia nampak sangat hati-hati.
“Nad, Espresso adalah dasar
dari segala kopi yang bisa kita nikmati. Ibarat roti, espresso adalah biangnya.
Dari espresso kita bisa menikmati Affogato, Americano, Long Black bahkan
Macchiatto yang sedang kamu nikmati sekarang. Saya pernah punya keinginan,
kalau suatu saat nanti saya menemukan seseorang yang benar-benar cocok sama
saya, akan langsung saya nikahi dia. Tapi sejauh ini belum ada yang seperti
itu. Baru sekitar beberapa saat yang lalu, setelah lima tahun pengamatan saya, saya
merasa you are the one. Saya pengen jadi dasar dari segala kebahagiaan. Bagi
saya, menjadi espresso adalah sesuatu yang mengagumkan. Espresso bisa
menawarkan bermacam-macam rasa. Saya pengen kamu merasakan bermacam-macam rasa
yang saya berikan”
Nadia merasakan dingin yang
luar biasa.
“Saya tidak ingin gegabah. I just
wanna say my feeling in words. Saya sudah cukup lama membuat hatimu sakit”
“Kak Fikri ngomong apa sih? Nadia
ngerasa nyaman kok. Bagi Nadia, kedekatan yang tulus tanpa ada rasa itu lebih
nyaman dibanding perasaan yang tumbuh karena terpaksa”
Fikri diam. Pun dengan Nadia. Ada
jeda di antara keduanya.
“Kak, kak Fikri sudah jadi
Espresso buat Nadia. Kak Fikri selalu ada di saat apapun. Kak Fikri sudah
memberikan kebahagiaan yang berwarna. That’s enough.”
Tiba-tiba aku merasa tersanjung.
Satu hal yang aku pahami sekarang. Tidak selamanya aku hanya bisa mendengar dan
melihat manusia-manusia itu berkeluh kesah tanpa melakukan apa-apa. Ternyata aku
mampu meredam amarah mereka, memuaskan mereka dengan rasa serta mampu
memberikan berjuta rasa lewat saudara-saudaraku yang tersaji dalam berbagai
rupa. Aku bahagia karena bisa memberi kebahagiaan. Aku bahagia menjadi dasar
yang mampu menyuguhkan manis. Karena rasa telah mengalahkan segalanya.
nay
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com