Cari Blog Ini

Kamis, 11 Agustus 2016

Namaku Espresso #MyCupOfStory



Namaku Espresso
Oleh: Noura N

Historica Coffe Shop nampak ramai. Jajaran meja kursi kayu dan lampu yang menggantung membuat suasana manis. Sofa-sofa putih di sudut ruangan sudah ramai terisi. Seseorang dengan rambut terurai sebahu sedang berbincang dengan lelaki yang juga berambut sebahu. Kaus maroon yang sedang mereka kenakan sama persis. Mungkin sengaja disamakan untuk mengindikasikan jika keduanya adalah sepasang kekasih. Tapi tunggu dulu, ternyata bukan ini yang aku temukan di keduanya.
“Nad, Saya punya pertanyaan buat kamu.” Lelaki itu bertanya.
“Ya, kak”, perempuan itu tersenyum.
“Kamu tahu kenapa saya suka Espresso? Lebih tepatnya Single Espresso.”, tanya Fikri, lelaki itu.
Nadia hanya tersenyum. Busa Latte Macchiatto yang menggunung dimainkan dengan sendok panjang.
“Seharusnya kamu enggak perlu repot-repot jawab juga sih. Kenikmatan Espresso memang bukan untuk dirangkai dalam kata. Cukup untuk dirasa”, Fikri membalas dengan senyum.
“Kak Fikri lagi kurang pembahasan ya?”, ia meneguk Latte Macchiatto dengan senyum yang lebar.
Hai, namaku Espresso. Aku tertawa sendiri melihat percakapan mereka. Aku merasa disanjung. Aku selalu menemani hari-hari mereka di sini, di coffe shop ini. Historica Coffe Shop selalu menjadi jujukan keduanya. Aku dan saudara-saudaraku selalu tersaji manis di masing-masing meja saji.
Rasanya bahagia bisa menemani manusia-manusia ini. Ada rasa yang kurang bisa aku pahami saat melihat keduanya bercengkrama. Semacam rasa yang tak terungkap, rindu yang malu-malu, atau benci yang dibuat-buat. Yang pasti aku puas saat melihat mereka pergi dengan senyum dan menikmatiku habis hingga teguk terakhir.
“Espresso itu rasanya kuat. tajam. Single Espresso disajikan dengan hati. Suhu sembilan puluh derajat celcius membuatnya pas di lidah. Pressure-nya pas. Semuanya pas. Single Espresso biasa dinikmati mereka yang ramah, easy-going, mudah akrab sama orang. Nah, unik.”, Nadia membuka suara. “Sama seperti kamu, kak. Pikiranmu tajam. Kamu peka terhadap permasalahan apapun. Semacam peka terhadap zaman. Hahaha”, Nadia terbahak. “Kak Fikri cowok unik yang pernah saya kenal.” Tiba-tiba dingin. Diseruputnya kembali Latte Macchiatto itu pelan.
“Tapi saya enggak peka sama cewek ya. Cewek cantik kayak kamu masih saja saya abaikan”.
“Glek.” Latte Macchiato yang manis berhenti tiba-tiba di tenggorokan Nadia.
“Hahaha jangan kayak kancil yang kepergok nyuri timun gitu ah. Tapi jujur, lima tahun kenalan sama kamu, saya masih belum berani memutuskan. Kamu terlalu baik. Tapi kamu nyaman kan?”
Tidak ada suara. Aku tertawa melihat mereka. Fikri kemudian menegukku pelan. Aku seperti masuk ke dalam aliran darahnya lalu ke hatinya. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di sana, di hati. Rasa itu seperti ingin berontak tapi pelan-pelan bisa ditahan. Dia sangat hati-hati. Dia tidak ingin gegabah.
Tampaknya, Fikri bukanlah lelaki yang plin-plan. Dia tidak seperti lelaki buaya penebar pesona. Satu yang kuamati, dia sangat hati-hati. Dia tidak ingin merusak segalanya.
----
Di waktu yang lain, seseorang yang berdasi necis tengah memesan Triple Espresso, duduk tak beraturan, kemudian merenggut cangkir dengan paksa dan meneguknya tergesa-gesa. Aku membaca kebencian di wajahnya, juga hatinya. Ponselnya berdering.
“Sudah kubilang. Aku tidak ada apa-apa dengan wanita itu.  Sekali lagi kamu tanyakan itu, aku akan ceraikan kamu”
“Tidak usah menangis. Urus saja dirimu. Mengurus diri sendiri saja tidak becus. Bagaimana bisa aku simpati padamu?”
“Aku tidak main-main. Tujuh tahun menikah dan belum mendapatkan momongan itu hal yang sederhana menurutmu? Aku sudah capek kau tuduh terus-terusan”
Ponselnya dimatikan.
Aku menutup mata erat-erat. Perasaanku tercabik saat mendapati mulutnya menegukku paksa. Panas tubuhku setelah diseduh dengan sembilan puluh derajat celcius air tidak lagi dihiraukannya dan aku masuk ke dalam aliran darahnya yang penuh kebencian. Dia terlihat seperti pecandu berat kopi. Tiga kali ukuran standar espresso membuat larutan dalam cangkirnya sangat kental. Dia ambisius. Emosional. Aku bisa membacanya saat aliran darahnya yang panas menyatu dengan sembilan puluh derajat panas tubuhku.
------
Namaku Espresso. Aku biasa menghadapi berupa-rupa jiwa. Kadang pahit, kadang manis. Sama sepertiku, hidup juga memiliki sisi pahit. Hidup memang rumit. Betapa mudahnya membuat masalah, memunculkan dendam lalu menyemai benci.
Aku dipuja orang namun tetap ada sisi lain dalam diriku yang sebenarnya pilu. Aku hanya bisa mendengar dan melihat mereka menikmatiku tapi tidak untuk bercengkrama dengan mereka, bukan untuk menegur mereka saat ada yang kurang tepat atau memuji mereka saat mereka benar-benar hebat. Meski begitu, aku bahagia bisa menemani mereka dalam suka maupun duka.
Pernah ada satu masa, saat aku benar-benar tidak dijamah sampai aku benar-benar dingin. Malam itu berbeda. Yang kudapati hanya air mata.
Dua cangkir Double Espresso ada di atas meja saat itu.
“Dokter tidak mungkin memberikan diagnosa yang salah.” Lelaki itu berbicara kepada langit. Wanita di depannya terisak. “Tapi kanker itu tidak berbahaya kan..?”, tangisnya memecah malam.
“Dua bulan lagi katanya. Jika bertahan.”, tangan kurus itu menggenggam erat jemari  si wanita. Tangisnya menderu. Aku dibiarkan diam.
“Aku akan berusaha semampuku untuk membahagiakanmu. Mungkin ini caraku sebelum benar-benar pergi. Aku ingin menjadi yang terbaik yang pernah kamu punya. Aku ingin menjadi kenangan terindah untukmu”.
Si wanita menangis. Tidak ada kata.
Aku merenung.
-----
Tapi, aku selalu bahagia melihat pasangan ini. Fikri dan Nadia adalah langganan Historica Coffe Shop. Tidak ada pilihan lain bagi Fikri selain memilihku untuk menemani hari-harinya. Katanya, aku adalah potret dirinya. Aku di temani saudaraku, Latte Macchiatto, yang selalu tampak manis.
Fikri mencoba untuk mencairkan suasana.
“Bagaimana kuliahmu? Ada masalah sama diktatnya?”
“Bukan tentang diktat kuliahnya, kak. Melihat wajah professor saja saya sudah bingung. Bagaimana saya bisa paham materinya?”, tawa Nadia mengudara.
“Yang saya tangkap sih begini ya kak, Persona itu topeng. Ibaratnya begini, saya sebenarnya seorang yang pemalas. Lalu di depan calon mertua, tiba-tiba saya jadi orang yang rajin banget, rapi banget, dandan manis, suka bersih-bersih dan apa aja lah. Nah itu namanya Persona. Tingkah laku yang saya tampilkan di lingkungan sosial dengan tujuan menampilkan kesan tertentu pada sekitar. Dengan arti lain saya menyembunyikan sifat asli dari lingkungan sekitar. Sama aja munafik dong kak?”.
“Sebenarnya begini, Jung mengartikan Persona sebagai topeng yang dipakai seseorang sebagai respon terhadap tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat. Singkatnya, buat cari identitas lah.”
“Enggak paham”. Nadia megusap gelas Latte Macchiatto yang tinggal separuh isinya.
“Hahaha.. Sabar, Nad. Yang jelas dalam dunia psikologi, psikis manusia terbagi jadi dua. Yang pertama temperamen atau watak, lalu ada personality atau kepribadian. Watak itu sifat bawaan sejak lahir sementara kepribadian itu sifat yang sengaja dibentuk. Kadang malah sengaja dibentuk biar bisa nutupin yang jadi sifat aslinya. Nah, karena persona itu diambil dari kata personality maka bisa dipastikan bahwa persona, demi maksud tertentu, digunakan untuk menutupi watak kita yg asli”.
“Sudah ah, kak. Ngobrol yang lain aja yuk.” Nadia enggan memikirkan tugas kuliahnya.
Ah, Fikri memang lelaki cerdas. Sayangnya, dia tidak punya cukup keberanian untuk  mengungkapkan rasa yang mengganjal.
Namaku Espresso. Lalu lalang penikmat kopi di coffe shop ini sama sekali tidak membuatku terganggu untuk mengamati pasangan ini. Aku hanya bisa mengumpat kesal atas sikap Fikri yang kurang tegas. Seharusnya, jika dia benar-benar potret diriku, dia tidak akan selambat itu mengungkap rasa. Aku tidak mau seorang Fikri seperti orang kebanyakan yang hanya sok menikmati kopi dan menyandingkan jiwanya seperti kopi padahal sebenarnya ide tentang kopi di otaknya nonsense.
Seperti ada kata-kata yang ingin kumuntahkan di depannya. “Ayo, Fikri. Come on. Just say it. Lima tahun sudah terlalu lama untuk sebuah perasaan.”  Sekali lagi. Namaku Espresso. Aku hanya bisa mengamati mereka lewat cawan enam puluh mili saja. Aku tidak mampu bersuara.
Fikri menatap Nadia sekilas. Dia nampak sangat hati-hati.
“Nad, Espresso adalah dasar dari segala kopi yang bisa kita nikmati. Ibarat roti, espresso adalah biangnya. Dari espresso kita bisa menikmati Affogato, Americano, Long Black bahkan Macchiatto yang sedang kamu nikmati sekarang. Saya pernah punya keinginan, kalau suatu saat nanti saya menemukan seseorang yang benar-benar cocok sama saya, akan langsung saya nikahi dia. Tapi sejauh ini belum ada yang seperti itu. Baru sekitar beberapa saat yang lalu, setelah lima tahun pengamatan saya, saya merasa you are the one. Saya pengen jadi dasar dari segala kebahagiaan. Bagi saya, menjadi espresso adalah sesuatu yang mengagumkan. Espresso bisa menawarkan bermacam-macam rasa. Saya pengen kamu merasakan bermacam-macam rasa yang saya berikan”
Nadia merasakan dingin yang luar biasa.
“Saya tidak ingin gegabah. I just wanna say my feeling in words. Saya sudah cukup lama membuat hatimu sakit”
“Kak Fikri ngomong apa sih? Nadia ngerasa nyaman kok. Bagi Nadia, kedekatan yang tulus tanpa ada rasa itu lebih nyaman dibanding perasaan yang tumbuh karena terpaksa”
Fikri diam. Pun dengan Nadia. Ada jeda di antara keduanya.
“Kak, kak Fikri sudah jadi Espresso buat Nadia. Kak Fikri selalu ada di saat apapun. Kak Fikri sudah memberikan kebahagiaan yang berwarna. That’s enough.”
Tiba-tiba aku merasa tersanjung. Satu hal yang aku pahami sekarang. Tidak selamanya aku hanya bisa mendengar dan melihat manusia-manusia itu berkeluh kesah tanpa melakukan apa-apa. Ternyata aku mampu meredam amarah mereka, memuaskan mereka dengan rasa serta mampu memberikan berjuta rasa lewat saudara-saudaraku yang tersaji dalam berbagai rupa. Aku bahagia karena bisa memberi kebahagiaan. Aku bahagia menjadi dasar yang mampu menyuguhkan manis. Karena rasa telah mengalahkan segalanya.
nay



Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com