Aku panik. Tangisnya tidak terdengar. Di pikiranku saat itu hanya,
"dirujuk, dirujuk dan dirujuk". Allah.
Kamis, 10 Agustus 2017.
Ada darah merembes di kakiku sebelum aku
mengambil air wudhu shubuh. Sempat panik tapi aku berusaha tenang karena
tidak ada rasa sakit di perut atau di bagian tubuh lainnya. Darah merah
muda semakin intens keluar hingga kamis sore aku memutuskan untuk
periksa ke bidan. "Pembukaan satu, mbak. Kalau ndak sakit banget
perutnya jangan dibawa ke sini dulu", bu Bidan berkata. Aku hanya
mengiyakan karena memang aku tidak merasakan sakit yang berarti. Kamis
malam aku tidak bisa tidur nyenyak. Punggung terasa sangat kaku dan
perut bawah nyeri.
Jumat pagi, 11 Agustus 2017
Darah itu keluar lagi disertai nyeri di
bagian perut bawah. Namun, aku masih menganggapnya biasa karena memang
aku pernah merasakan sakit yang lebih sakit dari ini. Menurutku, nyeri
kali ini lebih ringan dibanding sakit perut karena dilep setiap kali
aku datang bulan. Jam 6 aku ikut jalan sehat desa berharap nyeri itu
hilang atau paling tidak membantu pembukaan jalan lahir jika memang
sudah waktunya dilahirkan. Setengah jalan aku menyerah karena nafas yang
semakin ngos-ngosan dan perut yang semakin nyeri. Namun aku tetap
bersikap biasa karena memang sesungguhnya aku sering merasakan dilep
yang lebih sakit dari ini. Jumat siang, aku sengaja tidur sebagai
pengganti tidur malamku yang kurang. Jumat sore nyeri itu semakin
intens, sekitar sepuluh menit sekali. Namun aku masih bersikap biasa.
Bahkan aku masih sempat mengunjungi satu kawanku yang baru saja
melahirkan. Aku selalu ingat kata bu bidan, "jangan dibawa ke sini kalau
belum benar-benar sakit".
Dan, malam itu adalah jawaban atas segala penantian. Ba'da magrib
perutku keram total. Rahim seperti diobok-obok, lebih parah dari dilepku
selama ini. Namun aku mencoba bertahan. Aku melakukan beberapa gerakan
ringan dari senam hamil seperti yang sering aku lakukan sebelumnya.
Nyeri semakin parah hingga pukul 19.00 aku tidak kuat. Aku hanya
berbaring di kamar dengan sesekali menggigit ujung bantal saat gelombang
cinta itu bertransformasi menjadi sakit yang sangat tidak tertahan.
Ibuku panik, suamiku apalagi. Tapi aku berusaha tenang. Keluargaku
memaksaku untuk segera pergi ke bidan namun aku tetap ingin bertahan.
Hingga pukul 20.30 aku menyerah. "Sudah, aku mau ke bidan sekarang".
Di
sana, setelah dilakukan VT ternyata sudah pembukaan 4. "Ditunggu di sini
ya.. Ndak usah pulang", kata bu Bidan. Karena menurutku antara
pembukaan 4 hingga sempurna itu masih membutuhkan waktu yang lama maka
aku berusaha tetap tenang meski orang-orang di sekitarku semakin panik.
Aku tetap membujuk janin dalam perutku untuk bisa bekerjasama selama
proses persalinan nanti. Di depan ruang tindakan, aku berusaha untuk
kuat berjalan-jalan, sesekali membungkuk, menungging, sembari
berkomunikasi dengan janin di perutku. "Nak, ayo berjuang bareng Ibuk
buat bisa lahiran normal. Lihat teman-temanmu yang sudah keluar duluan.
Mereka bisa normal. Kita harus bisa". Gelombang cinta itu semakin
intens. Tercatat ada tiga kontraksi setiap lima menit. Aku sudah tidak
kuat.
Pukul 23.00 Bidan membawaku ke ruang tindakan. VT dilakukan lagi dan
ternyata sudah pembukaan sempurna. Peralatan disiapkan. Bidan dan
asistennya siap menuntunku untuk proses melahirkan. Ibuku menemaniku
sembari memegang tanganku erat. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga
puluh menit rasanya isi perutku semakin ingin turun tapi tertahan.
Tarikan nafasku naik turun.
Aku berbisik pada diriku sendiri, "Ayo. Aku
Pasti bisa. Ayo, Nak. Kita berjuang bersama". Bu Bidan menuntunku
membaca ayat-ayat suci sambil mengajak berpikir positif. Ibuku semakin
erat memegang tanganku. Hampir satu jam kepala bayiku keluar masuk. Aku
berusaha mengejan dengan sempurna namun terputus. Drama belum selesai.
Bu Bidan dan asistennya tetap membaca ayat-ayat suci sembari mendorong
perutku. Kontraksi semakin hebat namun nafasku lemah. Aku tetap
mensugesti diri sendiri bahwa aku bisa melahirkan dengan normal. Pukul
00.00 aku menyerah. Aku meminta ibuku untuk memanggil suamiku. Aku
pikir, dengan bersamanya akan mempermudah buah hati kami menyambut
dunia.
Dan, bersama bu Bidan dan asistennya, suamiku diminta membantu
mendorong. Tangan kekarnya mendorong perutku dengan kuat. Dua kali
kontraksi hebat dan tepat pada pukul 00:15, Sabtu 12 Agustus 2017, bayi
laki-laki itu berhasil keluar. Tapi nanti dulu, tidak ada tangis. Sunyi.
Suamiku keluar dari ruang tindakan. Dalam hati ia tidak tega, katanya.
Pikiranku kacau saat itu. Aku panik. Tangisnya tidak terdengar. Di
pikiranku saat itu hanya, "dirujuk, dirujuk dan dirujuk". Allah. Bu
Bidan mengangkat bayi merah itu sambil berkata, "Ya Allah, ini yang
membuat ibumu kesakitan, Nak. Ini yang membuat kepalamu keluar-masuk
cukup lama".
Ya. Bayiku terlilit tali pusar di lehernya. Ada dua
lilitan. Tanpa berkata kembali, bu Bidan mengambil tindakan. Segera
dibersihkannya bayi merah itu dan memasukkan sejenis selang di mulutnya.
Dan, tangis yang kami nantikan hadir. Tangisnya lantang, keras, cukup
menggetarkan hatiku. AlhamdulIllah. Aku menangis haru. Tangis ini yang
sudah sangat aku nantikan. Setelah semuanya beres Bu Bidan berkata,
"AlamdulIllah sehat. Berat 3 kg. Panjang 49 cm. Bayi Laki-laki. Mari IMD
dulu".
Ya. Buah cinta kami telah hadir. Ia hadir di usia 31 bulan pernikahan
kami, hampir tiga tahun. Suka duka mewarnai perjalanan kami untuk
benar-benar bisa yakin, "Ya. Kami siap punya anak". Allah telah
menyiapkan waktu yang tepat. Saat inilah waktu itu tiba.
Terimakasih atas segenap doa dan bantuan. Allahlah sang Maha Pembalas
dari segala balasan. Amin.
Terimakasih sudah berjuang bersama Ibuk, Nak Ahmad Abroruz Zahidin,
Zahid. 12 Agustus 2017. 00:15.