Cari Blog Ini

Jumat, 27 Oktober 2017

Sebuah Kala

Aku panik. Tangisnya tidak terdengar. Di pikiranku saat itu hanya, "dirujuk, dirujuk dan dirujuk". Allah.

 Kamis, 10 Agustus 2017.
Ada darah merembes di kakiku sebelum aku mengambil air wudhu shubuh. Sempat panik tapi aku berusaha tenang karena tidak ada rasa sakit di perut atau di bagian tubuh lainnya. Darah merah muda semakin intens keluar hingga kamis sore aku memutuskan untuk periksa ke bidan. "Pembukaan satu, mbak. Kalau ndak sakit banget perutnya jangan dibawa ke sini dulu", bu Bidan berkata. Aku hanya mengiyakan karena memang aku tidak merasakan sakit yang berarti. Kamis malam aku tidak bisa tidur nyenyak. Punggung terasa sangat kaku dan perut bawah nyeri.

Jumat pagi, 11 Agustus 2017
Darah itu keluar lagi disertai nyeri di bagian perut bawah. Namun, aku masih menganggapnya biasa karena memang aku pernah merasakan sakit yang lebih sakit dari ini. Menurutku, nyeri kali ini lebih ringan dibanding sakit perut karena dilep setiap kali aku datang bulan. Jam 6 aku ikut jalan sehat desa berharap nyeri itu hilang atau paling tidak membantu pembukaan jalan lahir jika memang sudah waktunya dilahirkan. Setengah jalan aku menyerah karena nafas yang semakin ngos-ngosan dan perut yang semakin nyeri. Namun aku tetap bersikap biasa karena memang sesungguhnya aku sering merasakan dilep yang lebih sakit dari ini. Jumat siang, aku sengaja tidur sebagai pengganti tidur malamku yang kurang. Jumat sore nyeri itu semakin intens, sekitar sepuluh menit sekali. Namun aku masih bersikap biasa. Bahkan aku masih sempat mengunjungi satu kawanku yang baru saja melahirkan. Aku selalu ingat kata bu bidan, "jangan dibawa ke sini kalau belum benar-benar sakit".

Dan, malam itu adalah jawaban atas segala penantian. Ba'da magrib perutku keram total. Rahim seperti diobok-obok, lebih parah dari dilepku selama ini. Namun aku mencoba bertahan. Aku melakukan beberapa gerakan ringan dari senam hamil seperti yang sering aku lakukan sebelumnya. Nyeri semakin parah hingga pukul 19.00 aku tidak kuat. Aku hanya berbaring di kamar dengan sesekali menggigit ujung bantal saat gelombang cinta itu bertransformasi menjadi sakit yang sangat tidak tertahan. Ibuku panik, suamiku apalagi. Tapi aku berusaha tenang. Keluargaku memaksaku untuk segera pergi ke bidan namun aku tetap ingin bertahan. Hingga pukul 20.30 aku menyerah. "Sudah, aku mau ke bidan sekarang".

Di sana, setelah dilakukan VT ternyata sudah pembukaan 4. "Ditunggu di sini ya.. Ndak usah pulang", kata bu Bidan. Karena menurutku antara pembukaan 4 hingga sempurna itu masih membutuhkan waktu yang lama maka aku berusaha tetap tenang meski orang-orang di sekitarku semakin panik. Aku tetap membujuk janin dalam perutku untuk bisa bekerjasama selama proses persalinan nanti. Di depan ruang tindakan, aku berusaha untuk kuat berjalan-jalan, sesekali membungkuk, menungging, sembari berkomunikasi dengan janin di perutku. "Nak, ayo berjuang bareng Ibuk buat bisa lahiran normal. Lihat teman-temanmu yang sudah keluar duluan. Mereka bisa normal. Kita harus bisa". Gelombang cinta itu semakin intens. Tercatat ada tiga kontraksi setiap lima menit. Aku sudah tidak kuat. Pukul 23.00 Bidan membawaku ke ruang tindakan. VT dilakukan lagi dan ternyata sudah pembukaan sempurna. Peralatan disiapkan. Bidan dan asistennya siap menuntunku untuk proses melahirkan. Ibuku menemaniku sembari memegang tanganku erat. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit rasanya isi perutku semakin ingin turun tapi tertahan. Tarikan nafasku naik turun.

Aku berbisik pada diriku sendiri, "Ayo. Aku Pasti bisa. Ayo, Nak. Kita berjuang bersama". Bu Bidan menuntunku membaca ayat-ayat suci sambil mengajak berpikir positif. Ibuku semakin erat memegang tanganku. Hampir satu jam kepala bayiku keluar masuk. Aku berusaha mengejan dengan sempurna namun terputus. Drama belum selesai. Bu Bidan dan asistennya tetap membaca ayat-ayat suci sembari mendorong perutku. Kontraksi semakin hebat namun nafasku lemah. Aku tetap mensugesti diri sendiri bahwa aku bisa melahirkan dengan normal. Pukul 00.00 aku menyerah. Aku meminta ibuku untuk memanggil suamiku. Aku pikir, dengan bersamanya akan mempermudah buah hati kami menyambut dunia.

Dan, bersama bu Bidan dan asistennya, suamiku diminta membantu mendorong. Tangan kekarnya mendorong perutku dengan kuat. Dua kali kontraksi hebat dan tepat pada pukul 00:15, Sabtu 12 Agustus 2017, bayi laki-laki itu berhasil keluar. Tapi nanti dulu, tidak ada tangis. Sunyi. Suamiku keluar dari ruang tindakan. Dalam hati ia tidak tega, katanya. Pikiranku kacau saat itu. Aku panik. Tangisnya tidak terdengar. Di pikiranku saat itu hanya, "dirujuk, dirujuk dan dirujuk". Allah. Bu Bidan mengangkat bayi merah itu sambil berkata, "Ya Allah, ini yang membuat ibumu kesakitan, Nak. Ini yang membuat kepalamu keluar-masuk cukup lama".

Ya. Bayiku terlilit tali pusar di lehernya. Ada dua lilitan. Tanpa berkata kembali, bu Bidan mengambil tindakan. Segera dibersihkannya bayi merah itu dan memasukkan sejenis selang di mulutnya. Dan, tangis yang kami nantikan hadir. Tangisnya lantang, keras, cukup menggetarkan hatiku. AlhamdulIllah. Aku menangis haru. Tangis ini yang sudah sangat aku nantikan. Setelah semuanya beres Bu Bidan berkata, "AlamdulIllah sehat. Berat 3 kg. Panjang 49 cm. Bayi Laki-laki. Mari IMD dulu".

Ya. Buah cinta kami telah hadir. Ia hadir di usia 31 bulan pernikahan kami, hampir tiga tahun. Suka duka mewarnai perjalanan kami untuk benar-benar bisa yakin, "Ya. Kami siap punya anak". Allah telah menyiapkan waktu yang tepat. Saat inilah waktu itu tiba.

Terimakasih atas segenap doa dan bantuan. Allahlah sang Maha Pembalas dari segala balasan. Amin.

Terimakasih sudah berjuang bersama Ibuk, Nak Ahmad Abroruz Zahidin, Zahid. 12 Agustus 2017. 00:15.