Bagian 1
Menjemput Rindu
Deretan rumah penduduk memenuhi sepanjang
mataku saat melihat ke arah jendela. Pagi ini Argo Wilis membawaku dari Stasiun
Gubeng Surabaya menuju Jogja. Pukul dua belas tepat nanti aku akan sampai di
Stasiun Tugu. Kali ini adalah kali kedua aku pergi ke kota pelajar itu
pascakelulusanku.
Perjalananku kali ini membutuhkan kekuatan
yang lebih. Aku sempat tidak ingin menginjakkan kakiku kembali ke Jogja. Aku
marah pada takdir yang telah merenggut kebahagiaanku di kota itu. Namun,
perubahan harus muncul dari diriku sendiri. Aku tidak ingin hatiku tersakiti
terlalu lama. Aku ingin bernafas lega.
Namaku Rayya. Aku lulus dari salah satu
universitas negeri di Jogjakarta dua tahun silam. Setelah wisuda, aku hanya
sekali kembali ke kota itu untuk pertemuan dua keluarga. Sekarang aku pergi ke
sana untuk sebuah tujuan yang berbeda.
Kondektur memberi informasi jika kereta
akan berhenti di stasiun Jombang. Aku merapikan jaketku dan memasang headset.
Perjalanan ini masih jauh. Aku ingin tidur sebentar.
Suara laki-laki membangunkanku.
“Permisi, Mbak. Kursi saya 18 B.”
Dengan mata yang masih terpejam aku
mengangguk dan membalasnya, “Silakan, Mas.”
Lima belas menit berlalu dan aku terbangun
untuk mengambil air mineral di dalam tas. Aku terperanjat saat melihat wajah
lelaki yang duduk sebelahku seperti tidak asing. Ia sedang memejamkan mata.
Sepertinya ia tertidur pulas.
Air mineral yang kuteguk seharusnya segar.
Namun, ia seperti belum mampu menghapus dahagaku. Aku mencoba untuk memejamkan
mata sekali lagi tapi ia tidak mau terpejam. Kuedarkan pandangan ke luar
jendela. Hamparan sawah nan hijau dan gunung menjulang nun jauh di sana
menemani hatiku yang berkecamuk. Lelaki itu, lelaki yang sedang duduk di
sebelahku seketika itu juga membuat hatiku seperti diguncang hebat.
“Rayya,” panggilnya sesaat setelah ia
terbangun.
“Kamu Rayya, kan?” Ia bertanya sekali
lagi.
“Vino? Ini kamu?”
Aku mencoba menutupi kegugupannku dengan
senyum.
Lelaki itu memakai kaus berwarna hijau yang
dibalut dengan kemeja flannel warna serupa dengan kancing yang dibiarkan
terbuka. Ia memakai topi chrocet warna abu dan earbud di telinga.
Style celana jeans dan sepatu converse warna hitam putih ini
masih sama seperti dulu, saat langkah kaki itu menemaniku menghapus rindu.
“Rayya, apa kabar? Aku gak percaya bisa
ketemu kamu di sini. Mau kemana?”
“Jogja. Kamu apa kabar, Vin?”
“As what you see.”
Ia tersenyum dan senyumnya masih menawan.
Shit. Kenapa aku harus
bertemu dengannya lagi. Aku kira semua rasa itu sudah selesai. Namun, kenapa
hatiku berdebar. Mata itu, bibir itu, sosok itu dengan sekejap mengingatkanku
pada jutaan kenangan yang telah lama terkubur dalam.
“Kamu mau kemana, Vin?”
“Sama. Aku tinggal di Jogja sekarang.
Kamu? Gimana kuliahmu di Jogja? Udah selesai ya?”
Aku tersentak. Kenapa ia bisa tahu jika
aku kuliah di Jogja? Bukankah kita berpisah
saat tahun pertama SMA?
“Kaget? Lupa ya kalau aku sempat follow
semua sosmedmu sebelum ada yang blokir aku tiba-tiba.” Ia tertawa.
Aku tersipu. Aku ingat saat itu tahun
pertamaku kuliah. Aku sangat terganggu dengan kehadirannya di dunia maya.
Kuputuskan untuk memblokir semua akun yang terhubung dengannya. Aku pikir kita
berdua sudah selesai.
“Kamu gimana sekarang, Vin? Lagi sibuk
apa?”
Aku bertanya untuk mencairkan suasana.
“Pengangguran.” Tawanya renyah.
Aku memicingkan mata lalu membalasnya
dengan senyum.
Kereta melaju dengan anganku yang semakin
tak tentu arah. Aku mengingat kembali tujuanku pergi ke Jogja adalah untuk
menemui kenangan tentangmu, lelaki yang selama empat tahun menemaniku. Namun,
dalam perjalananku menemuimu mengapa harus kutemui dirinya, lelaki yang pernah
mengisi hatiku saat wangi remaja baru saja kuhirup. Meski hanya satu tahun tapi
kenangan itu masih membekas jelas, terlalu indah.
Aku berdiri tepat ketika kereta berhenti.
Aku bermaksud mengambil koper yang kutaruh di rak bagasi. Ia langsung berdiri
untuk membantuku.
“Ada bagasi? Wait. Aku bantu.”
Aku menunjukkan yang mana koperku dan
mengucapkan terima kasih saat koper sudah di tangan. Ponselku berbunyi. Sebuah
panggilan dari Nisa.
Aku menerima panggilan itu sembari
berjalan ke luar kereta.
“Keretanya baru berhenti. Kamu ndak
usah khawatir. Nanti saya langsung ke rumah ya. Siap. Akan saya kabari nanti.”
Lelaki itu masih di belakangku saat aku
menutup telepon. Ia kemudian mengajakku duduk di deretan pedagang kaki lima di
dalam stasiun. Aku menyelonjorkan kaki sambil memainkan gawai. Sebotol minuman
isotonik disodorkannya kepadaku.
“Terimakasih,” jawabku.
“Janjian sama temen?”
“Enggak. Dia ga bisa jemput. Jadi aku
pakai grab nanti ke sana.”
“Bareng sama aku aja. Tujuanmu kemana?”
“Kota Gede.”
“Buru-buru atau gimana?”
“Enggak juga, sih. Santai aja.”
“Ikut aku dulu, yuk! Jalan-jalan bentar di
Malioboro. Mau?”
Aku terhenyak. Aneh sekali. Setelah
bertahun-tahun berpisah dan tidak pernah bertemu atau berhubungan sekalipun
dengan mudahnya ia mengajakku jalan. Aku ingin menolak tapi hatiku berontak.
Sepertinya ada rindu yang mengetuk hatiku.
Setelah membantuku menitipkan koper di
stasiun, ia mengajakku berjalan kaki menyusuri lorong stasiun. Kami
menyeberangi rel kereta api menuju arah pedestrian. Lelaki itu sama seperti
dulu. Ia selalu ceria dengan lelucon konyol yang dilemparkannya kepadaku.
Praktis, aku tidak merasakan lelah sama sekali meski jarak stasiun dan jalan
Malioboro cukup memakan waktu dengan berjalan kaki.
“Makan, yuk! Kamu sudah pernah coba nasi
gudeg di belakang Pasar Bringharjo?”
Aku menggeleng.
“Yuk!”
Sepiring gudeng menggugah selera sudah di
tangan. Perpaduan sayur nangka muda, koyor dan telur rebus berbumbu membuat
perutku meronta. Perjalanan kereta yang hampir lima jam ini membuat perutku
lapar.
“Oh ya, katanya kamu sekarang tinggal di
Jogja. Tinggal Dimana? Udah lama?”
Aku tidak tahan bersamanya tanpa suara.
“Masih setahun ini. Aku tinggal di daerah Sosrowijayan.”
“Oh,” gumamku.
“Kamu sekarang kerja di Surabaya?”
Aku mengangguk. Ia kemudian bercerita.
Seperti memahami segala pertanyaan yang masih berputar di otakku.
“Setahun ini aku sama temenku buka usaha
kecil-kecilan di daerah Sosrowijayan. Sablon kaos dan sticker gitu. Beberapa
hari yang lalu aku pulang ke Jombang buat jenguk ibu.”
“Eh, Ibu apa kabar? Lama ya ga denger
suara ibu.”
“Baik. Kangen kamu katanya.”
Aku tertawa. Tidak mungkin. Bertemu dengan
perempuan yang ia panggil ibu itu saja aku tidak pernah. Hanya mengobrol via
telepon. Dulu, masih jaman wartel lelaki itu selalu memaksaku mengobrol dengan
ibunya. Ah, lelaki itu memang pintar membuatku tersipu.
“Sebenarnya tiap pulang ke Jombang aku ga
pernah naik kereta loh, Ya.”
“Naik apa? Vespa?” Aku tertawa. Spontan
aku menyebut kata vespa karena memang sejak SMP Vino menyukai jenis kendaraan
itu.’
“Bener banget. Ga tau kenapa kemaren males
aja. Jadi berangkat sama balik pesen tiket kereta sekalian. Ternyata semua ini
ulah semesta ya, Ya. Kenapa bisa banget aku pesen tiket yang pas kamu juga ada di
sana. Eh dapet bonus kursinya kita sebelahan. Semesta emang baik banget
ngaturnya.” Kami berdua tertawa lepas. Lepas sekali.
“Oh ya, kamu udah nikah?”
Pertanyaannya membuatku kaget. Segera
kuteguk botol air mineral di sebelahku.
“Belum.” Aku menjawab singkat.
Setelah itu, tidak ada suara satupun. Aku
melanjutkan makan hingga sendok terakhir. Setelah mengelap mulutku dengan tisu,
aku memutuskan untuk menceritakan tujuan kedatanganku ke Jogja.
“Waktu kuliah, aku dekat sama kakak tingkat.
Dia asli Jogja. Setelah wisuda, dia memutuskan untuk melamarku. Keluarganya
pergi ke Surabaya. Beberapa bulan setelah itu, keluargaku ke Jogja untuk
membahas lebih jauh rencana pernikahan kami. Tapi takdir berkata lain. Saat ia
menjemput kami di stasiun, mobilnya mengalami kecelakaan. Beberapa jam
setelahnya, ia dinyatakan meninggal.”
Vino diam. Ia menatapku tajam.
“Aku marah pada kenyataan. Aku datang
untuk menjemput masa depan tapi Tuhan justru mengambilnya duluan. Ironis ya.
Pasca kejadian itu, aku ga pernah mau pergi ke Jogja. Jogja itu udah kayak
mimpi buruk buat aku.” Aku tersenyum kecut.
“I am sorry to hear that. Lalu
sekarang kamu ke sini? Udah kuat?”
“Harus.” Aku tersenyum.
“Mamanya Kak Fikri sakit. Beliau pengen
ketemu aku. Kata Nisa, Mama cariin aku, panggil-panggil aku terus. Yang tadi
telepon aku itu Nisa, adiknya Kak Fikri. Aku harus kuat buat ketemu Mama. Mama
butuh banget aku di sana. Aku ga boleh egois. Aku harus bisa mengalahkan sakit
hatiku pada keadaan. Mama sudah kehilangan Kak Fikri, anak laki-laki
satu-satunya. Bagi Mama, melihatku sama dengan melihat Kak Fikri,” lanjutku.
“Oh ya, kamu sendiri gimana? Anak kamu
udah kelas berapa sekarang?”
Pertanyaan yang seperti tercekat di
tenggorokan itu akhirnya keluar. Aku ingat bagaimana kami berpisah. Kami bersama
saat kelas tiga SMP. Kemudian kami lulus dan berbeda SMA. Saat itu, aku
mendapat kabar jika ia harus berhenti sekolah karena suatu hal yang membuatku
membencinya.
“We are divorced. Cuma dua tahun
kami menikah, Ya. Kami cerai setelah anak kami meninggal karena suatu penyakit.
Aku belum punya cukup biaya untuk pengobatannya.”
“Oh.” Aku tidak berkomentar apapun.
“Siapa sih Ya yang mau punya suami
pengangguran, enggak well-educated. Cuma lulusan SMP dan ga punya
kerjaan tetap. Ya udah kalau perceraian itu yang terbaik. Dia udah nikah lagi
sekarang. Sedangkan aku masih gini-gini aja.” Vino tertawa.
“Pasca perceraian itu. Aku ke Jogja.
Tujuanku mau ketemu kamu. Itulah kenapa aku resek ke kamu via sosmed. Eh,
tahu-tahu aku diblok.”
Kami berdua tertawa.
“Setelah itu ada yang ngajak aku ke
Aussie. Aku kerja di sana. Cuma kerja kasar, sih. Tapi cukup buat kirim uang
bulanan ke Ibu dan makan sehari-hari.”
“Oh, jadi itu kenapa dari tadi ngomongnya
pakai inggris-inggris terus.” Aku mendorong bahunya. “Keren dong ya udah ke
luar negeri. Naik pesawat. Aku aja masih belom pernah ke luar negeri,”
lanjutku.
“Mau ke luar negeri? Sama aku? Yuk!”
Aku mendorong bahunya sekali lagi.
“Main ke toko, Yuk! Aku kenalin kamu ke
temen-temen aku. Mau?” ajaknya.
“Boleh.”
###
“Hallo. Nisa, saya sampai rumah sepertinya
sore. Saya masih ketemu temen. Enggak usah. Nanti saya balik ke stasiun lagi.
Koper masih di stasiun. Ndak usah repot-repot, Nis. Oh gitu.. Ya udah deh.
Nanti saya kabari kalau sudah di stasiun.” Panggilan dari Nisa aku tutup.
Kuedarkan mataku ke sekeliling. Toko yang
bagiku seperti sebuah galeri ini cukup artistik. Bangunannya berlantai dua dan
cukup luas. Di lantai bawah, ruang depan dan belakang disekat dengan dinding
kaca. Pengunjung bisa melihat display kaus di ruang depan dan proses
sablon kaus di ruang belakang dapat dilihat dari dinding kaca itu.
“Ke atas, Yuk!” ajak Vino.
Ruangan di atas dibagi beberapa sekat.
Dari arah tangga, pengunjung bisa melihat berbagai kegiatan mulai dari cutting
sticker hingga jadi. Ada semacam balkon yang berisi meja kursi dengan hiasan
lampu artistik di atasnya. Lebih ke dalam lagi, ada ruangan-ruangan kecil dan
kamar mandi. Sepertinya ruangan itu adalah tempat istirahat untuk karyawan.
“Kamu tinggal di sini?” tanyaku saat
memasuki ruangan persegi itu. Ada kasur lantai dan sebuah lemari kayu. Ada meja
kecil dan laptop di atasnya.
Vino mengangguk.
“Ya bisa dibilang aku dan satu temanku ini
penanam saham utama. Jadi kami berdua berhak tinggal di sini.”
“Oh, CEO Perusahaan Sablon sepertinya.”
Aku tertawa. “Bercanda, Vin.”
“Tidak apa-apa, Ya. Paling tidak sekarang
aku punya modal untuk bisa aku banggakan di depan orang lain. Dulu, siapa yang
mau punya temen kayak aku. SMA harus putus sekolah karena menghamili anak
orang. Menikah dan diberi cobaan dengan penyakit yang diderita anakku, Ya.
Anakku cerebral palsy. Hanya bertahan dua tahun lalu meninggal. Aku bekerja
serabutan dengan hanya mengandalkan ijazah SMP. Lebih ironis mana hidupku sama
hidupmu, Ya?” Vino tetap tersenyum. Aku tahu senyumnya adalah satu-satunya alat
untuk membuatnya bertahan dengan segala keadaan.
Vino, lelaki itu. Kami satu SMP. Ibunya
menitipkannya di rumah tantenya di Surabaya. Ayahnya sudah berpulang saat ia
TK. Hidupnya sudah berat. Masa sekolah dasarnya ia gunakan untuk membantu
ibunya berjualan di pasar. Lelaki itu telah kenyang asam garam kehidupan di
usianya yang masih belia. Maka tidak heran jika masa SMP daya pikirnya sudah
jauh di atas usia sebayanya. Kami bersama saat kelas tiga SMP. Bukan pacaran
tapi lebih ke sahabat dekat. Saat SMA, kami masih di kota yang sama tapi
berbeda sekolah. Disitulah kebersamaan kami berkurang hingga akhirnya aku mendengar
kabar itu. Kabar yang benar-benar membuatku muak jika aku pernah bersahabat dan
menaruh rasa kepadanya.
“Duduk, Ya. Aku ambilkan minum.”
Ia mengambil sebotol air mineral dingin
dari lemari pendingin yang berada di dekat pintu balkon. Dari balkon tersebut
ada tangga luar yang terhubung dengan teras toko. Jadi pengunjung bisa
menikmati pemandangan dari atas balkon dengan menaiki dua tangga, dari dalam
dan luar toko. Biasanya pengunjung menunggu pesanan dengan duduk di sana atau
sekadar duduk santai menikmati langit sore Jogja.
“Nanti aku antar ke stasiun ya, Ya. Nisa
jemput kamu jam berapa?”
“Jam 4 katanya.”
“Mau naik vespa? Aku belum punya mobil,
Ya.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
###
“Mbak Rayya…”
Nisa memanggil dan melambaikan tangan ke
arahku. Bergegas aku menuju perempuan berkerudung warna salem yang berdiri di
sebelah Honda Brio berwarna abu. Kutengok sebentar lelaki di sebelahku ini dan
kujabat tangannya.
“Nice to meet you, Vin. Semoga kita
bisa bertemu kembali.”
“Pasti, Ya. Semesta akan mengatur
segalanya.” Ia menjabat tanganku erat. Diselipkannya kertas kecil di sana.
Sebaris nomor telepon.
Aku memeluk Nisa. Ia sudah kuanggap
seperti adikku sendiri. Takdirku yang menjadi anak tunggal membuatku tidak
mengerti bagaimana rasanya punya kakak dan adik. Dari Kak Fikri dan Nisa aku
mampu merasakan itu semua. Kak Fikri dan Nisa adalah dua bersaudara. Bagi
keluarga mereka, aku seperti anak tengah. Empat tahun bersama kak Fikri adalah
empat tahun terindah aku bersama keuarga itu.
“Teman kuliah, Mbak?” tanya Nisa.
“Bukan. Teman SMP. Ketemu di kereta.
Kebetulan tinggal di Jogja sekarang. Semuanya baik-baik saja kan, Nis?”
“Seperti yang selama ini Nisa ceritakan,
Mbak. Mama benar-benar terpukul. Abah sudah tidak tahu lagi harus membawa Mama
berobat kemana. Terkadang Mama bisa baik banget. Kadang bisa marah-marah ndak
jelas dan suka lempar-lempar barang di kamar. Beberapa hari ini Mama cuma bisa
berbaring di ranjang. Mama sering tidur. Dalam tidurnya, Mama suka mengigau.
Dan nama yang sering ia sebut dalam tidurnya hanya nama Mbak Rayya.”
Aku terpukul. Aku tahu betapa Mama sangat
menginginkan pernikahan ini. Kata Mama, memiliki aku sebagai menantunya adalah
anugerah. Aku tak tahu apa alasannya. Menurutku, aku adalah perempuan biasa dan
sikapku juga biasa. Namun, mereka sangat baik kepadaku. Pun dengan Kak Fikri,
Bunda dan Ayah sangat mencintai Kak Fikri. Mereka sangat percaya jika Kak Fikri
adalah lelaki yang tepat untukku.
Mobil masuk ke dalam pagar kayu berwarna
cokelat. Di dalam pagar itu, halaman berumput tampak luas. Sebuah bangunan kayu
jati berbentuk joglo dengan arsitektur jawa kuno berdiri kokoh di tengah
halaman itu. Mbok Darmi, perempuan paruh baya yang mengabdi di rumah ini
menghampiri kami yang baru saja turun dari mobil.
“Mbak Rayya, apa kabar? Sudah lama kita
tidak bertemu nggih, Mbak,” sapa Mbok Darmi.
“Nggih, Mbok. Sehat, Mbok?”
“Alhamdulillah sehat, Mbak.”
Mbok Darmi mengangkat koperku ke dalam.
Nisa menmpersilakanku masuk ke dalam rumah. Silakan istirahat dulu, Mbak.
Bersih-bersih dulu. Sambil nunggu Abah pulang. Nanti jam makan malam kita
ketemu di ruang makan ya. Baru nanti kita ke kamarnya Mama.
Aku mengangguk. Nisa membawaku ke kamar
ini. Ini adalah kamar milik Kak Fikri. Membuka pintunya, dadaku terisak. Ada
udara yang menguar masuk menerobos relung hatiku yang paling dalam. Kebersamaan
selama empat tahun itu tidaklah sebentar. Kuhampiri ranjang kayu dengan sprei
putih itu. Kuambil sebuah pigura kecil di atas nakas. Ada foto kami di dalamnya,
saat kami berdua sedang menikmati kokohnya Candi Prambaban. Air mataku menets.
Aku ingat bagaimana Kak Fikri berjanji kepadaku untuk segera meminangku selepas
aku lulus kuliah. Katanya, cintanya terlalu kokoh seperti kokohnya candi. Aku
tersenyum. Namun, senyum itu tak mampu melawan tangisku yang semakin menjadi.
Aku rindu. Rindu yang teramat sendu.
###
“Sehat, Nduk?”
Abah berdiri menyambutku yang baru saja
keluar kamar.
“Sae, Bah. Njenengan?”
“Apik. Lungguh, Nduk!”
Abah mempersilakan aku duduk.
“Keluarga kabeh sehat yo, Nduk?”
“Nggih, Bah. Alhamdulillah.”
“Silakan dimakan, Mbak. Kita ke kamar Mama
setelah ini,” pinta Nisa.
Ruangan itu harum. Mama suka meletakkan aroma
therapy dengan wangi mawar di ujung kamar. Mama tidur pulas. Nisa
membangunkannya karena sudah waktunya makan.
“Ma, bangun, Yuk! Makan dulu, ya. Lihat
Nisa sama siapa?”
Mama membuka mata. Nisa membantunya duduk
bersandar dengan bantal di belakangnya.
“Rayya… Ini kamu, Nduk?”
“Nggih, Ma. Mama sehat?”
Aku tak kuasa membendung air mata. Mama
memelukku erat. Hangat yang kurasakan semakin membuatku teriris. Kerinduan yang
membuncah itu kini melebur jadi satu. Aku seperti melihat senyum Kak Fikri di
antara pelupuk mataku.