Sudah lama ndak bikin review film atau buku. Okey, mari kita mulai kembali! 😊Jadi, liburan lebaran kali ini saya dan suami sepakat untuk mengajak bayi kami yang sudah berusia 7 tahun untuk masuk gedung bioskop. Padahal, sebelumnya kami sudah sepakat bahwa tidak akan pernah mengizinkan anak kami nonton bioskop sebelum berusia 17 tahun. Kali ini kami mencuri start lebih awal hanya karena “film Jumbo”. Setelah liat cuplikan film Jumbo yang wira-wiri di feed IG dan short Yutub, maka saya memutuskan untuk “harus nonton” film ini. Tujuan awal kami adalah pengen kasih “pelajaran” dan sebagai bahan diskusi kami bertiga. Secara bayi 7 tahun kami ini sudah mulai bisa diajak discuss mana yang baik dan buruk. FYI, bayi 7 tahun kami ini bisa dikatakan “sering” terlibat sebagai pelaku bullying. Entah itu di sekolah atau di rumah. Harapan kami, karena benang merah yang kami tangkap saat menonton trailer-nya pertama kali adalah kisah seorang anak yang dirundung dan upaya mewujudkan mimpi maka ini akan jadi bahan diskusi yang pas. Artinya, bagaimana sang tokoh yang notabene adalah seorang anak yang diremehkan itu akhirnya bisa menunjukkan pada dunia bahwa dia mampu. Bagi kami yang mempunyai anak yang dicap sebagai “pelaku bullying” sepertinya akan mendapatkan bahan diskusi yang renyah dengan si anak bahwa ketika kau merundung seseorang maka akan ada satu orang yang bangkit untuk mewujudkan mimpi. So, daripada kamu menjadi pelaku bullying, maka lebih baik kamulah yang berusaha mewujudkan mimpi hebat itu. Okey, fix kami berangkat nonton.
Tapi… Apa yang kami dapatkan setelah nonton Jumbo??? Lebih dari bayangan awal yang memenuhi pikiran kami sebelumnya. Fix, luar biasa! Marvelous! Fantastic!
Intinya, film ini kaya akan konflik. Ternyata, tidak hanya problematika bullying saja. Namun, banyak sekali konflik sosial yang muncul antara lain: penggusuran makam untuk kebutuhan proyek pembangunan, kehadiran Meri – Si Hantu Imut yang makamnya tidak bisa dibongkar sehingga harus menghentikan proyek pembangunan tersebut, keinginan Meri untuk berkumpul lagi bersama arwah kedua orangtuanya, Atta yang kesepian, Nurman dan Mae yang juga tidak memiliki orang tua, Bang Acil yang menuruti apapun perintah pak Kades demi pengobatan kakinya yang luka, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain, kita belajar banyak banget dari film ini. Ada beberapa poin yang bisa kita jadikan pengingat, antara lain: setiap orang itu butuh didengarkan. Kita harus mendengarkan orang lain, jangan hanya mendengarkan diri sendiri. Mendengarkan tidak hanya dengan telinga tapi juga dengan hati. Selanjutnya, setiap orang punya peran. Kadang kita jadi pelaku, kadang kita juga jadi penonton. Setiap peran harus kita jalani dengan sebaik-baiknya. Lalu, kita tidak boleh egois. Don, si Jumbo, sempat “egois” ketika Meri menagih janjinya. Don hanya memikirkan dirinya saja. Itulah yang membuat teman-teman yang selama ini membelanya harus merasa kecewa.
Okey, cukup spoilernya. Hehehe. Sekarang saya bicara dari beberapa sudut pandang, ya. Yang pertama dari sudut pandang saya sebagai seorang ibu dengan anak yang sering dicap sebagai “pelaku bullying”. Ternyata, tokoh Atta suka membully teman-temannya karena imbas hidupnya yang kesepian. Ia butuh teman. Ia harus menghadapi kehidupan yang pelik bersama kakaknya. Ia tak punya orang tua sehingga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan membantu kakaknya bekerja di kios servis elektronik. Ia juga sering dipanggil untuk bersih-bersih rumah tetangganya. Hal ini yang menjadikan sebuah tamparan keras bagi saya. Apakah saya sejauh itu menggadaikan kebersamaan saya dengan anak saya? Sehingga ia kesepian dan harus melampiaskannya kepada teman-temannya? Sebuah introspeksi yang sangat menampar, ya. 😊 Ada satu narasi dari Bang Acil ke Atta yang saya ingat: "Dek, kalo adek capek, adek kesel... Marahnya jangan sama orang lain, ya... Cerita aja sama abang." 😢
Selanjutnya, saya akan bicara dengan sudut pandang seorang alumnus Sastra..Hahaha sok kritikus ya… Ya, kritik ala-ala. Hahaha
Jadi, dari segi alur cerita, film ini pakai alur campuran. Di sebuah sumber disebutkan bahwa alur campuran mengalir layaknya sungai yang bermula dari titik tertinggi, lalu menelusuri peristiwa di masa lalu sebelum kembali bergerak hingga cerita usai. Dalam proses mengisahkan masa lalu, tokoh utama yang sudah diperkenalkan akan memperkenalkan tokoh-tokoh lain selama cerita masih berlangsung dan saat alur kembali ke titik awal. Contoh alur campuran adalah cerita yang dimulai di pertengahan kejadian, lalu bergerak maju atau mundur sesuai kebutuhan cerita. Dalam hal ini, konflik tentang penggusuran lahan oleh pak kades dimuculkan di awal kemudian disambung dengan hadirnya Meri – si hantu imut beserta konflik dengan orangtuanya akibat penggusuran tersebut. Lalu, cerita tentang masa lalu pak kades sebagai penyebab utama ulahnya juga dimuculkan di pertengahan cerita. Kemudian, cerita kembali berlanjut di masa sekarang. Bagus sih, tapi untuk sampai ke anak-anak, sepertinya pesan tentang “penggusuran” ini harus ekstra dijelaskan oleh orangtua karena memang pikiran anak belum sampai sejauh itu. kemudian, jika dilihat dari sisi psikologi, karakter Don yang sering dibully sepertinya sangat haus akan validasi. Ia ingin menunjukkan bahwa ia hebat dengan mementaskan dongeng karya ibunya. Semacam muncul inferiority dalam diri Don ini. Lalu, Buku Dongeng yang selalu dibawa Don kemana saja menjadi semacam semiotika atau simbol kerinduan Don pada kehadiran kedua orangtuanya. Satu lagi, adanya scene saat Atta memberikan makanan pada kucing liar menunjukkan simbol bahwa di sisi lain seorang “pelaku bullying” ada sisi baik yang harus dilihat dan dibanggakan. Dari sisi sosiologi, kampung Seruni menjadi sebuah lingkungan sosial yang penuh dengan problematika. Dalam arti lain, miniatur Indonesia ada di kampung ini. Mulai dengan konflik penggusuran lahan, superiority-nya seorang pak kades sehingga menindas yang lemah, tekanan sosial ekonomi di sebuah keluarga, dan berbagai permasalahan lainnya.
Overall, film ini saya kasih rate 8,5 dari 10. Menjadi sebuah pengalaman pertama yang sangat berkesan buat anak kami. Meski sudah hampir seminggu pasca nonton, anak kami masih sering membahas sikap Don, Atta, dan kisah di dalamnya. Alhamdulillah, ada hasil dari discuss kami. Daaaann….yang bikin saya takjub ini adalah voice actor-nya. Siapa sangka seorang Chicho Jerico, Angga Dwimas Sasongko, dan Ganindra Bimo jadi Mbek alias Kambing milik engkongnya Nurman. Mereka harus riset buwanyak banget hanya demi sebuah karakter “Mbek, Mbeek, dan Mbeeek”.😊
Dan, yang paling juara adalah….. Suara Ariel Noah saat mendongeng. Jadi pengen bobok pules dah... 😍
SAP. SAP. SAP! Ayo nonton, Jumbo!
Zendagi Megzara-Life Must Go On
Kehidupan adalah sebuah keindahan mimpi-mimpi, perwujudan angan serta meluapnya harapan. menjadi sebuah pribadi yang berkarakter adalah awal dari segala macam perwujudan. kehidupan akan terus berjalan, maka bermimpilah. Zendagi Megzara-Life Must Go On.
Cari Blog Ini
Kamis, 10 April 2025
Review "Ala-Ala" buat Film JUMBO Karya Ryan Adriandhy 2025
Selasa, 16 Januari 2024
Novel - All About You (Bagian 4)
Bagian 4
Kejutan
“Rayya, kamu lagi di Jakarta?”
Suara Vino kencang terdengar dari ponsel
di telingaku.
“Iya.” Aku menjawab dengan sedikit
menjauhkan ponsel dari telinga.
“Shareloc, dong!”
“Hah?”
Mulutku ternganga mendengar kara shareloc
yang baru saja diucapkan Vino.
“Udah ga usah sok kaget. Aku tahu pasti
kamu di sana lagi ga bisa ngomong.” Vino terbahak.
“Aku tadi baca story IG kamu. Aku pernah
bilang apa ke kamu? Semesta itu terlalu baik sama kita, Ya. Aku lagi di Jakarta
sekarang. Sejak dua hari yang lalu sih sebenarnya. Ada urusan kerjaan.”
Aku masih tidak mampu berkata apapun. Mulutku
masih terbuka lebar dan tidak percaya atas takdir apa yang sedang terjadi dalam
hidupku.
“Hei, are you still there, Ya? Aku tahu
pasti sekarang kamu lagi bengong.” Vino tertawa sekali lagi.
“Udah deh ketawanya. Resek banget sih.” Suara
manjaku tiba-tiba keluar begitu saja.
“Aku suka nada manjamu, Ya.” Kali ini tawa
Vino agak ringan.
“Kamu di derah mana emangnya?”
“Pecenongan.”
“Jauh juga sama tempatku.”
“Ga ada kata jauh kalo kita mau berusaha,
Ya.”
“Idih, sok bijak banget.” Kali ini gantian
aku yang tertawa.
Percakapan via telepon itu akhirnya
berhenti juga setelah aku mengirimkan lokasi apartemenku via whatsapp. Meski
berat, ada rasa senang yang muncul dalam hatiku. Entah apa namanya. Aku sulit
menerjemahkan segala rasa yang muncul tiba-tiba.
###
Hari ini adalah hari pertamaku di kantor. Pak
Surya rupanya sudah menyiapkan segalanya. Ada sopir pribadi yang siap
menjemputku dari apartemen menuju kantor. Sebenarnya sudah sejak kedatanganku
kemarin sopir ini hendak menjemputku tapi aku sudah mengatakan jika ada kerabatku
yang sudah siap menjemput.
Kata Pak Surya, jika aku sudah hafal seluk
beluk kota Jakarta aku boleh membawa mobil ini sendiri. Baik sekali bos satu
itu. Posisiku saat awal masuk di perusahan milik Surya Gumilang itu hanyalah
staf biasa. Kemudian aku dipromosikan menjadi supervisor. Setelah melihat
kinerjaku yang lumayan, Pak Surya mengangkatku sebagai manajer produksi lalu
menjadikanku sebagai sekretaris pribadinya yang mengatur semua kegiatan perusahaan
atas arahannya. Sekarang posisiku masih sama sebagai manajer tapi di kantor
cabang yang baru saja dibuka. Itu artinya aku termasuk bagian vital dari
kelangsungan perusahaan ini.
Blazer warna salem dengan setelan rok
selutut menemani hari pertamaku di kantor. Rambut sebahuku hanya kuberi jepit
kecil di atas telinga sebelah kiri. Sementara itu yang lain kubiarkan terurai. Tas
merk charleskeith model selempang tampak serasi saat menggantung di
bahuku. High hells warna krem membuat kakiku tampak lebih jenjang.
Setelah ada semacam official ceremony
di ruang direksi, aku bersama para undangan lainnya disilakan untuk menikmati
jamuan yang sudah tersedia di pantry. Disitulah aku kaget luar biasa. Vino ada
di sana.
“Vino…”
Aku berteriak hingga beberapa kolega menatapku.
Seketika itu juga aku menutup mulut.
“Semesta punya rencana apa lagi?”
Pertanyaanku disambut senyum olehnya.
“Aku bener-bener ga percaya kita bisa ketemu
di sini, Ya.”
“Apalagi aku. Bukannya kamu bilang kalau
kamu di Pecenongan. Ini Kelapa Gading loh.” Kami berdua tertawa.
“Duduk, Ya!”
Kami berdua duduk di pantry. Ia kemudian
bercerita jika teman yang membawanya bekerja di Aussie dulu adalah salah satu
direksi dari Perusahaan Garmen yang juga milik Pak Surya ini. Ia juga bercerita
jika saat ini ia sedang mengikuti kelas jauh untuk pendidikan S1.
“Jadi aku sempat ikut kejar paket dulu,
Ya. Before I went to Aussie. Nah, sambil aku kerja di toko kaus aku ambil
kuliah kelas jauh.”
“Terus yang katamu ada kerjaan di Jakarta
itu apa?”
“Ada seminar bisnis. Aku rajin ikut
begituan loh, Ya.” Vino menggodaku dengan membanggakan dirinya sendiri.
“Lalu David bilang kalau perusahaannya
merger dengan salah satu perusahaan garmen asal Surabaya. Aku diundang di soft
launch-nya. Aku tidak punya pikiran sama sekali kalo ada kamu. Aku baru
tahu saat kamu kasih speech di ceremonial tadi.”
“Vino. I can’t say anything.”
“Kenapa jadi kamu yang sok inggris?”
Aku mendorong bahu lelaki itu sambil tertawa.
Ia tampak berbeda. Kemeja warna biru yang dimasukkan ke dalam celana formal
warna hitam berpadu dengan sepatu pantofel yang juga berwarna hitam. Lengan
kemejanya dilipat sampai siku. Vino semakin menawan.
“Bagiku semesta itu aneh, bukan luar
biasa.”
Kami berdua tertawa.
cvKami berpisah di lobby. Sopir sudah
menungguku dan Vino sudah ditunggu David, temannya itu. Ia berjanji akan mampir
di apartemenku sebelum kembali pulang ke Jogja. Waktunya di Jakarta hanya tersisa
dua hari. Katanya, ia harus benar-benar memanfaatkan waktunya di sini
bersamaku.
Sepulang dari kantor aku segera
membersihkan diri dan meletakkan barang-barang yang kemarin belum sempat
kurapikan. Tanganku berhenti pada sebuah pigura yang masih berada dalam box. Pigura
berisi fotoku dan Kak Fikri ini kuambil dari kamarnya saat aku ke Jogja waktu
itu. Aku menatap pigura itu dalam-dalam. Aku usap foto kami beberapa kali.
“Kak, Rayya Ikhlas. Izinkan Rayya membuka
hati untuk orang lain ya, Kak. Tapi Rayya belum tahu orangnya siapa. Oh ya,
Kak. Kak Fikri ingat Vino ndak? Lelaki yang pernah Rayya ceritakan dulu.
Dia datang lagi, Kak. Tapi Rayya berharap orang yang mampu membuka hati Rayya
bukanlah Vino.”
Aku berbicara kepada pigura itu. Lalu
kupeluknya erat. Memang merindukan orang yang sudah tiada itu sakit dan terlampau
berat.
Kesibukanku di kantor dua hari ini sangat
menyita waktu. Ajakan Vino untuk bertemu di malam harinya sengaja aku tolak. Dua
hari ini aku pulang malam dari kantor. Aku ingin istirahat saja untuk melepas lelah.
Pesan terakhir dari Vino kemudian kubalas dengan panggilan telepon.
“Keretamu jam berapa?”
“Jam satu malam ini. Beneran ga bisa
ketemu nih?”
“Save trip, ya. Semoga lain kali
bisa ketemu lagi.”
Vino sangat paham jika aku berkata tidak
maka kenyataannya adalah tidak. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Padahal
aku sangat paham jika ia benar-benar ingin menemuiku. Tiba-tiba aku berpikir,
Vino benar-benar memahamiku atau justru merasa terpaksa memahami?
Senin, 15 Januari 2024
Novel - All About You (Bagian 3)
Bagian 3
Harapan Baru
Akhir bulan dan laporan bulanan harus
segera kuselesaikan. Sepertinya hari ini aku akan lembur. Aku ingin
menyelesaikan semuanya agar besok aku bisa bersantai di rumah. Liburan akhir
tahun ini benar-benar harus bisa kumanfaatkan dengan baik. Satu bulan ini
benar-benar kuhabiskan untuk bekerja. Otakku dipaksa berpikir keras. Sudah
seharusnya aku meletakkannya sebentar agar nantinya bisa fresh kembali.
Aku sengaja menghabiskan waktuku untuk
bekerja. Alih-alih agar aku melupakan segala kepenatan yang selama ini ada
dalam hidupku. Pasca kepulanganku dari Jogja bulan lalu, aku ingin bersumpah
untuk memulai hidup baru. Beberapa kali panggilan dari Vino tidak kuangkat. Pun
dengan puluhan pesan yang mendarat di ponselku. Bagiku Vino adalah masa lalu.
Pun dengan Kak Fikri. Ia sudah berada jauh di atas awan. Aku harus memulai
hidup baru.
“Rayya, dipanggil Pak Surya, tuh.” Rima
menghampiri mejaku.
“Ngapain lagi? Bukannya laporan udah kelar
semua ya?
Aku menggerutu sambil menuju ke ruangan
Pak Surya segera.
“Permisi, Bapak.” Aku mengetuk pintu
ruangan Pak Surya. Dengan sekali anggukan ia mengizinkan aku masuk.
“Rayya, saya merasa jika kamu sudah cukup
mampu menghandle semua urusan perusahaan. Bulan depan adalah soft launch branch
kita yang di Jakarta. Saya percaya kamu bisa mengurus semua di sana.”
“Hah? Jakarta, Pak?”
“Ya. Saya harap kamu tidak akan
menolaknya.”
Aku bingung harus menjawab apa. Aku senang
karena ini merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam karirku. Selain itu,
merasakan atmosfer Jakarta pasti akan memberikan warna baru dan mungkin menjadi
semacam short escape dari seluruh pelik yang pernah kurasa. Namun,
dengan aku pindah ke Jakarta artinya aku akan meninggalkan Ayah dan Bunda. Aku
harus meminta izin kepada mereka.
“Boleh saya kabari nanti, Pak? Saya harus
membicarakan ini dengan keluarga saya dulu.”
“Ok. Don’t be too late, Ya.”
Aku mengangguk dan mengucapkan permisi.
Rima dan beberapa rekan mendekat ke
mejaku. Mereka sangat ingin tahu maksud Pak Surya memanggilku.
“Jangan-Jangan Pak Surya suka sama Rayya,”
seloroh Fadil.
“Eh ga usah aneh-aneh deh. Pak Surya itu
cocoknya jadi Bokapnya Rayya,” timpal Rima.
“Coba tebak Pak Surya bilang apa?” Aku
tersenyum centil kepada mereka.
“Happy nih kayaknya,” goda Rima.
“Aku mau dipindahkan ke branch baru
kita di Jakarta. Manajer Produksi in our new branch.”
Mereka berteriak tak percaya. Rima dan
Fadil menutup mulut mereka dengan kedua tangan. Sementara yang lain memelukku.
“Congrats, Bes... You deserve
better.”
“Your welcome, Bestiii...” Aku
memeluk Rima.
“Tapi aku belom say yes.”
Seketika itu pelukan Rima ia lepaskan.
“Kenapa? Resek banget sih. Itu kan pencapaian
tertinggi buat kamu. Jakarta woy... Jakarta.”
“Aku harus tetep bilang ke Ayah Bunda dong
ya...”
“Fix anak mama deh kalo mereka ga kasih
izin. Fix ga pengen kamu keren berarti mereka.”
“Enak aja. Udah balik sana.” Aku mendorong
punggung Rima dan yang lain agar mereka kembali ke meja masing-masing
Jamuan makan malam bersama sudah dimulai
saat aku tiba di rumah. Bunda menyuruhku untuk segera mandi dan ganti baju.
Ayah bilang akan menungguku selesai beberes untuk kemudian makan bersama.
“Bund, bulan depan Rayya dipindah ke
Jakarta. Kantor buka cabang di sana. Pak Surya meminta Rayya buat handle semuanya.”
Raut wajah Ayah dan Bunda tampak bahagia.
“Congrats ya, sayang.” Ibu
memelukku.
“Di Jakarta lama dong?” tanya Ayah.
Aku mengangguk. Bunda menatap Ayah dengan
kode yang tidak aku mengerti.
“Bunda sama Ayah bangga atas pencapaianmu.
Tapi kamu harus tahu jika usiamu sekarang sudah seperempat abad. Tahun depan
sudah dua enam kan?”
“Kan masih dua enam, Bund. Belum juga tiga
puluh.” Aku tertawa sembari memasukkan potongan ayam ke mulutku.”
“Teman-temanmu sudah banyak yang menikah
loh, Ya.”
“Ayah... Trust me! Rayya akan
bilang ke Ayah dan Bunda kalau Rayya sudah siap untuk semua.” Aku memegang
tangan Ayah.
“Kamu harus bisa pelan-pelan melupakan
Fikri. Pasti Fikri di sana juga sedih kalau kamu belum bisa move on.
Kasihan dong Fikri bisa-bisa ga tenang di sana.” Bunda mengatakan kepadaku
dengan nada yang membuatku merasa iba.
“Bunda sama Ayah tenang aja. Rayya sudah
ikhlas Kak Fikri pergi. Rayya lagi belajar pelan-pelan buat move on.
Tapi sekarang Rayya lagi pengen fokus kerja. Ayah sama Bunda percaya Rayya,
kan?”
Mereka berdua tersenyum dan mengangguk.
Tawaran Pak Surya benar-benar aku
pertimbangkan. Aku harus menemukan tempat baru untuk upgrading skill. Aku
ingin mengejar segala pencapaian yang pernah aku impikan. Aku ingin selesai
dengan duniaku sendiri sebelum aku memutuskan untuk berbagi dunia dengan orang
lain. Aku memejamkan mata. Kumantapkan hati untuk menerima tawaran Pak Surya. Ya.
Besok aku akan menyampaikan kepada bosku itu bahwa aku siap dipindah ke
Jakarta.
###
Pesawat dengan nomor penerbangan
QR-208 itu akan lepas landas pukul 7:15 pagi ini. Ayah mengantarkanku ke
Bandara Juanda Surabaya bersama Bunda. Di pintu keberangkatan Ayah dan Bunda
bergantian memelukku.
“Sampai Jakarta langsung kabari Bunda ya,
sayang.”
“Om Rio sudah Ayah hubungi. Nanti dia yang
akan jemput kamu di bandara. Langsung aktifkan ponselmu setelah pesawat turun
biar kalau Om Rio telfon jadi gampang.”
Ayah dan Bunda bergantian berpesan. Aku hanya
mengangguk, memeluk mereka, dan menatap mereka haru. Bergegas aku mendorong
koper menuju booth chek-in bagasi. Setelah menerima boarding pass aku berjalan ke
arah tangga menuju gate 1 tempatku menunggu pesawat. Aku masih punya waktu
sekitar empat puluh lima menit sebelum panggilan masuk ke pesawat. Waktu yang
cukup lama ini aku gunakan untuk scrolling media sosial. Tiba-tiba ada
keinginanku untuk membuka blokir akun Vino yang pernah kublok beberapa tahun
silam. Antara ragu dan benar-benar ingin aku menggerakkan layar naik turun. Akhirnya
unblocked.
Setelah itu ada satu panggilan dari Rima.
“Udah di Bandara? Sorry ya ga bisa
nganter. Telat bangun, nih” Suara Rima yang nyaring mengudara.
“Tenang aja. Tinggal nunggu pesawat boarding
aja. Bakal kangen banget nih sama kamu, Bes…”
“Pasti lah. You’ll miss me every day.
Jangan lupa buat telepon aku ya. Awas kalau pura-pura lupa karena udah jadi
anak Jekardah.”
“Iya, Bawel. Rim…”
“Iya…”
“Aku abis unbloked semua akun Vino.”
“Heh? Yakin?”
Aku menggumam.
“Ya, kamu sendiri yang bilang kalau kamu
pengen suasana baru di Jakarta. Dengan buka blokirannya, tuh orang bisa dengan
mudah tau posisi kamu sekarang dimana. Disamperin di Jakarta baru tahu rasa
kamu.”
“Ga akan.”
“Halah. Ga akan gimana? Awas aja ya kalo
kamu ada apa-apa ga usah minta bantuan sama aku.”
“Rima, please.”
Rima menutup telepon. Sepertinya ia sebal
kepadaku yang tidak konsisten ini.
Panggilan boarding baru saja kudengar.
Bergegas aku menuju ke petugas yang mengarahkanku ke garbarata. Di lorong
garbarata ini aku mengambil gambar kemudian aku memasang story di Instagram dengan
narasi: Wait me! Hei, Jakarta. Setelah menemukan kursiku dan merapikan seatbelt,
aku sentuh ikon turn off di layar. Aku ingin tidur selama enam puluh
menit perjalanan ini.
Om Rio, saudara jauh ayahku sudah menunggu
tepat di sebelah pintu keluar terminal 3 Bandara Soetta. Setelah aku mengambil
koper di conveyor belt 10, aku menuju imana yang dipandu oleh Om Rio melalui
telepon. Aku langsung bisa mengenali tubuh tegap dengan kemeja yang tangannya
dipilin ke atas itu karena memang kita sering bertemu.
“Welcome to Jakarta, Ya. How’s
life?” sapa Om Rio.
“Baik, Om. Sehat semua, Om?”
“Every thing’s fine. Apartemen kamu
di daerah Kelapa Gading, ya?”
Aku mengangguk.
Aku berjalan mengikuti Om Rio hingga ke tempat
dimana ia memarkir mobilnya. Setelah itu, ia mengajakku ke rumahnya untuk
bertemu dengan istri dan anaknya sebelum mengantarkan aku ke apartemen di siang
harinya. Melihat suasana Jakarta dari kaca, ada harapan besar dalam hatiku
untuk sebuah masa depan. Suasana baru yang aku impikan benar-benar harus
terwujud selama aku berada di kota ini. Namun, harapan itu tiba-tiba menyingkir
perlahan saat sebuah panggilan mendarat di ponselku. Vino.
Minggu, 14 Januari 2024
Novel - All About You (Bagian 2)
Bagian 2
Kenyataan Pahit
Hamparan rumput hijau dengan batu nisan
berjajar tampak sepanjang mataku. Aku mendorong kursi roda yang diduduki Mama.
Nisa berjalan di sampingku dengan menggandeng Abah. Hari ini kami mengunjungi
makam Kak Fikri. Mama menangis tersedu sejak awal kami datang hingga selesai
berdoa. Cukup lama kami berada di sini hingga Abah mengajak untuk pulang.
Namun, aku tetap ingin tinggal. Aku ingin mengenang segala tentang lelaki itu.
“Rayya boleh di sini sebentar?”
Abah mengangguk. Nisa mendorong kursi roda
Mama disusul dengan Abah yang berjalan di sampingnya. Mereka kembali ke mobil
lebih dulu.
Kupeluk nisan batu bertuliskan nama lelaki
itu. Aku tidak percaya jika ternyata aku kuat sampai aku bisa menapakkan kakiku
ke tempat ini. Ini adalah kali keduaku kemari. Namun, saat pemakaman itu aku
hanya diam di dalam mobil. Aku tidak pernah kuat melangkahkan kaki untuk melihat
bagaimana tubuh itu dikebumikan.
“Kak, Rayya kangen. Rayya kangen Kak
Fikri.”
Aku tidak bisa berkata apapun lagi selain
tangis yang semakin tersedu. Rindu ini benar-benar tidak bisa dihentikan. Pun
tak mampu kudefinisikan. Aku benar-benar kehilangan.
Hampir lima belas menit aku duduk di samping
pusaranya. Aku memutuskan untuk kembali ke mobil saat Nisa meneleponku.
“Apa?”
Bergegas aku berlari menuju mobil saat
kudengar Nisa mengatakan jika Mama tak sadarkan diri ketika hendak masuk ke
mobil. Nisa bilang kita harus segera ke rumah sakit.
“Tidak…”
Aku menutup mulut dan memundurkan tubuhku
ke dinding saat dokter mengatakan jika Mama tidak tertolong. Nisa berteriak
memeluk jasad itu. Abah terpaku di samping ranjang. Aku jatuh terduduk lemas.
Tidak mungkin. Hatiku benar-benar berontak.
Abah menghampiriku dan merangkulku untuk
mendekat ke jasad Mama. Kakiku tidak cukup kuat untuk menopang badanku yang
semakin lemas. Kuusap wajah dan kukecup keningnya. Aku berbisik di telinganya.
“Ma, Bangun. Kita belum jalan-jalan ke
Taman Sari seperti yang Mama pernah minta ke Rayya dulu. Kita belum minum Es
Dawet Mbah Hari di Bringharjo, Ma. Mama bangun, Ma…” Tangisku pecah. Nisa memelukku.
Tuhan, mengapa takdir ini begitu sakit.
###
Hari ini adalah hari ketujuh kepergian
Mama. Esok adalah kepulanganku kembali ke Surabaya. Ketika memesan tiket kereta,
aku sudah merencanakan untuk menginap selama satu minggu di Kota Gede. Ternyata
waktu seminggu itu adalah waktu yang benar-benar disiapkan semesta untukku
melepas kepergian Mama. Aku benar-benar terpukul. Dua kali kedatanganku ke
Jogja adalah dua hari terkelam dalam hidupku. Apa yang direncanakan Tuhan
sehingga aku harus merasakan kehilangan saat aku mendatangi kota ini.
“Jadi berangkat besok, Nduk?” tanya
Abah saat aku berkemas di dalam kamar.
Aku mengangguk.
“Abah akan selalu merindukanmu, Nduk.
Kamu sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, bagian dari keluarga ini.”
Lelaki tua itu memelukku erat. Aku paham
betul bagaimana ia telah menahan rasa sakit setelah kepergian anak
laki-lakinya. Pun sekarang setelah kepergian istrinya. Namun, aku juga paham
jika lelaki tua di depanku ini adalah sosok terkuat yang pernah aku temui.
“Jaga diri kamu baik-baik ya, Nduk.
Jangan pernah takut untuk datang ke Jogja.”
“Nggih, Abah.”
Aku tidak mampu berkata banyak. Tangisku
cukup menjawab betapa hatiku sangat berat menghadapi takdir yang begitu pekat.
“Abah juga jaga kesehatan, nggih.
Kalau ada apa-apa Abah telepon Rayya.”
“Tenang saja, Nduk. Abah tidak
serapuh itu. Abah menyerahkan semua kepada Gusti Allah. Kita semua cuma lakon
yang siap kapanpun diambil lagi oleh-Nya.”
Aku memegang erat tangan keriput itu.
“Terimakasih telah menganggap Rayya
sebagai bagian dari keluarga ini, Bah.”
Aku mencium kedua tangan yang tampak
semakin keriput itu.
Abah meninggalkanku sendirian di dalam
kamar. Aku meletakkan pakaian yang sudah kulipat ke dalam koper. Setelah itu,
kuambil jaket yang kutaruh di dinding. Aku teringat sesuatu. Kumasukkan
tanganku ke dalam saku jaket itu dan kutemukan kertas yang diselipkan Vino
untukku. Sebaris nomor telepon.
Aku mengambil ponsel dan menyentuh
layarnya untuk menuliskan sebaris nomor itu. Ragu aku memencet tombol panggil.
Namun, akhirnya kupencet juga. Beberapa detik nada dering mengalun. Lalu
kuputus panggilan itu. Aku memutuskan untuk mengirim pesan saja.
Ini
aku, Rayya. Maaf baru menghubungimu sekarang. Bisa ketemu nanti malam jam 7 di
Pendopo Lawas?
Hanya
beberapa detik pesanku dibalas.
Sure.
Sampai ketemu nanti.
Nisa
mengantarku dulu ke Pendopo Lawas. Ia akan pergi dengan temannya. Namun,
sebelum pergi ia temani aku dulu duduk sebentar sambil menunggu Vino datang.
Laki-laki
itu datang dengan jaket hoodie warna abu dan warna jeans senada. Aku
melambaikan tangan saat ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia lantas
menghampiriku dengan senyum.
“Hei.
Udah lama nunggu?”
“Enggak.
Masih sebentar kok. Vin, kenalin ini Nisa, adiknya Kak Fikri.”
“Hai.
Nisa.”
“Vino.
Nice to meet you.”
Nisa
membalasnya dengan senyum.
“Ya
udah, Mbak. Kak Vino kan udah datang. Nisa pergi dulu ya. Nanti Mbak Rayya
telepon Nisa aja kalo udah mau pulang.”
“Makasih
ya, Nis.”
Nisa
tersenyum, memelukku sebentar lalu pergi.
Aku
memesan secangkir cappuccino sedangkan Vino memesan kopi hitam. Setelah meneguk
cangkir masing-masing, aku mulai berbicara. Aku merasa jika aku membutuhkan
tempat untuk meluapkan tangis. Menyandarkan bahuku ke Nisa, memeluk erat Abah
atau menelopon Bunda dan Ayah ternyata belum cukup membuatku kuat untuk menghadapi
takdir yang terlalu menyakitkan ini.
“Mama
pergi, Vin. Mama meninggal sehari setelah kedatanganku.”
“My
God! Rayya. Are you okay?”
“Aku
ga cukup kuat untuk merasa baik-baik saja, Vin. Dunia ini terlalu jahat buatku.
Takdir ini terlalu sakit. Kenapa setiap kali kedatanganku ke sini setiap itu
pula harus ada yang pergi? Seburuk itukah aku?”
Aku
tidak mampu lagi mengontrol tangis. Vino bangkit dan memelukku.
“Stop
saying that it’s your fault, Ya. Ini takdir. Kita ga akan pernah bisa
melawan takdir.”
Pelukan
itu menjadi tempat kutumpahkan segala penat dan sesal di dada. Tidak ada suara,
hanya isak tangisku yang tak bisa berhenti. Seketika itu aku sadar pada siapa
kubersandar. Aku melepas pelukan itu dan menangkupkan kedua tanganku ke wajah.
“Tapi
takdir ini terlalu sakit, Vin. Orang-orang yang aku sayangi selalu pergi ketika
aku justru ingin menjemput bahagia bersama mereka.”
“Ya, trust me! Semesta selalu baik
dengan rencananya.”
“Apakah takdir ini yang kamu sebut baik,
Vin? Tidak.”
Ia meletakkan kedua tanganku di atas meja.
Dipegangnya tanganku erat. Bola matanya berhenti tepat di depan mataku.
“Rayya, believe me! It will over soon.”
Aku tidak menjawab.
“Aku pulang ke Surabaya besok. Thanks ya
udah nemenin aku selama di Jogja.”
“Keretamu jam berapa besok?”
“Jam 8. Aku diantar Nisa ke stasiun.”
“Aku temenin kamu sampai keretamu jalan,
ya?”
“Enggak perlu, Vin. Thanks so much.”
Sepertinya Vino tahu jika aku butuh waktu
untuk sendiri. Meski ia berusaha mendekatiku, aku merasa jika ia paham mengapa
aku seperti ingin kita berjarak.
“Hubungi aku kalo kamu ada perlu apa-apa,
Ya. It’s fine if I can help you.”
“Termasuk kalo aku butuh temen buat ke
Aussie?” Tiba-tiba kalimat yang meluncur dari mulutku membuat suasana mencair.
“Sure. Itu pasti, Ya.”
Vino menatapku lekat. Terimakasih atas
keteduhan mata itu, Vin.
Sabtu, 13 Januari 2024
Novel - All About You (Bagian 1)
Bagian 1
Menjemput Rindu
Deretan rumah penduduk memenuhi sepanjang
mataku saat melihat ke arah jendela. Pagi ini Argo Wilis membawaku dari Stasiun
Gubeng Surabaya menuju Jogja. Pukul dua belas tepat nanti aku akan sampai di
Stasiun Tugu. Kali ini adalah kali kedua aku pergi ke kota pelajar itu
pascakelulusanku.
Perjalananku kali ini membutuhkan kekuatan
yang lebih. Aku sempat tidak ingin menginjakkan kakiku kembali ke Jogja. Aku
marah pada takdir yang telah merenggut kebahagiaanku di kota itu. Namun,
perubahan harus muncul dari diriku sendiri. Aku tidak ingin hatiku tersakiti
terlalu lama. Aku ingin bernafas lega.
Namaku Rayya. Aku lulus dari salah satu
universitas negeri di Jogjakarta dua tahun silam. Setelah wisuda, aku hanya
sekali kembali ke kota itu untuk pertemuan dua keluarga. Sekarang aku pergi ke
sana untuk sebuah tujuan yang berbeda.
Kondektur memberi informasi jika kereta
akan berhenti di stasiun Jombang. Aku merapikan jaketku dan memasang headset.
Perjalanan ini masih jauh. Aku ingin tidur sebentar.
Suara laki-laki membangunkanku.
“Permisi, Mbak. Kursi saya 18 B.”
Dengan mata yang masih terpejam aku
mengangguk dan membalasnya, “Silakan, Mas.”
Lima belas menit berlalu dan aku terbangun
untuk mengambil air mineral di dalam tas. Aku terperanjat saat melihat wajah
lelaki yang duduk sebelahku seperti tidak asing. Ia sedang memejamkan mata.
Sepertinya ia tertidur pulas.
Air mineral yang kuteguk seharusnya segar.
Namun, ia seperti belum mampu menghapus dahagaku. Aku mencoba untuk memejamkan
mata sekali lagi tapi ia tidak mau terpejam. Kuedarkan pandangan ke luar
jendela. Hamparan sawah nan hijau dan gunung menjulang nun jauh di sana
menemani hatiku yang berkecamuk. Lelaki itu, lelaki yang sedang duduk di
sebelahku seketika itu juga membuat hatiku seperti diguncang hebat.
“Rayya,” panggilnya sesaat setelah ia
terbangun.
“Kamu Rayya, kan?” Ia bertanya sekali
lagi.
“Vino? Ini kamu?”
Aku mencoba menutupi kegugupannku dengan
senyum.
Lelaki itu memakai kaus berwarna hijau yang
dibalut dengan kemeja flannel warna serupa dengan kancing yang dibiarkan
terbuka. Ia memakai topi chrocet warna abu dan earbud di telinga.
Style celana jeans dan sepatu converse warna hitam putih ini
masih sama seperti dulu, saat langkah kaki itu menemaniku menghapus rindu.
“Rayya, apa kabar? Aku gak percaya bisa
ketemu kamu di sini. Mau kemana?”
“Jogja. Kamu apa kabar, Vin?”
“As what you see.”
Ia tersenyum dan senyumnya masih menawan.
Shit. Kenapa aku harus
bertemu dengannya lagi. Aku kira semua rasa itu sudah selesai. Namun, kenapa
hatiku berdebar. Mata itu, bibir itu, sosok itu dengan sekejap mengingatkanku
pada jutaan kenangan yang telah lama terkubur dalam.
“Kamu mau kemana, Vin?”
“Sama. Aku tinggal di Jogja sekarang.
Kamu? Gimana kuliahmu di Jogja? Udah selesai ya?”
Aku tersentak. Kenapa ia bisa tahu jika
aku kuliah di Jogja? Bukankah kita berpisah
saat tahun pertama SMA?
“Kaget? Lupa ya kalau aku sempat follow
semua sosmedmu sebelum ada yang blokir aku tiba-tiba.” Ia tertawa.
Aku tersipu. Aku ingat saat itu tahun
pertamaku kuliah. Aku sangat terganggu dengan kehadirannya di dunia maya.
Kuputuskan untuk memblokir semua akun yang terhubung dengannya. Aku pikir kita
berdua sudah selesai.
“Kamu gimana sekarang, Vin? Lagi sibuk
apa?”
Aku bertanya untuk mencairkan suasana.
“Pengangguran.” Tawanya renyah.
Aku memicingkan mata lalu membalasnya
dengan senyum.
Kereta melaju dengan anganku yang semakin
tak tentu arah. Aku mengingat kembali tujuanku pergi ke Jogja adalah untuk
menemui kenangan tentangmu, lelaki yang selama empat tahun menemaniku. Namun,
dalam perjalananku menemuimu mengapa harus kutemui dirinya, lelaki yang pernah
mengisi hatiku saat wangi remaja baru saja kuhirup. Meski hanya satu tahun tapi
kenangan itu masih membekas jelas, terlalu indah.
Aku berdiri tepat ketika kereta berhenti.
Aku bermaksud mengambil koper yang kutaruh di rak bagasi. Ia langsung berdiri
untuk membantuku.
“Ada bagasi? Wait. Aku bantu.”
Aku menunjukkan yang mana koperku dan
mengucapkan terima kasih saat koper sudah di tangan. Ponselku berbunyi. Sebuah
panggilan dari Nisa.
Aku menerima panggilan itu sembari
berjalan ke luar kereta.
“Keretanya baru berhenti. Kamu ndak
usah khawatir. Nanti saya langsung ke rumah ya. Siap. Akan saya kabari nanti.”
Lelaki itu masih di belakangku saat aku
menutup telepon. Ia kemudian mengajakku duduk di deretan pedagang kaki lima di
dalam stasiun. Aku menyelonjorkan kaki sambil memainkan gawai. Sebotol minuman
isotonik disodorkannya kepadaku.
“Terimakasih,” jawabku.
“Janjian sama temen?”
“Enggak. Dia ga bisa jemput. Jadi aku
pakai grab nanti ke sana.”
“Bareng sama aku aja. Tujuanmu kemana?”
“Kota Gede.”
“Buru-buru atau gimana?”
“Enggak juga, sih. Santai aja.”
“Ikut aku dulu, yuk! Jalan-jalan bentar di
Malioboro. Mau?”
Aku terhenyak. Aneh sekali. Setelah
bertahun-tahun berpisah dan tidak pernah bertemu atau berhubungan sekalipun
dengan mudahnya ia mengajakku jalan. Aku ingin menolak tapi hatiku berontak.
Sepertinya ada rindu yang mengetuk hatiku.
Setelah membantuku menitipkan koper di
stasiun, ia mengajakku berjalan kaki menyusuri lorong stasiun. Kami
menyeberangi rel kereta api menuju arah pedestrian. Lelaki itu sama seperti
dulu. Ia selalu ceria dengan lelucon konyol yang dilemparkannya kepadaku.
Praktis, aku tidak merasakan lelah sama sekali meski jarak stasiun dan jalan
Malioboro cukup memakan waktu dengan berjalan kaki.
“Makan, yuk! Kamu sudah pernah coba nasi
gudeg di belakang Pasar Bringharjo?”
Aku menggeleng.
“Yuk!”
Sepiring gudeng menggugah selera sudah di
tangan. Perpaduan sayur nangka muda, koyor dan telur rebus berbumbu membuat
perutku meronta. Perjalanan kereta yang hampir lima jam ini membuat perutku
lapar.
“Oh ya, katanya kamu sekarang tinggal di
Jogja. Tinggal Dimana? Udah lama?”
Aku tidak tahan bersamanya tanpa suara.
“Masih setahun ini. Aku tinggal di daerah Sosrowijayan.”
“Oh,” gumamku.
“Kamu sekarang kerja di Surabaya?”
Aku mengangguk. Ia kemudian bercerita.
Seperti memahami segala pertanyaan yang masih berputar di otakku.
“Setahun ini aku sama temenku buka usaha
kecil-kecilan di daerah Sosrowijayan. Sablon kaos dan sticker gitu. Beberapa
hari yang lalu aku pulang ke Jombang buat jenguk ibu.”
“Eh, Ibu apa kabar? Lama ya ga denger
suara ibu.”
“Baik. Kangen kamu katanya.”
Aku tertawa. Tidak mungkin. Bertemu dengan
perempuan yang ia panggil ibu itu saja aku tidak pernah. Hanya mengobrol via
telepon. Dulu, masih jaman wartel lelaki itu selalu memaksaku mengobrol dengan
ibunya. Ah, lelaki itu memang pintar membuatku tersipu.
“Sebenarnya tiap pulang ke Jombang aku ga
pernah naik kereta loh, Ya.”
“Naik apa? Vespa?” Aku tertawa. Spontan
aku menyebut kata vespa karena memang sejak SMP Vino menyukai jenis kendaraan
itu.’
“Bener banget. Ga tau kenapa kemaren males
aja. Jadi berangkat sama balik pesen tiket kereta sekalian. Ternyata semua ini
ulah semesta ya, Ya. Kenapa bisa banget aku pesen tiket yang pas kamu juga ada di
sana. Eh dapet bonus kursinya kita sebelahan. Semesta emang baik banget
ngaturnya.” Kami berdua tertawa lepas. Lepas sekali.
“Oh ya, kamu udah nikah?”
Pertanyaannya membuatku kaget. Segera
kuteguk botol air mineral di sebelahku.
“Belum.” Aku menjawab singkat.
Setelah itu, tidak ada suara satupun. Aku
melanjutkan makan hingga sendok terakhir. Setelah mengelap mulutku dengan tisu,
aku memutuskan untuk menceritakan tujuan kedatanganku ke Jogja.
“Waktu kuliah, aku dekat sama kakak tingkat.
Dia asli Jogja. Setelah wisuda, dia memutuskan untuk melamarku. Keluarganya
pergi ke Surabaya. Beberapa bulan setelah itu, keluargaku ke Jogja untuk
membahas lebih jauh rencana pernikahan kami. Tapi takdir berkata lain. Saat ia
menjemput kami di stasiun, mobilnya mengalami kecelakaan. Beberapa jam
setelahnya, ia dinyatakan meninggal.”
Vino diam. Ia menatapku tajam.
“Aku marah pada kenyataan. Aku datang
untuk menjemput masa depan tapi Tuhan justru mengambilnya duluan. Ironis ya.
Pasca kejadian itu, aku ga pernah mau pergi ke Jogja. Jogja itu udah kayak
mimpi buruk buat aku.” Aku tersenyum kecut.
“I am sorry to hear that. Lalu
sekarang kamu ke sini? Udah kuat?”
“Harus.” Aku tersenyum.
“Mamanya Kak Fikri sakit. Beliau pengen
ketemu aku. Kata Nisa, Mama cariin aku, panggil-panggil aku terus. Yang tadi
telepon aku itu Nisa, adiknya Kak Fikri. Aku harus kuat buat ketemu Mama. Mama
butuh banget aku di sana. Aku ga boleh egois. Aku harus bisa mengalahkan sakit
hatiku pada keadaan. Mama sudah kehilangan Kak Fikri, anak laki-laki
satu-satunya. Bagi Mama, melihatku sama dengan melihat Kak Fikri,” lanjutku.
“Oh ya, kamu sendiri gimana? Anak kamu
udah kelas berapa sekarang?”
Pertanyaan yang seperti tercekat di
tenggorokan itu akhirnya keluar. Aku ingat bagaimana kami berpisah. Kami bersama
saat kelas tiga SMP. Kemudian kami lulus dan berbeda SMA. Saat itu, aku
mendapat kabar jika ia harus berhenti sekolah karena suatu hal yang membuatku
membencinya.
“We are divorced. Cuma dua tahun
kami menikah, Ya. Kami cerai setelah anak kami meninggal karena suatu penyakit.
Aku belum punya cukup biaya untuk pengobatannya.”
“Oh.” Aku tidak berkomentar apapun.
“Siapa sih Ya yang mau punya suami
pengangguran, enggak well-educated. Cuma lulusan SMP dan ga punya
kerjaan tetap. Ya udah kalau perceraian itu yang terbaik. Dia udah nikah lagi
sekarang. Sedangkan aku masih gini-gini aja.” Vino tertawa.
“Pasca perceraian itu. Aku ke Jogja.
Tujuanku mau ketemu kamu. Itulah kenapa aku resek ke kamu via sosmed. Eh,
tahu-tahu aku diblok.”
Kami berdua tertawa.
“Setelah itu ada yang ngajak aku ke
Aussie. Aku kerja di sana. Cuma kerja kasar, sih. Tapi cukup buat kirim uang
bulanan ke Ibu dan makan sehari-hari.”
“Oh, jadi itu kenapa dari tadi ngomongnya
pakai inggris-inggris terus.” Aku mendorong bahunya. “Keren dong ya udah ke
luar negeri. Naik pesawat. Aku aja masih belom pernah ke luar negeri,”
lanjutku.
“Mau ke luar negeri? Sama aku? Yuk!”
Aku mendorong bahunya sekali lagi.
“Main ke toko, Yuk! Aku kenalin kamu ke
temen-temen aku. Mau?” ajaknya.
“Boleh.”
###
“Hallo. Nisa, saya sampai rumah sepertinya
sore. Saya masih ketemu temen. Enggak usah. Nanti saya balik ke stasiun lagi.
Koper masih di stasiun. Ndak usah repot-repot, Nis. Oh gitu.. Ya udah deh.
Nanti saya kabari kalau sudah di stasiun.” Panggilan dari Nisa aku tutup.
Kuedarkan mataku ke sekeliling. Toko yang
bagiku seperti sebuah galeri ini cukup artistik. Bangunannya berlantai dua dan
cukup luas. Di lantai bawah, ruang depan dan belakang disekat dengan dinding
kaca. Pengunjung bisa melihat display kaus di ruang depan dan proses
sablon kaus di ruang belakang dapat dilihat dari dinding kaca itu.
“Ke atas, Yuk!” ajak Vino.
Ruangan di atas dibagi beberapa sekat.
Dari arah tangga, pengunjung bisa melihat berbagai kegiatan mulai dari cutting
sticker hingga jadi. Ada semacam balkon yang berisi meja kursi dengan hiasan
lampu artistik di atasnya. Lebih ke dalam lagi, ada ruangan-ruangan kecil dan
kamar mandi. Sepertinya ruangan itu adalah tempat istirahat untuk karyawan.
“Kamu tinggal di sini?” tanyaku saat
memasuki ruangan persegi itu. Ada kasur lantai dan sebuah lemari kayu. Ada meja
kecil dan laptop di atasnya.
Vino mengangguk.
“Ya bisa dibilang aku dan satu temanku ini
penanam saham utama. Jadi kami berdua berhak tinggal di sini.”
“Oh, CEO Perusahaan Sablon sepertinya.”
Aku tertawa. “Bercanda, Vin.”
“Tidak apa-apa, Ya. Paling tidak sekarang
aku punya modal untuk bisa aku banggakan di depan orang lain. Dulu, siapa yang
mau punya temen kayak aku. SMA harus putus sekolah karena menghamili anak
orang. Menikah dan diberi cobaan dengan penyakit yang diderita anakku, Ya.
Anakku cerebral palsy. Hanya bertahan dua tahun lalu meninggal. Aku bekerja
serabutan dengan hanya mengandalkan ijazah SMP. Lebih ironis mana hidupku sama
hidupmu, Ya?” Vino tetap tersenyum. Aku tahu senyumnya adalah satu-satunya alat
untuk membuatnya bertahan dengan segala keadaan.
Vino, lelaki itu. Kami satu SMP. Ibunya
menitipkannya di rumah tantenya di Surabaya. Ayahnya sudah berpulang saat ia
TK. Hidupnya sudah berat. Masa sekolah dasarnya ia gunakan untuk membantu
ibunya berjualan di pasar. Lelaki itu telah kenyang asam garam kehidupan di
usianya yang masih belia. Maka tidak heran jika masa SMP daya pikirnya sudah
jauh di atas usia sebayanya. Kami bersama saat kelas tiga SMP. Bukan pacaran
tapi lebih ke sahabat dekat. Saat SMA, kami masih di kota yang sama tapi
berbeda sekolah. Disitulah kebersamaan kami berkurang hingga akhirnya aku mendengar
kabar itu. Kabar yang benar-benar membuatku muak jika aku pernah bersahabat dan
menaruh rasa kepadanya.
“Duduk, Ya. Aku ambilkan minum.”
Ia mengambil sebotol air mineral dingin
dari lemari pendingin yang berada di dekat pintu balkon. Dari balkon tersebut
ada tangga luar yang terhubung dengan teras toko. Jadi pengunjung bisa
menikmati pemandangan dari atas balkon dengan menaiki dua tangga, dari dalam
dan luar toko. Biasanya pengunjung menunggu pesanan dengan duduk di sana atau
sekadar duduk santai menikmati langit sore Jogja.
“Nanti aku antar ke stasiun ya, Ya. Nisa
jemput kamu jam berapa?”
“Jam 4 katanya.”
“Mau naik vespa? Aku belum punya mobil,
Ya.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
###
“Mbak Rayya…”
Nisa memanggil dan melambaikan tangan ke
arahku. Bergegas aku menuju perempuan berkerudung warna salem yang berdiri di
sebelah Honda Brio berwarna abu. Kutengok sebentar lelaki di sebelahku ini dan
kujabat tangannya.
“Nice to meet you, Vin. Semoga kita
bisa bertemu kembali.”
“Pasti, Ya. Semesta akan mengatur
segalanya.” Ia menjabat tanganku erat. Diselipkannya kertas kecil di sana.
Sebaris nomor telepon.
Aku memeluk Nisa. Ia sudah kuanggap
seperti adikku sendiri. Takdirku yang menjadi anak tunggal membuatku tidak
mengerti bagaimana rasanya punya kakak dan adik. Dari Kak Fikri dan Nisa aku
mampu merasakan itu semua. Kak Fikri dan Nisa adalah dua bersaudara. Bagi
keluarga mereka, aku seperti anak tengah. Empat tahun bersama kak Fikri adalah
empat tahun terindah aku bersama keuarga itu.
“Teman kuliah, Mbak?” tanya Nisa.
“Bukan. Teman SMP. Ketemu di kereta.
Kebetulan tinggal di Jogja sekarang. Semuanya baik-baik saja kan, Nis?”
“Seperti yang selama ini Nisa ceritakan,
Mbak. Mama benar-benar terpukul. Abah sudah tidak tahu lagi harus membawa Mama
berobat kemana. Terkadang Mama bisa baik banget. Kadang bisa marah-marah ndak
jelas dan suka lempar-lempar barang di kamar. Beberapa hari ini Mama cuma bisa
berbaring di ranjang. Mama sering tidur. Dalam tidurnya, Mama suka mengigau.
Dan nama yang sering ia sebut dalam tidurnya hanya nama Mbak Rayya.”
Aku terpukul. Aku tahu betapa Mama sangat
menginginkan pernikahan ini. Kata Mama, memiliki aku sebagai menantunya adalah
anugerah. Aku tak tahu apa alasannya. Menurutku, aku adalah perempuan biasa dan
sikapku juga biasa. Namun, mereka sangat baik kepadaku. Pun dengan Kak Fikri,
Bunda dan Ayah sangat mencintai Kak Fikri. Mereka sangat percaya jika Kak Fikri
adalah lelaki yang tepat untukku.
Mobil masuk ke dalam pagar kayu berwarna
cokelat. Di dalam pagar itu, halaman berumput tampak luas. Sebuah bangunan kayu
jati berbentuk joglo dengan arsitektur jawa kuno berdiri kokoh di tengah
halaman itu. Mbok Darmi, perempuan paruh baya yang mengabdi di rumah ini
menghampiri kami yang baru saja turun dari mobil.
“Mbak Rayya, apa kabar? Sudah lama kita
tidak bertemu nggih, Mbak,” sapa Mbok Darmi.
“Nggih, Mbok. Sehat, Mbok?”
“Alhamdulillah sehat, Mbak.”
Mbok Darmi mengangkat koperku ke dalam.
Nisa menmpersilakanku masuk ke dalam rumah. Silakan istirahat dulu, Mbak.
Bersih-bersih dulu. Sambil nunggu Abah pulang. Nanti jam makan malam kita
ketemu di ruang makan ya. Baru nanti kita ke kamarnya Mama.
Aku mengangguk. Nisa membawaku ke kamar
ini. Ini adalah kamar milik Kak Fikri. Membuka pintunya, dadaku terisak. Ada
udara yang menguar masuk menerobos relung hatiku yang paling dalam. Kebersamaan
selama empat tahun itu tidaklah sebentar. Kuhampiri ranjang kayu dengan sprei
putih itu. Kuambil sebuah pigura kecil di atas nakas. Ada foto kami di dalamnya,
saat kami berdua sedang menikmati kokohnya Candi Prambaban. Air mataku menets.
Aku ingat bagaimana Kak Fikri berjanji kepadaku untuk segera meminangku selepas
aku lulus kuliah. Katanya, cintanya terlalu kokoh seperti kokohnya candi. Aku
tersenyum. Namun, senyum itu tak mampu melawan tangisku yang semakin menjadi.
Aku rindu. Rindu yang teramat sendu.
###
“Sehat, Nduk?”
Abah berdiri menyambutku yang baru saja
keluar kamar.
“Sae, Bah. Njenengan?”
“Apik. Lungguh, Nduk!”
Abah mempersilakan aku duduk.
“Keluarga kabeh sehat yo, Nduk?”
“Nggih, Bah. Alhamdulillah.”
“Silakan dimakan, Mbak. Kita ke kamar Mama
setelah ini,” pinta Nisa.
Ruangan itu harum. Mama suka meletakkan aroma
therapy dengan wangi mawar di ujung kamar. Mama tidur pulas. Nisa
membangunkannya karena sudah waktunya makan.
“Ma, bangun, Yuk! Makan dulu, ya. Lihat
Nisa sama siapa?”
Mama membuka mata. Nisa membantunya duduk
bersandar dengan bantal di belakangnya.
“Rayya… Ini kamu, Nduk?”
“Nggih, Ma. Mama sehat?”
Aku tak kuasa membendung air mata. Mama
memelukku erat. Hangat yang kurasakan semakin membuatku teriris. Kerinduan yang
membuncah itu kini melebur jadi satu. Aku seperti melihat senyum Kak Fikri di
antara pelupuk mataku.