Sudah lama ndak bikin review film atau buku. Okey, mari kita mulai kembali! 😊Jadi, liburan lebaran kali ini saya dan suami sepakat untuk mengajak bayi kami yang sudah berusia 7 tahun untuk masuk gedung bioskop. Padahal, sebelumnya kami sudah sepakat bahwa tidak akan pernah mengizinkan anak kami nonton bioskop sebelum berusia 17 tahun. Kali ini kami mencuri start lebih awal hanya karena “film Jumbo”. Setelah liat cuplikan film Jumbo yang wira-wiri di feed IG dan short Yutub, maka saya memutuskan untuk “harus nonton” film ini. Tujuan awal kami adalah pengen kasih “pelajaran” dan sebagai bahan diskusi kami bertiga. Secara bayi 7 tahun kami ini sudah mulai bisa diajak discuss mana yang baik dan buruk. FYI, bayi 7 tahun kami ini bisa dikatakan “sering” terlibat sebagai pelaku bullying. Entah itu di sekolah atau di rumah. Harapan kami, karena benang merah yang kami tangkap saat menonton trailer-nya pertama kali adalah kisah seorang anak yang dirundung dan upaya mewujudkan mimpi maka ini akan jadi bahan diskusi yang pas. Artinya, bagaimana sang tokoh yang notabene adalah seorang anak yang diremehkan itu akhirnya bisa menunjukkan pada dunia bahwa dia mampu. Bagi kami yang mempunyai anak yang dicap sebagai “pelaku bullying” sepertinya akan mendapatkan bahan diskusi yang renyah dengan si anak bahwa ketika kau merundung seseorang maka akan ada satu orang yang bangkit untuk mewujudkan mimpi. So, daripada kamu menjadi pelaku bullying, maka lebih baik kamulah yang berusaha mewujudkan mimpi hebat itu. Okey, fix kami berangkat nonton.
Tapi… Apa yang kami dapatkan setelah nonton Jumbo??? Lebih dari bayangan awal yang memenuhi pikiran kami sebelumnya. Fix, luar biasa! Marvelous! Fantastic!
Intinya, film ini kaya akan konflik. Ternyata, tidak hanya problematika bullying saja. Namun, banyak sekali konflik sosial yang muncul antara lain: penggusuran makam untuk kebutuhan proyek pembangunan, kehadiran Meri – Si Hantu Imut yang makamnya tidak bisa dibongkar sehingga harus menghentikan proyek pembangunan tersebut, keinginan Meri untuk berkumpul lagi bersama arwah kedua orangtuanya, Atta yang kesepian, Nurman dan Mae yang juga tidak memiliki orang tua, Bang Acil yang menuruti apapun perintah pak Kades demi pengobatan kakinya yang luka, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain, kita belajar banyak banget dari film ini. Ada beberapa poin yang bisa kita jadikan pengingat, antara lain: setiap orang itu butuh didengarkan. Kita harus mendengarkan orang lain, jangan hanya mendengarkan diri sendiri. Mendengarkan tidak hanya dengan telinga tapi juga dengan hati. Selanjutnya, setiap orang punya peran. Kadang kita jadi pelaku, kadang kita juga jadi penonton. Setiap peran harus kita jalani dengan sebaik-baiknya. Lalu, kita tidak boleh egois. Don, si Jumbo, sempat “egois” ketika Meri menagih janjinya. Don hanya memikirkan dirinya saja. Itulah yang membuat teman-teman yang selama ini membelanya harus merasa kecewa.
Okey, cukup spoilernya. Hehehe. Sekarang saya bicara dari beberapa sudut pandang, ya. Yang pertama dari sudut pandang saya sebagai seorang ibu dengan anak yang sering dicap sebagai “pelaku bullying”. Ternyata, tokoh Atta suka membully teman-temannya karena imbas hidupnya yang kesepian. Ia butuh teman. Ia harus menghadapi kehidupan yang pelik bersama kakaknya. Ia tak punya orang tua sehingga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan membantu kakaknya bekerja di kios servis elektronik. Ia juga sering dipanggil untuk bersih-bersih rumah tetangganya. Hal ini yang menjadikan sebuah tamparan keras bagi saya. Apakah saya sejauh itu menggadaikan kebersamaan saya dengan anak saya? Sehingga ia kesepian dan harus melampiaskannya kepada teman-temannya? Sebuah introspeksi yang sangat menampar, ya. 😊 Ada satu narasi dari Bang Acil ke Atta yang saya ingat: "Dek, kalo adek capek, adek kesel... Marahnya jangan sama orang lain, ya... Cerita aja sama abang." 😢
Selanjutnya, saya akan bicara dengan sudut pandang seorang alumnus Sastra..Hahaha sok kritikus ya… Ya, kritik ala-ala. Hahaha
Jadi, dari segi alur cerita, film ini pakai alur campuran. Di sebuah sumber disebutkan bahwa alur campuran mengalir layaknya sungai yang bermula dari titik tertinggi, lalu menelusuri peristiwa di masa lalu sebelum kembali bergerak hingga cerita usai. Dalam proses mengisahkan masa lalu, tokoh utama yang sudah diperkenalkan akan memperkenalkan tokoh-tokoh lain selama cerita masih berlangsung dan saat alur kembali ke titik awal. Contoh alur campuran adalah cerita yang dimulai di pertengahan kejadian, lalu bergerak maju atau mundur sesuai kebutuhan cerita. Dalam hal ini, konflik tentang penggusuran lahan oleh pak kades dimuculkan di awal kemudian disambung dengan hadirnya Meri – si hantu imut beserta konflik dengan orangtuanya akibat penggusuran tersebut. Lalu, cerita tentang masa lalu pak kades sebagai penyebab utama ulahnya juga dimuculkan di pertengahan cerita. Kemudian, cerita kembali berlanjut di masa sekarang. Bagus sih, tapi untuk sampai ke anak-anak, sepertinya pesan tentang “penggusuran” ini harus ekstra dijelaskan oleh orangtua karena memang pikiran anak belum sampai sejauh itu. kemudian, jika dilihat dari sisi psikologi, karakter Don yang sering dibully sepertinya sangat haus akan validasi. Ia ingin menunjukkan bahwa ia hebat dengan mementaskan dongeng karya ibunya. Semacam muncul inferiority dalam diri Don ini. Lalu, Buku Dongeng yang selalu dibawa Don kemana saja menjadi semacam semiotika atau simbol kerinduan Don pada kehadiran kedua orangtuanya. Satu lagi, adanya scene saat Atta memberikan makanan pada kucing liar menunjukkan simbol bahwa di sisi lain seorang “pelaku bullying” ada sisi baik yang harus dilihat dan dibanggakan. Dari sisi sosiologi, kampung Seruni menjadi sebuah lingkungan sosial yang penuh dengan problematika. Dalam arti lain, miniatur Indonesia ada di kampung ini. Mulai dengan konflik penggusuran lahan, superiority-nya seorang pak kades sehingga menindas yang lemah, tekanan sosial ekonomi di sebuah keluarga, dan berbagai permasalahan lainnya.
Overall, film ini saya kasih rate 8,5 dari 10. Menjadi sebuah pengalaman pertama yang sangat berkesan buat anak kami. Meski sudah hampir seminggu pasca nonton, anak kami masih sering membahas sikap Don, Atta, dan kisah di dalamnya. Alhamdulillah, ada hasil dari discuss kami. Daaaann….yang bikin saya takjub ini adalah voice actor-nya. Siapa sangka seorang Chicho Jerico, Angga Dwimas Sasongko, dan Ganindra Bimo jadi Mbek alias Kambing milik engkongnya Nurman. Mereka harus riset buwanyak banget hanya demi sebuah karakter “Mbek, Mbeek, dan Mbeeek”.😊
Dan, yang paling juara adalah….. Suara Ariel Noah saat mendongeng. Jadi pengen bobok pules dah... 😍
SAP. SAP. SAP! Ayo nonton, Jumbo!
Kehidupan adalah sebuah keindahan mimpi-mimpi, perwujudan angan serta meluapnya harapan. menjadi sebuah pribadi yang berkarakter adalah awal dari segala macam perwujudan. kehidupan akan terus berjalan, maka bermimpilah. Zendagi Megzara-Life Must Go On.
Cari Blog Ini
Kamis, 10 April 2025
Review "Ala-Ala" buat Film JUMBO Karya Ryan Adriandhy 2025
Langganan:
Postingan (Atom)