Aku melihatnya saat merebahkan tubuhku sejenak di bangku terminal kota Probolinggo. Perjalananku dari kota Situbondo sangat menguras tenaga. Suasana kota Probolinggo yang mendung belum cukup membantuku untuk mengusir lelah ini. Deretan pegunungan berjajar rapi. Tampak terlihat puncak bromo di ujung sana, hitam berselimut kabut sore yang tebal.
Aku harus segera sampai di Surabaya, kota tempatku belajar. Cukup sudah liburan pendekku ini. Aku sangat menikmati hari-hariku di Situbondo. Indah, sungguh sangat indah. Tampak terlihat bus jurusan Surabaya berjajar rapi di seberangku, namun aku masih lelah untuk meneruskan langkahku. Segera kuputuskan untuk bersandar sejenak, menghirup udara sore kota Probolinggo dengan segelas teh hangat pengusir rasa lelah. Kulihat tubuh lemahnya dengan membawa kardus berisi aneka makanan serta berjajar botol bertuliskan “mizone”. Tak kuhiraukan keberadaannya karena memang aku sangat lelah, lelah yang yang teramat sangat. Kuhabiskan seteguk demi seteguk teh hangat itu. Hangatnya mampu mengusir segala lelahku hari ini.
Adzan maghrib berkumandang. Kuurungkan niatku untuk menghampiri bus tujuanku. Segera kuletakkan tas bawaanku di samping Mushollah. “Terima Kasih, Tuhan… Engkau masih memberikan nikmat Maghrib-Mu kepadaku”. Kataku dalam hati. Kuambil air wudhu, membasuh mukaku yang penuh debu dunia ini, membasuh kedua tanganku yang pernah dengan atau tanpa sengaja mengambil hak-hak yang bukan milikku, membasuh sebagian rambutku yang lembab, kedua telingaku yang kerap mendengar suara-suara biadab, serta kaki kanan dan kiriku yang sering kulangkahkan pada jalan yang dimurkai Tuhan.
Tanpa sengaja aku melihat kardus itu diujung sana, dibawah kotak amal mushollah, namun tidak lagi dalam dekapannya. “Lantas, dimana ia…?” kataku lirih. Entah mengapa aku masih mengingatnya, sedangkan tadi aku hanya mengacuhkannya dengan percuma. Subhanallah…. Harus dengan apa lagi aku memujamu, Tuhan. Kulihat sosok itu sedang bersujud di hadapan-Mu, menyembah-Mu dengan kerendahan hati, memuja-Mu dengan bait-bait doa suci. Kualihkan pandanganku. Kurasakan ada basah menjalar di seluruh tubuhku, keringat dingin. Aku takjub dan heran. Dalam kelemahannya ia masih setia kepada-Mu, Tuhan.
Kulangkahkan kakiku menuju kursi panjang di sebelah kantor informasi. Hari semakin malam dan para penumpang semakin berdesakan menunggu bis jurusannya masing-masing. Aku lelah dengan perjalananku. Bus yang kunantikan penuh sesak dengan penumpang. Terpaksa aku menunggu giliran bis berikutnya.
Dalam diam aku masih memikirkan sosok lemah itu, tetap dengan bayangan kotak kardus dalam dekapannya. Bayangannya setia menari dalam imajiku yang lelah. Sekilas kulihat matanya juga lelah, lelah dengan asap dan deru kendaraan, lelah dengan dunia yang memaksanya harus berjalan.
Dalam lamunanku aku tersentak. Sosok itu tak lagi ada dalam imajiku belaka, namun kini nyata dalam pandangan mata. Lengkap dengan kardus berjajarkan botol air mineral serta produk berlabelkan “mizone”.
“Silahkan, mas… Air minumnya. Ada permen dan kacang kulit juga”. Suaranya mampu memekikkan nada dalam hatiku. Astaghfirullah… Tuhan… mengapa Kau harus memberikan cobaan-Mu kepada mahluk lemah-Mu ini? Suaraku tiba-tiba lenyap. Hanya kepalaku yang mengangguk mengiyakan tawarannya serta tanganku yang segera mengambil dua botol air bertuliskan “mizone” dari kardus lusuhnya. Kuambilkan lembar lima puluh ribuan dari celana lusuhku, kuberikan padanya dengan mata yang berair mata. Kuambil sendiri kembalian lembaran itu dari kotak kecil diantara jajaran air minum, kuhitung sendiri lembaran-lembaran itu. Sesekali kudengar suara lemahnya. “Maaf, mas… saya merepotkan panjenengan karena ini”. Aku hanya tersenyum. Hatiku masih menangis melihat keadaanya. Sosok lemah yang masih setia dengan kardus lusuh dalam dekapannya.
Melihatnya menjadikanku teringat beberapa keajaiban yang pernah ada. Seorang Hellen Killer yang tetap setia menulis meski tak lagi ia mampu tuk melihat dan mendengar. Semangatnya tetap melambung hingga ia mendapat berbagai macam penghargaan. Akupun teringat akan seorang Beethoven yang mampu menentramkan hatiku dengan alunan nada yang dirangkainya dengan cinta. Serta seorang Xie Yanhong yang sehari-hari hanya duduk di kursi roda namun ia mampu menaklukkan selat inggris dengan gaya renangnya.
Mungkin sosok lemah yang ada dihadapanku ini tidak seperti Hellen Killer, Beethoven ataupun Xie Yanhong. Namun semangatnya untuk tetap berdiri di atas kelemahannya inilah yang membuatku berkaca-kaca. Perbandingan yang jelas ada. Aku yang memiliki nikmat luar biasa dari Tuhan tetap saja bersikap malas, acuh, dan serakah. Namun ia, dengan kelemahannya tetap setia berusaha menyambung hidupnya kemudian menyerahkan semuanya kepada-Mu, Tuhan.
Bayangannya berlalu dari hadapannku. Segera kumasukkan lembaran-lembaran itu kembali ke saku celanaku. Kuhitung kembali lembar demi lembar. Astaghfirullah, satu lembar terjatuh dalam tasku. Kembalianku lebih. Ini bukan hakku, namun hak sosok lemah itu. Kupandangi sekitarku namun tak kulihat lagi dimana ia. Mataku tetap berputar mengitari setiap ujung terminal namun tetap saja tak kulihat sosok itu. “Tuhan, dimana ia?”. Aku mencarinya di tiap sela-sela bis kota, mengitari terminal yang luasnya hampir tak kumengerti serta menanyakan pada tiap orang yang kutemui. Nihil. Tak kujumpai lagi sosok itu. Aku kembali dalam diam. Aku menyesal kurang teliti mengambil lembaran-lembara itu dari kotal kecilnya. Meski hanya selembar, namun inilah haknya. Hak yang harus ia dapatkan setelah kewajibannya dalam berusaha. Tuhan, sekali lagi dimana ia.
Ternyata Tuhan memberiku jalan. Kulihat tubuh lelaki itu berdiri menyandar pada sebuah taing di sana. Segera kuhampiri ia. Sebentar menceritakan maksudku untuk mendatanginya. Dan perasaan lega aku rasakan ketika mendengar jawabnya. “Alhamdulillah, Terima Kasih, mas…”.
Matanya menyampaikan pesan. Keikhlasan akan jerih payahnya dalam menyambung hidup terpancar dari sana. Aku melihat senyum manis terlintas dalam bibirnya yang hitam, sehitam mulut dunia yang selama ini ia kecap. Aku tak mau berlama-lama di sini. Air mataku masih tak mampu tertahan ketika harus melihat kardus dalam dekapannya itu. Belum selangkah aku beranjak, suarannya kembali hadir. “Sekali lagi Terima kasih, mas... Allah mencatat apa yang panjenengan telah lakukan”. “Amin..”. kataku dalam hati. Sungguh Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya yang beriman. Kulempar senyum manis untuknya. Sambil menganggukkan kepala aku berkata, “Terima kasih kembali, pak..”.
Bis yang akan kutumpangi tak juga muncul. Hari sudah beranjak malam. Sampai kapan aku harus di sini. Esok hari aku harus sudah ada di kampus. Surabaya sudah menungguku dengan sejuta alasannya agar aku terlihat sibuk. Aku tetap setia duduk di deretaan bangku ruang tunggu, sebelah kantor informasi. Sebentar-sebentar kuteguk air manis dalam botol itu, botol berlabelkan “mizone” yang membuatku akan terus mengingat sosok itu.
Aku masih tak percaya. Dengan keadaannya yang lemah ia masih setia dengan barang dagangannya. Ia mendekap kardus itu di dadanya, dengan seutas tali rafia. Ia menempatkan kotak kecil berisi uang kembalian di sela-sela dagangannya. Untuk mereka yang membutuhkan lembar kembalian, ia izinkan untuk merogoh kotak kecil itu sendiri. Ya Allah, Tuhanku.. mengapa harus kau ambil kedua tangan itu? Tangan yang seharusnya ia gunakan untuk membawa barang dagangannya harus ia gantikan dengan tali rafia yang setia ia gantungkan di lehernya. Seorang laki-laki sepertiku menangis ketika melihat laki-laki lain sepertinya yang harus merelakan dirinya bekerja tanpa kedua tangannya. Aku masih tetap menangis ketika teringat doa yang diucapkannya untukku. “Tuhan.. Berikanlah rahmat-Mu selalu kepadanya”. Balasku berdoa untuknya.
Bis yang kunantikan telah ada di depan mata. Suasana terminal kota Probolinggo semakin lengang seiring beranjaknya malam. Segera kubiarkan diriku berebut tempat dengan para musafir jalanan. Kuambil tempat duduk paling belakang sehingga kudapat bersandar dengan tenang. Alhamdulillah, Tuhan... Aku masih bisa bernafas hingga hari ini, sehingga aku dapat melihat bermacam teguran-Mu atas segala khilafku. Dengan kehadiran hamba-Mu yang lemah tadi, semakin aku percaya bahwa Engkau tak akan memberikan cobaan kepada hamba-Mu lebih dari batas kemampuan hamba. Aku semakin percaya bahwa Engkau akan tetap menuntun jalan hamba-mu dengan sebaik-baiknya tuntunan.
Laki-laki tanpa dua tangan itu telah membuka mataku. Di dalam keterbatasan yang ia miliki, ia tetap setia menjalankan kakinya di jalan yang Engkau ridhoi, Tuhan. Dengan keteguhan hatinya ia tetap berusaha menyambung hidupnya dengan segala upaya. Kadang dalam kesempurnaan kita enggan untuk bersyukur atas segala karunia-Mu. Kadang dalam setiap langkah kita selalu merasa tak mampu. Namun ini tak nampak terlihat pada wajah ikhlasnya, tak pernah tampak sedikit lelah dalam sosok lemahnya. Dalam keterbatasan tangannya ia tetap setia mengabdi pada-Mu, Tuhan. Jalannya dalam beribadah mampu menembus batas kemampuanku sebagi mahluk-Mu yang sempurna. Keterbatasannya bukan lagi menjadi halangannya untuk bermalas-malas. Keterbatasan mampu membuatnya tetap semangat menjalani pahitnya dunia-Mu, Tuhan.
Bis melaju dengan cepat. Suara musik mengalun memekikkan telinga. Kulihat lampu berkelap-kelip di luar sana. Subhanallah, indah nian kuasa-Mu. Tanpa sadar aku terlelap. Dalam diam aku melihat sosok itu berdiri dengan pakaian putih bersih. Ia bersujud di dapan pintu emas serta batu hitam. Subhanallah, dengan keikhlasannya dalam berusaha ia mampu mencium harumnya singgasana-Mu, Baitullah, rumah-Mu, Tuhan... Masih tetap dengan kain putih bersih, juga dengan kedua tangan yang tak lagi sempurna.
Surabaya, 21 Mei 2011