Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Desember 2011

Aku Lelah, kawan…



Kosong malam ini, sangat kosong. Aku hanya ditemani sepasang kekasih yang setia memadu cinta, penaku yang setia menari di atas kertas kusuh tak bersampul. Aku sendiri setelah mimpi-mimpi itu hancur, pecah bak karang yang terkikis ombak. Aku selalu bermimpi tentang keindahan, tentang kupu-kupu yang yang menari di atas ladang bunga matahari. Aku selalu bermimpi tentang dunia maya, indah, menyejukkan hati. Namu aku tersadar bahwa semua itu telah hilang. Tak ada lagi penyejuk hati yang menanamkan benih-benih kerinduan dalam diri ini. Tak ada lagi bunga-bunga yang tumbuh dalam hati, karena kini aku memang sudah sendiri.
Perjalananku masih panjang, kawan… Semakin aku memikirkan, semakin pula aku gila karenanya. Aku selalu bermimpi tentang esok hari. Aku selalu bermimpi tentang mentari pagi, meski aku sendiri tak yakin jika mungkinkah aku masih mampu berdiri hingga esok pagi.
{a_a}
Aku selalu tak sabar, kawan… Langkahku semakin cepat ketika aku berangkat ke gedung itu, tempatku belajar setiap pagi. Aku selalu tak sabar menanti saat-saat itu, ketika tanganku membuka pintu yang kemudian disambut dengan senyum manis dari sesosok tubuh berbalut kaos abu-abu. Sungguh manis dia, dengan mata yang menyimpan sejuta keindahan, dengan kata-kata yang mampu memberi makna kehidupan.
Kepalaku selalu dihinggapi kupu-kupu kuning, dipenuhi bunga-bunga yang setia menebarkan wangi dalam pagi yang hening. Indah, kawan… Hari-hariku selalu dipenuhi semangat, harapan dan segala sesuatu untuk meraihnya.
Namaku Naya, kawan… Aku mengenal sosok itu sejak dua tahun yang lalu. Sungguh menarik, membuatku tertarik. Matanya indah, kawan… Seperti yang pernah aku ceritakan. Kebersamaanku dengannya membuat perasaan ini muncul, namun aku mencoba menghapus rasa ini karena aku tahu dia adalah sahabatku, ya kawan… Hanya sahabatku.
{a_a}
Hari ini hari yang sangat melelahkan. Aku tetap saja bercinta dengan buku-buku pelajaran. Hilir mudik mencari bahan demi tugas-tugas paper yang sama sekali tak kumengerti. Aku lelah, kawan… Setiap hari aku hanya diam di bangku ini, hanya mendengar tanpa mampu memahami. Setiap hari aku didekte dengan faham-faham yang sama sekali tak aku kenal. Aku hanya duduk manis, kawan…  Tanpa berani mengatakan atau membantah, karena bagiku menghormati mereka adalah jalan terbaik untuk mendapat nilai “A”, padahal sebenarnya “A” tak berarti apa-apa.
Perjalananku di sini masih teramat panjeng. Aku tak mungkin berlabuh hanya untuk memikirkan sosok itu, paras tampan berbalut kaos abu-abu. Namun hari-hariku selalu dipenuhi mimpi tentangnya, langkahku selalu diikuti bayang-bayangnya. Aku tak nyaman, kawan… Namun aku tetap betah berlama-lama dengannya.
Aku masih bermimpi tentang keindahan, tentang lautan yang damai, tentang burung pipit yang bercinta di ujung senja. Aku masih berharap, kawan… Berharap Tuhan akan mengubah kata “sahabat” itu menjadi beda. Setidaknya aku akan lebih bahagia, meski kebahagiaan itu hanya sekejap saja. Namun Tuhan tak pernah mengerti perasaanku, kawan…
Ah sudahlah… Aku tetap harus berkarya di sini, tetap duduk di bangku ini, tetap mendengarkan mereka berbicara, san tetap berusaha mendapa nilai “A”.
{a_a}
“Nay, nanti sore cari bahan buat tugas bareng aku ya…”
Rangkaian kata itu yang selalu tertancap erat di hatiku, kawan… Membuatku lebih dekat dengannya. Kebersamaan itu membuat bunga-bunga bermekaran kembali, kupu-kupu tetap bersemangat untuk menari. Selalu seperti itu, kawan… Dia selalu mengajakku melayang terbang bersama pelangi yang berwarna-warni namun akhirnya aku dijatuhkan dari ketinggian yang sangat tinggi, sungguh sangat tinggi, kawan… Sebenarnya aku sakit, namun aku heran mengapa aku masih betah menikmati ini.
Aku selalu merindukan kata-kata itu terucap setiap pagi. Membuatku rindu dan semakin merindukan saat-saat indah itu, meski aku tak pernah tahu apa sebenarnya yang dia mau. Entahlah, kawan… Apakah dia merasa benar-benar nyaman bertukar fikiran denganku atau dia hanya membutuhkan aku? Ah… Tak perlulah aku berburuk sangka.
{a_a}
Mentari pagi ini malu tuk tersenyum. Seperti aku yang sudah lelah dengan keadaan. Aku ingin berhenti dari harapan-harapan. Selama ini, aku hanya mampu merasakan tanpa mampu memiliki. Aku bahagia, kawan… Meski hatiku sebenarnya perih.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong gedung ini, dengan harapan senyum itu akan menyapaku saat pagi. Namun dia seperti mentari, kawan… tetap bersembunyi di balik kokohnya gedung ini.
Aku berjalan pulang dengan hampa, tanpa senyum dan tanpa kata. Dimana ia, kawan…? Sudahkah ia bosan bercengkrama denganku? Ataukah sengaja ia membuatku lupa akan perasaanku? Sepertinya memang begitu kawan… ia tak pernah betah dengan perasaanku. Mungkin memang aku harus diam, kembali bercinta dengan buku pelajaran dan melupakan mimpiku yang kelam.
{a_a}
            Aku masih di sini dengan ditemani penaku yang hampir berpeluh di atas kertasku yang kain lusuh. Aku masih menarikan bayang-bayang itu bersama tangisan yang kian parah. Aku lelah.
            Aku ingin terus menagis, kawan… Namun mata ini sudah lelah. Seperti hariku yang semakin lemah. Tak ada lagi senyum itu, kawan… Tak ada lagi kata itu, kawan…
Lelah. Kini saatnya meletakkan penat.
Selamat tinggal harapan.
Sudah. Inginku dipeluk tanah.


Surabaya, 04 Desember 2010
02:00

Tidak ada komentar:

Posting Komentar