Origami Hati
“Kamu ingat foto itu? Foto origami bentuk hati yang pernah aku kirimkan padamu waktu itu. Seandainya kamu tahu, aku telah membuatnya dengan kedua tanganku sendiri dan akan kuberikan padamu di hari ini. Tapi. . . ", kata Nesha-dalam hati-sambil memegang setoples penuh origami hati berwarna-warni. Nesha pernah mengirimkan foto itu kepada Adit. Dan iapun masih mengingat jelas bagaimana jawaban Adit setelah menerimanya. “So sweet..”, bunyi pesan singkatnya waktu itu, sangat singkat.
Hari-hari setelahnya masih diwarnai dengan senyum cerah mereka berdua. Hingga pada satu ketika sebuah pertengkaran merusak semuanya, termasuk rencana Nesha tentang origami itu. “Apa maumu, dit…”, satu pesan singkat melayang dari ponselnya. “Aku mau kamu jangan pernah lagi hubungi aku”, balas Adit kemudian dilanjutkan tangis Nesha. Mimpi-mimpi dan harapan itu hilang. Nesha hanya bisa menangis melihat semua yang Tuhan gariskan.
Ia meletakkan toples berisi origami itu di atas meja kamarnya. Hari ini empat belas Februari. Ia sudah mempersiapkan jauh-jauh hari, tempat yang ia inginkanpun sudah tersedia. Namun pertengkarannya satu minggu yang lalu membuat semuanya berbeda. Ia kemudian keluar kamar, meninggalkan toples itu sendirian.
<”>
Siang itu, seorang lelaki turun dari motor, menghampiri deretan bunga di sebuah kios kecil. Tampak jelas mata dan tangannya sedang beradu utuk memilih bunga. Kemudian ia labuhkan tangan kanannya pada seikat mawar putihyang terjajar di rak bagian atas. Tawar menawar terjadi dan dibawanya ikatan mawar putih itu pergi menaiki motornya lagi.
“Bukankah itu adit..”, kata Nesha dalam hati. Sudah berjam-jam ia berdiri di toko aksesoris seberang jalan, seberang kios bunga itu. Ia dapat mengamati dengan jelas kejadian di sekitarnya tanpa terkecuali. “Sudahlah. Tapi untuk siapa mawar putih itu?”, lanjutnya penuh Tanya. Nesha beralih mendekati meja kasir, mencoba mengusir Tanya yang baginya tidak pantas untuk dipikir.
<”>
“Mama.. Nesha pulang…”, teriak Nesha saat memasuki pintu rumah. Seikat mawar putih tergeletak di atas meja tamu. Nesha berlari lebih ke dalam rumah untuk mencari mamanya. Dengan celemek kuning mama Nesha keluar dari dapur. “Kenapa kamu teriak, Nesh…”, Tanya mama Nesha sambil membiarkan Nesha mencium tangannya. “Mama, bunga itu dari siapa?”, Tanya Nesha sambil menunjuk ikatan mawar putih di atas meja. Perempuan paruh baya itu tidak menjawab dan kembali memasuki dapur.
Dengan masih penuh Tanya, nesha masuk ke dalam kamarnya. Dilepaskannya jaket yang sejak tadi melapisi tubuh mungilnya. Seketika itu juga pandangannya jatuh pada meja kamar yang kosong. “Mama.. Toples Nesha mana?”, teriaknya sambil berlari ke dapur. Perempuan yang Nesha sebut mama itu kemudian mengajaknya duduk di kursi ruang tamu. Diraihnya ikatan bunga itu dan ia serahkan sebuah lipatan kertas putih kepada anaknya. “Baca, Nesh..”, katanya. Nesha heran, lalu ia meraihnya. Kemudian ia buka perlahan. Tampak di dalamnya:
“Nesha,
Jika saja aku bisa menyamakanmu dengan ikatan mawar ini…
Tapi maaf. Aku belum bisa”
Nesha diam sebentar, lalu menutup lembaran itu dengan air mata yang menetes. “Adit tadi ke sini. Dia membawa ini”, kata mama Nesha sambil menyerahkan mawar putih itu ke Nesha. “Ma.. Toples Nesha mana?”, Tanya Nesha dengan tangis. “Maafkan mama, Nesh.. mama memberikannya kepada adit. Setelah kamu cerita tentang toples itu kepada mama, mama merasa Adit perlu tahu tentang itu, tentang rasa bersalahmu”. Jawab mama. “Tapi, mama.. Mama tahu jika Adit sangat marah kepada Nesha. Adit sudah tidak ingin memaafkan Nesha lagi”, kata Nesha dengan tangisnya yang semakin terisak. Perempuan paruh baya itu hanya terdiam, mencoba memeluk gadis kecilnya yang semakin muram.
Tak lama kemudian, sebuah pesan singkat hinggap di ponsel Nesha. Segera ia merogoh benda pesegi panjang itu dari saku jeansnya. “Aku sudah terima origami itu. Bukan lagi fotonya yang aku terima, tapi yang nyata juga sudah kuterima”, bunyi pesan itu, saat Nesha membacanya. Nesha tidak tahu harus membalas apa. Ia tekan huruf-huruf di ponselnya dan terekirim. “Terima Kasih”, bunyinya.
<”>
Hari berlalu sejak sore di hari keempat belas februari itu. Ikatan mawar putih yang tadinya tergeletak di meja kini sudah terpajang cantik di dalam vas putih bening. Sesekali Nesha menghampiri dan mengusapnya satu persatu. Pesan dari sang pengirim mawarpun tak pernah lagi ia dapatkan. Ia hanya bisa memandang mawar-mawar putih itu dengan sayu. Dalam hatinya, ia masih terus bertanya, “Apa maksudmu dengan memberiku mawar putih ini? Mengapa kamu mau menerima toples berisi origami hati itu? Sedangkan kamu masih marah kepada aku?”. Nesha merasa ini semua adalah teka-teki yang ia sendiri tidak tahu sebenarnya perlu ia mengerti atau bahkan tidak. Namun satu hal yang Nesha yakin: “Sebagus apapun aku membuat origami hati itu, tetap saja tidak pernah sebanding dengan mawar putih kirimanmu”, kata Nesha sambil mencium mawar-mawar itu satu persatu.
07 Februari 2012
Noura
Tidak ada komentar:
Posting Komentar