“Jangan pernah mencoba
membandingkan khayalan kamu ketika membaca novel dengan kenyataan yang kamu
dapatkan ketika menonton film”. Mungkin itulah sedikit pelajaran yang saya dapatkan
setelah menonton film ini, Perahu Kertas.
Saya sudah mengenal novel
Perahu Kertas sejak tahun 2009. Saat itu
saya sedang jalan-jalan di toko buku dan sama sekali tidak berniat untuk
membeli bahkan membaca novel ber-cover hijau tosca itu. Ketidaknyamanan saya bermula
ketika membaca tulisan Dee-Supernova.
Dikarenakan gaya bahasa dan ide cerita yang kurang bisa ditangkap dengan baik
oleh otak kecil saya membuat saya kurang ada greget ketika tahu ada tulisan lainnya yang berjudul Perahu Kertas. Teman-teman banyak membicarakan
itu dan saya masih belum tertarik untuk membacanya. Setelah saya membaca Filosofi Kopi-kumpulan cerpen Dee ini
saya mulai sedikit demi sedikit kagum dengan Dee, tentunya dengan ide-ide
tulisan serta penyampaian yang “tidak sederhana” itu.
Awal 2012 ada kabar burung.
Katanya Perahu Kertas akan di filmkan. Tidak dipungkiri kalau saat itu
penasaran sudah ada (seperti apa sih ceritanya sampai-sampai heboh begitu), tapi
saya tetap pura-pura tidak minat saja lah…
Menahan rasa penasaran
yang semakin hari semakin menggebu ternyata membuat niatan buruk muncul: Saya
harus download novelnya! (Modus kejahatan mahasiswa semester akhir ketika tidak
memiliki cukup uang untuk membeli novel best seller)
Yup! Mission has been completed.
File Pdf sudah di tangan dan siap baca. Oh God! Ini novel pertama yang saya baca
hanya dalam kurun waktu sehari semalam. Otak kecilnya mulai berkata: Ini nih yang gue banget… Ringan tapi berbobot… Alurnya dinamis.. Idenya segar
dan berhasil membuat hati ini melting-melting. Terlebih ada hampir 60% bagian yang sejalan
dengan kisah pribadi saya..
Oke! Baca sudah. Sepertinya
perlu dibaca kembali beberapa kali. Dan pas kali ketiga saya membaca, berita
akan beredarnya film itu sudah jelas. Terlebih ketika tahu pemeran Keenan
adalah Adipati Dolken. Oh God! He is the man of my dream…
Eits, tapi kenapa yang jadi Kugy kok Maudy Ayunda? Melihat beberapa
perannya di beberapa film yang ia bintangi memiliki karakter sejenis dengan
pribadinya yang kalem sepertinya karakter Kugy kurang pas diperankan olehnya. Oke
fine! Sepertinya tidak baik if I make a judgment before watch it clearly! Lebih
baik saya diam sambil download trailer-nya, nonton behind the scene-nya dan tentunya
membaca novelnya kembali sambil berimajinasi bahwa yang sedang saya baca ini
adalah adegan-adegan yang dimainkan seorang Adipati Dolken, Maudy Ayunda, Reza
Rahadian dan tokoh lainnya yang ambil bagian di film tersebut.
Rasa kurang greget
kembali muncul ketika tahu film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo. “Eksekusi
yang gagal”-menurut saya- jelas terlihat di beberapa film Hanung yang
diadaptasi dari novel. Hal ini membuat saya seperti il-feel dengan Hanung. Contohnya jelas terlihat di film Ayat-Ayat Cinta
serta Perempuan Berkalung Sorban. But once again, I can’t make a judgment
first!
Oke! Dan sudah jelas film
ini akan berlayar di libur lebaran tahun 2012. 16 Agustus 2012 film ini resmi diputar
di bioskop-bioskop terdekat. Oh God! Posisi saya sedang galau karena jauh dari
bioskop terdekat. *Sedang memasang strategi sambil pasang radar… d-_-b
Seminggu setelah premier,
Antrean mengular. Panjang.
Ini sudah seminggu tapi seketika sold out. Finally, ini oleh-olehnya dari
kegiatan mengantre itu:
Alur Cerita yang berbeda
Sangat berdosa jika kita
membandingkan jalan cerita di novel dan di film karena those two points are
totally different. Tetapi, memang bisa dilihat jika beberapa rangkaian
peristiwa yang ada di film seperti kurang alami. Tidak hanya disadari oleh
penonton yang juga adalah pembaca novel, tetapi juga jelas disadari oleh
penonton yang murni penonton (belum pernah membaca novel). Ada beberapa kejadian
yang kurang masuk akal, seperti adegan Kugy yang dengan radar neptunusnya
berhasil menemukan Keenan pertama kali di stasiun serta Kugy yang dengan tidak
sengaja bertemu dengan Keenan di dalam kereta api ketika akan menempuh perjalanan
ke Jakarta.
Perbedaan juga terlihat
di bagian akhir film ketika Noni menikah dengan Eko. Seperti diketahui jika dalam
novel diceritakan Noni dan Eko hanya bertunangan. Namun, inisiatif untuk
memasukkan adegan pernikahan ini sangat pantas diacungi jempol. Adegan inilah
yang mampu membangkitkan semangat penonton setelah beberapa adegan yang “terkesan
datar”.
Alur yang datar
Beberapa menit pertama
saya cukup menikmati narasi-narasi Kugy. Saya sudah mencoba membuang jauh-jauh
imajinasi yang sempat saya gambarkan sebelumnya. Saya mulai bisa menikmati
bahwa ini adalah versi film yang berbeda. Namun ketika film sudah berlayar di
paruh waktu saya baru menyadari jika hampir satu jam ini hanyalah adegan-adegan
datar yang terkesan biasa. Apalagi ketika melihat Ayah Keenan memukulnya saat
ia memutuskan untuk berhenti kuliah setelah lukisannya laku terjual. Sangat jelas
terlihat kebingungan yang besar bagi penonton yang bukan pembaca ketika mencoba
menyambungkan satu persatu adegan-adegan itu: sejatinya, sebenci apakah Ayah
Keenan dengan satu kata: Lukisan!.
Sudut pandang hanya satu tokoh, Kugy.
Mungkin memang sengaja
jika film ini hanya mengambil dari satu sudut pandang saja. Sosok Kugy-lah yang
hanya disorot dalam film ini. Namun meskipun seperti itu, sangat disayangkan
ketika kekuatan sosok Keenan kurang mendapat porsi yang cukup. Padahal, Keenan
adalah sentral dari keseluruhan cerita Kugy. Terlebih untuk konflik Keenan dan
keluarganya yang terkesan singkat dan patah-patah.
Kedekatan Keenan dan Kugy
adalah inti cerita di bagian pertama film ini. Seharusnya hal ini lebih
ditekankan sehingga penonton bisa memahami seberapa dekatkah seorang Kugy dengan
Keenan sampai akhirnya mereka berdua bisa jatuh cinta. Hal ini kurang dan
bahkan tidak digambarkan dengan baik sehingga terkesan mereka tidak memiliki
chemistry dan hanya terlihat sebagai sebuah persahabatan yang “biasa”. Mungkin
inilah salah satu alasan mengapa saya sebut “datar” pada alur cerita, sama
seperti cerita remaja kebanyakan.
Kurang matangnya pemain
Hal ini dapat terlihat
jelas pada karakter Keenan yang diperankan oleh adipati Dolken. Terlebih karena
ekspektasi saya kepada seorang Adipati Dolken yang sangat tinggi membuat saya
sadar jika ternyata ia kurang “pas” dengan tokoh Keenan. Masih ada dalam benak
saya ketika menyaksikan seorang adipati dalam beberapa film, sinetron serta FTV
yang dibintanginya. Dan itu sama. Adipati masih “kurang pintar” dan cukup butuh
waktu belajar lagi untuk menjadi seorang Keenan. Meminjam istilah yang
digunakan oleh Dee kepada Keenan bahwa “He is a raw diamond. Berlian mentah
yang masih perlu dimatangkan kembali”, begitulah seorang Adipati Dolken dalam
film ini. Setelah saya fikir, sepertinya Nicholas Saputra cocok menjadi Keenan.
Karena bagi saya sosok Keenan lebih mirip dengan sosok Rangga dalam film Ada
Apa Dengan Cinta.
Yang saya kagumi malah
peran Kugy yang dimainkan dengan cukup mendekati perfect oleh Maudy Ayunda. Karakter
Kugy sangat berbeda dengan beberapa karakter yang pernah dimainkan oleh Maudy
dalam beberapa film seperti Zakiah Nurmala di Sang Pemimpi, Mura dalam Malaikat
Tanpa Sayap serta Indah dalam Tendangan Dari Langit yang terkesan kalem dan
sesuai dengan kesehariannya. Dari sini saya melihat jika Maudy sudah cukup baik
dalam memerankan sesuatu yang berbeda meskipun belum totally perfect.
Untuk peran Remigius Aditya?
No Comment. He is Perfect. Totally Perfect.
Disamping kurang
matangnya beberapa pemain, justru peran Eko-lah yang menurut saya sukses di
sini. Fauzan Smith memainkannya dengan sangat hati-hati dan sempurna. Kehadiran
Eko cukup memberikan angin segar dari keseluruhan isi cerita. Kocak dan
menghibur.
Disamping itu semua, ada
poin penting yang menurut saya bener-bener pantas diacungi jempol.
Simbolisasi yang kuat dan mendetail
Jika kita amati lebih detail,
ketika adegan Keenan yang mengetahui kebohongan besar yang diciptakan oleh
Wanda terlihat jelas sebuah gambar pinokio berhidung panjang di atas meja
Wanda. Simbol ini memperkuat posisi Wanda yang benar-benar berbohong, mengingat
tokoh pinokio identik dengan kebohongannya.
The same dialogue
Saya cukup puas ketika
Remi dengan gaya bijaksananya berbicara kepada Kugy. Ketika makan berdua di
pinggir jalan serta ketika di pantai pada malam tahun baru. Those are totally
same as the novel. Benar-benar dialog yang persis dalam novel. Seperti yang
saya imajinasikan sebelumnya.
Well… Saya cukup sadar
jika sesuatu itu pasti memiliki kekurangan dan kelebihan. Begitu juga dengan
film ini. Banyak kejutan-kejutan yang dihadirkan oleh film ini. Salah satunya
adalah kehadiran Hanung sendiri sebagai pemeran figuran yang menurut saya
sangat-sangat menghibur (sampai tidak bisa
berhenti tertawa). Persepsi orang pun berbeda-beda. Yang jelas saya cukup puas
dengan film ini. Tidak rugi saya mengantre beberapa jam untuk mendapatkan
tiket. Dan yang lebih penting saya tetap mencintai seorang Adipati Dolken. :-P
Oke. Surely I’m waiting
for the next voyage. . Two months again. . October..!
Dua bulan lagi buat
pelayaran selanjutnya, bagian kedua. Yang pasti banyak scene seru yang akan
bisa membantu pemahaman bagian pertama ini. Good Job buat Hanung. I’m sure that
this is your best romance film that you have ever made ;-) dan memang benar jika Don't make a judgment from one side only :)
-Nay-
Kamis, 23 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar