“Dia
janda”, kata mang Jono.
“Dia
beranak 5”, timpal kang Sai’in.
“Dia
bekerja di pasar. Dagang baju katanya”, sambung pak Tris.
“Dia
rajin kok… Sukses. Dagangannya laku keras”, puji bik Ijah.
“Dia
cantik. Siapa sangka jika anaknya sudah lima. Masih kinyis-kinyis”, seloroh pak Durman.
“Manis
kok.. Untune loh mijil timun. Kalau tertawa
manis… Alis matanya juga bagus. Nanggal sepisan”,
mak Sum seakan membela.
“Wah
saya juga mau.. Sudah cantik, sukses pula… Bahagia pasti saya…”, kata bang Togar
sambil tertawa.
Obrolan
itu berlangsung lama. Entah sudah berapa sisir pisang susu yang mereka nikmati.
Cangkir-cangkir kopi pun sudah Mak Sum isi berkali-kali dengan kopi baru. Bik
Ijah sepertinya sudah capek mengisi piring-piring kosong dengan singkong yang
ia goreng. Lamat-lamat terdengar suara kokok ayam bersahutan. Sebenarnya ini masih tengah malam.
“Walah sampean-sampean itu ya… kalau sama
yang begituan aja kok ya semangat. Ini kopi mbok ya dibayar…”, gerutu Mak
Sum yang disambut tawa bik Ijah.
Aku
hanya tersenyum mendengar obrolah garing di warung kopi malam ini. Semua tentang
janda cantik penghuni rumah bercat putih yang terlindung rimbunan daun mangga. Aku
tak ambil pusing siapa dia. Toh aku melihatnya bersolek layaknya remaja. Padahal
jelas terkira jika usianya sudah beranjak renta. Terakhir kulihat sebuah sedan
parkir di depan rumahnya. Kata mereka mesin itu membawanya pergi ke hotel
bintang lima.
29
Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar