Essai:
Boy
Band
dan Girl Band: Fenomena Mimikri,
Perusak Mental Berbudaya
Oleh: Noura Nahdliyah*
“I want No Body No Body
but You…..
….I want No Body No
Body but You……”
Sepenggal
lirik lagu tersebut tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia, apalagi
pelajar. Datangnya lagu-lagu buatan negera tetangga, Korea ini secara sporadis
telah menghinggapi otak-otak masyarakat Indonesia, terutama pelajar. Mudahnya
akses informasi di media massa menjadi alasan utama adanya penjamuran tersebut.
Seorang siswa kelas satu Sekolah Dasarpun dengan mudahnya melantunkan
tembang-tembang hasil suara Boy Band
dan Girl Band Korea tersebut dengan
mudah. Padahal jika diamati, tidak mudah untuk seorang siswa kelas satu Sekolah
Dasar menghafalkan lagu tersebut di luar kepala. Apalagi alasannya jika tidak
karena intensitas lagu tersebut yang muncul di media sehingga mudah ia
dengarkan.
Sadar
atau tidak sadar, menjamurnya Boy Band
dan Girl Band di Indonesia merupakan
sebuah fenomena Mimikri yang sedang
dihadapi Indonesia. Dalam studi Poskolonialisme (Poscolonial-Studies), istilah Mimikri dikenal dengan sikap
meniru-niru. Seperti yang dijelaskan oleh Homi Babha, seorang pakar dari India,
bahwa sikap mental bangsa asia pada umumnya adalah Mimicry (Sikap meniru-niru). Menurut Bhaba (dalam Foulcer, 2008:
105), yang dimaksud dengan mimikri adalah reproduksi belang-belang
subjektifitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah tidak murni, yang
tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas
dan kegelisahan khusus kolonialisme.
Mari
kita tarik pengertian tersebut pada fenomena yang terjadi saat ini. Boy Band dan Girl Band yang sedang mendunia ini adalah besutan musisi Korea
dimana mereka berkiblat pada dunia barat. Musiknya yang easy listening itu menjadikan pendengarnya mudah mengikuti setiap
iramanya dengan baik. Dipadu dengan gerak tubuh yang indah, musik Boy Band dan Girl Band ini dengan mudah menguasai pikiran pendengarnya, terlebih
adalah siswa Sekolah Dasar.
Secara
tidak sadar, mental kita telah dijajah oleh budaya barat. Dengan menikmati
serta menerapkan budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, kita seperti lupa
akan budaya kita sendiri. Sebenarnya, budaya barat tidak pernah dapat disatukan
dengan budaya timur. Sisi budaya yang berbeda dan keadaan masyarakat yang
berbeda itulah yang menjadi dasar utama. Mengutip apa yang disampaikan oleh
Prof. Budi Dharma, Phd, seorang Guru Besar UNESA dan sastrawan dunia bahwa
timur dan barat tidak pernah bisa disatukan. Seperti puisi dari Rudyard Kipling
berikut:
Oh, East is East and
West is West, And never the Twain shall meet,
Till earth and Sky stand
presently at God’s great Judgment’s seat.
Sebenarnya
apa yang melatarbelakangi adanya fenomena tersebut selain semakin meluasnya
media massa yang mudah dijangkau oleh masyarakat?
Sejauh
ini, Lembaga Pendidikan kurang begitu menyadari betapa pentingnya menanamkan
budaya asal kepada siswa. Siswa Taman kanak-Kanak misalnya. Mereka hanya
disuguhi oleh ekstrakulikuler yang jauh dari kesan berbudaya, seperti Fashion Show. Alangkah baiknya jika Fashion Show yang biasa membawakan
pakaian pesta itu diganti dengan Pementasan Baju Adat. Budaya Indonesia asli
seperti Wayang, Reog dan Tari lainnya seakan pudar dibabat habis oleh masa.
Tidak dapat dipungkiri, ada beberapa Lembaga Pendidikan yang dengan sadarnya
mengatakan bahwa kesenian-kesenian tersebut sudah kuno, tidak up to date dan kurang diminati. Pantas
saja budaya kita diambil Negara tetangga jika kenyataannya seperti itu.
Oleh
karenanya, sebagai bangsa yang berbudaya, sudah seharusnya kita mencintai
budaya kita sendiri, Indonesia. Dengan semakin menjamurnya Boy Band dan Girl Band di
Indonesia, sudah seharusnya setiap Lembaga Pendidikan memberikan wadah yang
cukup bagi peserta didiknya untuk melestarikan budaya asal Indonesia sehingga
fenomena Boy Band dan Girl Band itu tidak lagi meracuni otak
para penerus bangsa. Sudah saatnya dari diri kita sendirilah yang harus
memiliki kesadaran akan betapa pentingnya budaya Indonesia. Budaya adalah
identitas bangsa. Budaya adalah pembangun karakter dan mental suatu bangsa.
Jika sikap Mimikri ini masih saja ada, lantas apa jadinya Indonesia? Salam
Budaya.
Referensi:
Anis Maslihatin.
2012. Hibriditas, Mimikri, dan
Ambivalensi dalam Novel De Winst Karya Afifah Afra. http://poskolonialisme.wordpress.com/tag/mimikri/
diakses pada tanggal 20 Februari 2012
Dharma, Phd,
Budi, Prof. Sikap Mental Kita,
Pokok-pokok pikiran dalam Seminar Nasional BEM PGSD UNESA, Minggu, 19 Februari
2012.
*Noura
Nahdliyah
Penulis
adalah Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.
Dimuat di Majalah Madinah LP Maarif NU Cabang Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar