Cari Blog Ini

Jumat, 03 November 2017

Balada Ibuk-Ibuk Muda

Menjadi ibu adalah impian setiap wanita. Katanya, kodrat wanita akan sempurna jika dia bisa hamil dan memiliki anak dari rahimnya sendiri. Namun, banyak di luar sana yang belum seperti demikian. Kali ini, saya tidak akan membahas tentang itu. Tapi saya lebih ingin sharing tentang "Menjadi ibu baru itu bagaimana sih?". Tentunya dengan sudut pandang saya yang juga baru mau tiga bulan jadi ibu.
Jadi begini, beberapa hal yang sering menjadi buah bibir manis para ibuk-ibuk muda yang pertama adalah masalah popok. Ada saja yang berdebat kusir tentang pemakaian popok kain atau yang sekali pakai. Dengan adanya pospak alias popok sekali pakai, maka ibuk-ibuk muda yang "milih gampang"-nya akan dengan pede bilang, "Ah, popok kain mahal. Malas nyucinya. Ndak punya banyak waktu buat nyuci, lha dipakek nyuci bentar aja bocah udah ngerengek minta disusuin. Noda di popok kain susah ilang, ah. Aduh ndak telaten, pospak aja sekali pake buang beres" dan berjuta alasan lainnya. Kalau saya sendiri sih ya bergantung pribadi masing-masing saja. Saya pribadi yang pernah ikut organisasi lingkungan hidup (ciyeee....) cukup paham bagaimana si pospak itu sudah berkontribusi banyak dalam kekumuhan Indonesia. Selain itu, saya yang kerjanya naik angkot, setiap berangkat dan pulang kerja disuguhi dengan pemandangan sampah di kanan kiri jalan yang mayoritas adalah sampah pospak. Nah, saya ndak suka dengan hal tersebut. Jadi saya berusaha meminimkan penggunaan pospak. Lantas apakah dari situ saya no pospak sama sekali? Tidak munafik jika saya juga pengguna pospak. Namun sekali lagi saya tekankan, saya berusaha meminimalisir penggunaan pospak. Sejak pagi sampai jam delapan malam, saya menggunakan popok kain untuk anak saya. Baru kalau saya mau tidur, saya pakaikan pospak. Alasan saya karena pospak sifatnya membuat kering permukaan kulit jadi harapan saya boboknya si kecil nyenyak ndak risih kayak pakek popok kain yang sebentar aja si dia udah minta ganti. Jadi sehari bisa habis hanya dua pospak saja mengingat pee anak saya banyaaak. Intinya, pemakaian pospak atau tidak itu bergantung pribadi masing-masing. No nyiyir satu sama lain.
Nah, kedua. Masalah ASI vs Sufor. Aduuuuh... Ini masalah dari jaman nenek moyang sampek jaman now masih saja dibahas. Memang sih ya ASI is the best milk. Banyak penelitian yang bilang kalo ASI adalah penyumbang terbanyak intelejensi seorang anak. Tapi bukan berarti anak Sufor gak pinter loh. Banyak kok sekeliling saya yang anak Sufor tapi juaranya gak ketulungan. Inget ya, pinter enggaknya anak itu bergantung pada orang tua. Kalo ortunya telaten ngajari anak ya pasti pinter. Kalo bibitnya pinter tapi gak direken sama orang tuanya ya sama aja bohong. Seorang ibu ndak bisa kasih ASI itu karena banyak faktor. Puting kecil lah, kuantitas ASI yang sedikit, harus kerja delapan jam sehari dan bla bla bla lainnya. Enggak ada ibuk-ibuk yang sengaja pengen nelantarin anaknya dengan gak kasih dia ASI. They have they own reason. Jadi buat yang ndak ngerti hidup orang mending ndak usah nyiyir deh. Saya? Alhamdulillah saya bisa kasih ASI anak saya dengan lancar selancar-lancarnya meski pada dua hari pertama ASI saya cuma keluar netes dan balada puting yang keciiil banget. Tapi karena dukungan di sekeliling saya, akhirnya ndak pernah ada kata menyerah. Ya sampek ada drama ditarik sama tabung injeksi lah, si kecil yang sempat kuning lah karena mimiknya kurang, dan apalah. Tapi karena ketelatenan, maka yang begitu-begitu cuma sampek seminggu kok. No lebih. Tanpa sufor? Ah, saya masih membutuhkan itu. Saya bekerja dan saya ndak mungkin pumping ASI karena media penyimpanan yang ndak ada. Saya ndak mau nyusahin yang momong anak saya. Jadi saya beri dia sufor. Hanya saat saya bekerja. Bingung puting? Alhamdulillah ndak. Kalo anak merasa ndak nyaman dan agak bingung, disusuin aja terus. Anak gak akan lupa bau ibuknya, kok. Jadi ndak ada tuh drama anak gak mau nenen dan kecanduan dot gegara bingung puting.
Next, jadi wanita karir atau ibu rumah tangga? Ini nih yang seriiiiiing banget dibikin gosip mulut-mulut tidak bertanggung jawab. Once again, everyone has a certain reason. Jadi ibuk-ibuk pekerja sama jadi fulltime mother itu sama-sama susahnya loh ya. Siapa bilang? Saya. Saya bekerja di sekolah. Kalau pagi saya mengajar di sekolah dan sore di Bimbingan Belajar. Tapi beruntungnya, di Sekolah saya hanya dua hari dalam seminggu dan di BimBel ada jatah sepuluh pertemuan dalam satu bulan. Saya merasakan dua-duanya. Capek? Ya memang capek. But we have to be strong because we want to see such a little smile from our baby. Jadi working mom harus bangun pagi-pagi (yang saya juga sering telat bangun sih...) buat masakin bapaknya, nyuciin popoknya si kecil, mandiin si kecil lalu siap-siap berangkat. Bahkan biasanya malem, pas anak merem saya berusaha menyempatkan buat buka-buka materi mengajar esok harinya. Jadi ibu rumah tangga gimana? Samaaa. Fisik sudah capek. Pikiran tambah capek. Butuh piknik emang iya. Masalah perhatian ibuk ke anaknya? Hello.....gak semua loh ya anaknya ibuk pekerja itu gak diperhatiin. Justru banyak dari mereka yang bisa bikin waktu yang sedikit itu lebih berkualitas. Ndak jarang juga yang pinter-pinter akademik dan non akademiknya. Intinya bukan di rumah atau tidaknya ibu. Tapi di telaten atau tidaknya. So, sekali lagi No Nyinyir.

All in all. Semua bergantung pada pribadi masing-masing. Ndak bisa kita men-judge kita benar dia salah atau sebaliknya. Hidup itu terlalu susah kalo kita bikin buat hebring nyinyirin hidup orang. Dunia itu luas loh... Jalan-jalan dong biar mind-nya opened. Biar ndak seperti katak dalam tempurung. Mulai sekarang, biarkan orang bahagia dengan pilihannya.


Noura N
Ibuk Zahid
3 Nopember 2017
21.57

Jumat, 27 Oktober 2017

Sebuah Kala

Aku panik. Tangisnya tidak terdengar. Di pikiranku saat itu hanya, "dirujuk, dirujuk dan dirujuk". Allah.

 Kamis, 10 Agustus 2017.
Ada darah merembes di kakiku sebelum aku mengambil air wudhu shubuh. Sempat panik tapi aku berusaha tenang karena tidak ada rasa sakit di perut atau di bagian tubuh lainnya. Darah merah muda semakin intens keluar hingga kamis sore aku memutuskan untuk periksa ke bidan. "Pembukaan satu, mbak. Kalau ndak sakit banget perutnya jangan dibawa ke sini dulu", bu Bidan berkata. Aku hanya mengiyakan karena memang aku tidak merasakan sakit yang berarti. Kamis malam aku tidak bisa tidur nyenyak. Punggung terasa sangat kaku dan perut bawah nyeri.

Jumat pagi, 11 Agustus 2017
Darah itu keluar lagi disertai nyeri di bagian perut bawah. Namun, aku masih menganggapnya biasa karena memang aku pernah merasakan sakit yang lebih sakit dari ini. Menurutku, nyeri kali ini lebih ringan dibanding sakit perut karena dilep setiap kali aku datang bulan. Jam 6 aku ikut jalan sehat desa berharap nyeri itu hilang atau paling tidak membantu pembukaan jalan lahir jika memang sudah waktunya dilahirkan. Setengah jalan aku menyerah karena nafas yang semakin ngos-ngosan dan perut yang semakin nyeri. Namun aku tetap bersikap biasa karena memang sesungguhnya aku sering merasakan dilep yang lebih sakit dari ini. Jumat siang, aku sengaja tidur sebagai pengganti tidur malamku yang kurang. Jumat sore nyeri itu semakin intens, sekitar sepuluh menit sekali. Namun aku masih bersikap biasa. Bahkan aku masih sempat mengunjungi satu kawanku yang baru saja melahirkan. Aku selalu ingat kata bu bidan, "jangan dibawa ke sini kalau belum benar-benar sakit".

Dan, malam itu adalah jawaban atas segala penantian. Ba'da magrib perutku keram total. Rahim seperti diobok-obok, lebih parah dari dilepku selama ini. Namun aku mencoba bertahan. Aku melakukan beberapa gerakan ringan dari senam hamil seperti yang sering aku lakukan sebelumnya. Nyeri semakin parah hingga pukul 19.00 aku tidak kuat. Aku hanya berbaring di kamar dengan sesekali menggigit ujung bantal saat gelombang cinta itu bertransformasi menjadi sakit yang sangat tidak tertahan. Ibuku panik, suamiku apalagi. Tapi aku berusaha tenang. Keluargaku memaksaku untuk segera pergi ke bidan namun aku tetap ingin bertahan. Hingga pukul 20.30 aku menyerah. "Sudah, aku mau ke bidan sekarang".

Di sana, setelah dilakukan VT ternyata sudah pembukaan 4. "Ditunggu di sini ya.. Ndak usah pulang", kata bu Bidan. Karena menurutku antara pembukaan 4 hingga sempurna itu masih membutuhkan waktu yang lama maka aku berusaha tetap tenang meski orang-orang di sekitarku semakin panik. Aku tetap membujuk janin dalam perutku untuk bisa bekerjasama selama proses persalinan nanti. Di depan ruang tindakan, aku berusaha untuk kuat berjalan-jalan, sesekali membungkuk, menungging, sembari berkomunikasi dengan janin di perutku. "Nak, ayo berjuang bareng Ibuk buat bisa lahiran normal. Lihat teman-temanmu yang sudah keluar duluan. Mereka bisa normal. Kita harus bisa". Gelombang cinta itu semakin intens. Tercatat ada tiga kontraksi setiap lima menit. Aku sudah tidak kuat. Pukul 23.00 Bidan membawaku ke ruang tindakan. VT dilakukan lagi dan ternyata sudah pembukaan sempurna. Peralatan disiapkan. Bidan dan asistennya siap menuntunku untuk proses melahirkan. Ibuku menemaniku sembari memegang tanganku erat. Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit rasanya isi perutku semakin ingin turun tapi tertahan. Tarikan nafasku naik turun.

Aku berbisik pada diriku sendiri, "Ayo. Aku Pasti bisa. Ayo, Nak. Kita berjuang bersama". Bu Bidan menuntunku membaca ayat-ayat suci sambil mengajak berpikir positif. Ibuku semakin erat memegang tanganku. Hampir satu jam kepala bayiku keluar masuk. Aku berusaha mengejan dengan sempurna namun terputus. Drama belum selesai. Bu Bidan dan asistennya tetap membaca ayat-ayat suci sembari mendorong perutku. Kontraksi semakin hebat namun nafasku lemah. Aku tetap mensugesti diri sendiri bahwa aku bisa melahirkan dengan normal. Pukul 00.00 aku menyerah. Aku meminta ibuku untuk memanggil suamiku. Aku pikir, dengan bersamanya akan mempermudah buah hati kami menyambut dunia.

Dan, bersama bu Bidan dan asistennya, suamiku diminta membantu mendorong. Tangan kekarnya mendorong perutku dengan kuat. Dua kali kontraksi hebat dan tepat pada pukul 00:15, Sabtu 12 Agustus 2017, bayi laki-laki itu berhasil keluar. Tapi nanti dulu, tidak ada tangis. Sunyi. Suamiku keluar dari ruang tindakan. Dalam hati ia tidak tega, katanya. Pikiranku kacau saat itu. Aku panik. Tangisnya tidak terdengar. Di pikiranku saat itu hanya, "dirujuk, dirujuk dan dirujuk". Allah. Bu Bidan mengangkat bayi merah itu sambil berkata, "Ya Allah, ini yang membuat ibumu kesakitan, Nak. Ini yang membuat kepalamu keluar-masuk cukup lama".

Ya. Bayiku terlilit tali pusar di lehernya. Ada dua lilitan. Tanpa berkata kembali, bu Bidan mengambil tindakan. Segera dibersihkannya bayi merah itu dan memasukkan sejenis selang di mulutnya. Dan, tangis yang kami nantikan hadir. Tangisnya lantang, keras, cukup menggetarkan hatiku. AlhamdulIllah. Aku menangis haru. Tangis ini yang sudah sangat aku nantikan. Setelah semuanya beres Bu Bidan berkata, "AlamdulIllah sehat. Berat 3 kg. Panjang 49 cm. Bayi Laki-laki. Mari IMD dulu".

Ya. Buah cinta kami telah hadir. Ia hadir di usia 31 bulan pernikahan kami, hampir tiga tahun. Suka duka mewarnai perjalanan kami untuk benar-benar bisa yakin, "Ya. Kami siap punya anak". Allah telah menyiapkan waktu yang tepat. Saat inilah waktu itu tiba.

Terimakasih atas segenap doa dan bantuan. Allahlah sang Maha Pembalas dari segala balasan. Amin.

Terimakasih sudah berjuang bersama Ibuk, Nak Ahmad Abroruz Zahidin, Zahid. 12 Agustus 2017. 00:15.

Selasa, 08 Agustus 2017

HPL? Worry or ......? Stay Strong and Calm!

Ouch, empat hari lagi HPL dan belum ada tanda-tanda yang signifikan.Worry or ..........?

Usia kehamilan yang sudah mendekati HPL pasti akan membuat seorang ibu khawatir. Apalagi jika saat itu adalah kali pertama kehamilan. Beragam perasaan pasti dirasakan oleh ibu. Seperti saat ini, usia kehamilan saya sudah ada pada titik 39 minggu lebih tiga hari. Artinya, empat hari lagi adalah hari perkiraan lahir, tepatnya pada usia kehamilan 40 minggu.

Perasaan khawatir kerap muncul. Apalagi dengan keadaan di sekitar yang mana ibu-ibu hamil yang seusia dengan kandungan saya sudah melahirkan. Ada yang maju semiggu, sepuluh hari, bahkan sebulan dari HPL. Perasaan was-was juga muncul setelah banyak sekali pertanyaan dari sekitar, kapan lahir? kapan HPL-nya? kok lama? kerasan ya dedeknya? dan lain sebagainya.

Beruntungnya, saya memiliki banyak sumber bacaan yang membuat saya melek jika saat ini bukanlah waktu untuk khawatir, cemas dan buru-buru. Idealnya, usia kehamilan adalah 38 - 42 minggu. Berarti, usia kehamilan saya masih dikatakan normal. Beruntungnya juga, saya punya bidan yang ndak nggesusoni alias ndak bikin saya worry dan buru-buru mengambil kesimpulan.

Selain lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan dan menambah aktifitas sehari-hari, saya juga mempelajari beberapa olahraga ringan yang dikhususkan untuk ibu hamil. Dengan harapan, usaha-usaha tersebut dapat mempercepat proses persalinan saya. Saya juga tetap mengkonsumsi makanan sehat - meski saya masih ndak doyan nasi & ikan - serta rajin minum multivitamin khusus ibu hamil. Beragam saran saya lakukan seperti minum satu sendok minyak kelapa dalam satu hari, minum air kelapa muda dan minuman khusus lainnya. Namun, segalanya memang ada pada Tangan Yang Maha Esa. Seberapapun ingin kita, jika Tuhan belum menentukan waktu yang tepat maka nonsense.

So, kuncinya adalah sabar. Stay strong and calm. Tetap tenang. Hindari pikiran negatif. Tidak perlu memikirkan apa-apa yang kurang penting. Dengarkan saran orang namun jangan dijadikan beban.

Patiently waiting for your coming, dear!



Nay,
09 Agustus 2017
13.02