Cari Blog Ini

Minggu, 15 September 2013

Rasa di Sekolah, Semanis Cokelat Panas Villa Latte.

Bagian Satu
           Bel tanda masuk berbunyi. Gadis itu masih asik dengan buku di tangan. Kursi duduk di sudut perpustakaan itu tidak juga bergeser. Penghuninya sedang menjamah lembar demi lembar seakan menciptakan dunia baru miliknya sendiri. Sementara di sudut ruangan yang lain, seorang berbadan tinggi tegap sedang memasukkan buku olahraga ke dalam rak. Kemudian ia menjinjing beberapa buku menuju meja petugas. Ia sempat berhenti di samping meja si gadis. namun kemudian ia melanjutkan langkahnya. Dari arah meja petugas, ia kembali menatap ke arah gadis itu. Ia masih tetap tidak bergeming. Dunia seperti miliknya sendiri.
----------------------
           "Kring.... Kring....Kring...". Bel tiga kali tanda belajar sudah berakhir. satu persatu siswa keluar dari kelas. menikmati kebebasan sejenak setelah hampir tujuh jam bergelut dengan buku, menjamah tiap lekuk papan tulis dengan mata sayu. Gadis itu kini nampak lesu dengan menjinjing ransel hitamnya. Ia berjalan santai menuju ruangan kecil di seberang kantor guru. Plakat putih bertuliskan "Sekretariat Mading" menggantung di pintu.
               Di dalam ruangan, beberapa siswa berseragam putih abu-abu sudah datang lebih dulu. Salah seorang dari mereka dengan tegas berdiri dan memberi isyarat agar gadis itu segera masuk.
"Baik teman-teman, langsung saja saya mulai rapat kita kali ini. Sebelumnya, mari kita berdoa dulu", pimpin Caca, pimred Mading SMA Bina Insani. Suasana hening sejenak menyelimuti ruangan tiga kali empat itu. Kei, gadis itu terlihat memainkan bolpoin hitamnya dengan keduatangan. Dia mencoba memasuki dunia ciptaannya sendiri.
               "Teman-teman, Minggu kemarin tim futsal kita mengikuti Regional Futsal School Competition. dan sebuah prestasi yang membanggakan karena mereka membawa harum nama sekolah kita dengan membawa piala juara. Nah, dari sanalah mading kita bertema untuk minggu ini. Nantinya, kita tidak akan hanya meliput tentang Tim Futsal, tapi juga beberapa prestasi kita yang lain. Seperti tentang guru bahasa kita, Bapak Sukonto yang baru-baru ini telah me-launching buku ketiganya". Terdengar riuh tepuk tangan dari peserta rapat. "Tentu saja yang menjadi headline kita adalah Tim Futsal. Setuju?". Semuanya mengangguk. Caca adalah pemimpin yang mempertimbangkan segala sesuatunya dengan matang sehingga idenya dapat diterima anak buahnya dengan lapang.
                    "Baik, saya dan tim sudah memutuskan untuk liputan kali ini akan dihandle oleh Lucy pada bagian Feature. Nantinya Lucy dan tim akan langsung mewawancarai narasumber yakni Kapten Tim Futsal kita, Ferli". Mendengar nama Ferli, sontak Kei mengangkat kepalanya. Dalam hati, ia mengginkan posisi itu. Ferli, lelaki tegap penguasa lapangan hijau adalah idola baginya. Meski mereka sudah saling kenal, namun ia tidak pernah berani menyatakan perasaannya. Caca seperti membaca kemana arah berfikir Keila. Ia pun melanjutkan rapat. "Dan untuk bidang kajian sastra dan hiburan, akan dipegang Keila sebagai ketua tim. Nantinya, liputan tentang buku baru pak Sukonto ada pada bagian ini".
                       Rapat berlanjut dengan pembagian tugas masing-masing tim. Setelah sekitar satu jam dan dirasa cukup, Caca menutup rapat dan merapikan catatannya. Satu persatu keluar dari ruangan. Hanya tersisa Caca serta Kei yang masih asik dengan dunianya.
"Keila sayang, bengong aja! pulang yuk".
"Ca, kamu kok jahat sih sama aku?".
"Kenapa? Ada yang salah?".
"You know me so well lah.. Ferli".
Caca hanya tertawa. "Udah ayo capcus ke Villa Latte. Udah ngidam Mocca Float nih"
Sepasang sahabat itu kini pergi menuju Villa Latte, kedai kopi di sudut jalan, tempat favorit mereka berburu segala jenis ide.

Bagian Dua
Secangkir cokelat panas mengepulkan asap ke langit-langit. Dua piring roti bakar keju serta satu gelas mocca float menjadikan meja persegi itu nampak meriah. Sepasang meja kursi di sudut kedai adalah tempat favorit bagi mereka berdua. Meja yang aman dari segala bising dan menjadi tempat tercurahkannya ide mereka berdua. Kei agaknya masih kurang bersemangat. Ia hanya melihat keluar jendela dan mengamati laju kendarann yang berlalulalang. Caca tersenyum melihat sahabatnya yang kini gusar.
"Kei, aku paham.... Tapi kita juga butuh profesinalisme. Setiap orang bisa bagus di satu hal namun belum tentu bisa untuk lain hal. Lucy bagus untuk itu. Liputannya untuk edisi kemarin sangat bagus. Itu acuan staf redaksi buat pasang dia di report kali ini. Dan kamu masih harus belajar untuk itu".
"Tapi Ferli, Ca...."
"Ini buat liputan, Kei.... You have to know it. Bisa ngerti kan Kei?
Keila hanya bernafas panjang dan meneguk cokelat panasnya. Bayangan Ferli sedang menggelayut di syaraf-syaraf otaknya.
----------------------------------------------
                  "Am I Jealous?", tanyanya pada cermin.
Rambutnya yang masih basah dibiarkan menjuntai. Dipandangi lagi wajahnya. Ia tidak pernah merasa segusar ini. Ia tidak paham apa yang seenarnya ia rasakan. Sepertinya, tidur adalah penyembuh yang tepat untuk hal semacam ini. Ia ingin beristirahat dari segala macam beban fikiran dan berharap semua akan baik-baik saja ketika ia membuka mata nanti.
                  Tetiba ponsel di atas ranjangnya berbunyi. Sebuah pesang singkat masuk. Dilihatnya sekilas lalu dilemparkannya kembali ke ranjang. Ia lalu sadar dari siapa pesan itu. Diambilnya kembali dan muncul sebuah nama: Ferli.
                      KEI, LAGI BINGUNG NIH TUGASNYA BU DINA. VILLA LATTE YUK....
AKU KE TEMPATMU. OK...
Sebaris huruf Y dan A ia ketik untuk membalas pesan Ferli. Keinginannya untuk beristirahat sepertinya sudah lepas.
---------------------------------------------
                     Villa Latte tampak lengang malam itu. Mereka duduk di tempat biasanya, sudut kedai dan menatap arah jendela. Satu persatu buku ia keluarkan dari tas. Dua cangkir cokelat panas berjajar di meja. Ditemani dua piring roti bakar keju lebih terlihat nikmat dan menggoda. Malam ini bukan malam pertamanya kencan tugas dengan Ferli. Sudah beribu masa mereka lewati berdua. Bukan hanya malam. Bukan hanya di meja Villa Latte. Tapi juga di bangku-bangku taman, di kantin, juga perpustakaan. Ketika pagi beranjak siang, pun ketika panas bersambut hujan. Mereka sering berdua, namun hanya dalam topeng "tugas sekolah". Entah apa yang mereka rasakan berdua. Yang jelas Keila merasa nyaman. Dengan cara itulah ia bisa lebih dekat dengan Ferli. Meskipun ia sendiri tidak paham apa yang ada dalam benak Ferli. Benarkah ia ingin bersama Keila atau hanya untuk memanfaatkannya? Apapun itu, Keila merasa bahagia meski sebenarnya ia sangat dibuat gusar.
                         Villa Latte masih lengang saat mereka berdua membereskan buku. Sudah hampir dua jam. Mereka tidak berkata apapun selain seputar tugas. Bercandapun hanya sebatas hal-hal biasa saja. Keila tampak melihat jam di tangannya. Ia merasa mengantuk. Ia ingin segera pulang, merebahkan sejenak tubuhnya dari segala kegusaran.
"Fer, kita langsung pulang ya...Aku pengan istirahat"
"Kamu lagi sakit, Kei? Kenapa gak bilang? Tau gitu gak usah keluar kan tadi..."
"Gak apa kok.. Yuk!"
"Iya, thanks ya, Kei... Aku ngerepotin kamu terus"

         Matic merah itu sudah berhenti di depan rumah Kei. Ia bergegas masuk setelah mengucapkan terima kasih. Ferli merasa aneh. Keila tidak seperti biasanya.
-------------------------------------------------------------
Rumah Caca.
             "Ca, menurutmu perasaanku ke Ferli itu apa sih?"
             "Apa bagaimana maksudmu, Kei?"
             "Aku jatuh cinta"
             "Halah, gaya kamu... Deket cuma gitu doang udah cinta? Kalian pernah ngobrol?"
             "Iya lah..."
             "About what? Tugas?
             "Hu'um"
           "Ealah Kei.... Aku saranin kamu buat belajar apa itu cinta". Caca tertawa sambil memukul bahu sahabatnya itu.
             "Aku mau belajar nulis liputan yang keren. Mana kak Fikri"
Fikri adalah kakak Caca. Ia adalah seorang wartawan di sebuah koran swasta. Keila merasa dengan Fikri-lah ia belajar menulis liputan yang tepat. Caca hanya tersenyum melihat sahabatnya itu. Ia pun memanggil kakaknya.
            "Kak, ini nih si kecil pujaanmu lagi pengen belajar nulis"
            "Hai, Kecil...."
            "Hai, kak... Apa kabar? Bantuin Kei gih......"
            "Tumben.... Ada apa-apa nih....Tulisanmu bagus loh Kei... Kenapa masih belajar sama kakak?", cibir Fikri.
        "Jadi begini ceritanya. Kei itu gak bis bikin liputan yang bagus. Nah, Caca gak kasih kesempatan buat Kei dapetin bagian itu. Kei gak mau dong kak... Kei harus bisa". Kata Kei panjang lebar.
           "Ada maunya tuh, kak... Gegara yang jadi narasumber itu si Ferli", celoteh Caca.
           "Oh.. Kak Fikri tahu!", sambutnya dengan senyum.
            Fikri pun segera memberikan catatan-catatan kecil untuknya. Keila hanya mengangguk-angguk tanda paham. Caca mengamati gerak-gerik sahabatnya itu. Inilah Keila, meski ia terlihat kurang bisa dewasa dalam masalah hati namun jika ia sudah menginginkan sesuatu maka ia akan selalu berusaha menggapainya.  Hal ini yang membuat Caca kagum akan sahabatnya itu.

Bagian Tiga
Lapangan Futsal Sekolah.
             Selepas sekolah, Ferli dan timnya berlatih di lapangan. Mereka terlihat sangat menikmati tendangan demi tendangan. Beberapa yang lain sedang duduk di bangku panjang menikmati mereka  yang sedang berlari mengejar benda bulat itu. Salah satu di antaranya adalah Lucy. Ia sudah siap dengan handy cam, bolpoin serta kertas yang penuh list pertanyaan. Lucy tidak sendirian. Ia meliput dengan dua timnya. Kapten ganteng dan gagah itu sedang meneguk sebotol air mineral lalu mengusap peluh yang membanjiri dahi dan lehernya. Lucy menghampirinya dan mengajak duduk di bangku panjang.
               Sementara itu, di sebuah jendela yang menghadap ke lapangan, seorang gadis sedang mengamati gerak-gerik mereka berdua. Seperti dihantam godam yang sangat berat di kepalanya, Kei merasa sangat pusing melihat keakraban mereka. Hatinya berasa ditusuk jarum yang baru saja dientas dari bara. Ia beralih pergi dan kemudian merunduk di mejanya. Ia pun kembali menciptakan dunianya sendiri.
---------------------------------------------------------------
                   Ferli merasa Keila seperti telah menjauhinya. Ia tak lagi bersedia menemaninya mengerjakan tugas. Di perpustakaan mereka tak pernah bertegur sapa. Sms Ferli tak pernah ia balas. Catatan-catatan dari Fikri ia abaikan begitu saja. Ya. Segala tentang Ferli ia biarkan lepas.
                          Ferli sendiri tidak pernah menyadari ada apa sebenarnya. Di samping itu, kedekatan Ferli dan Lucy tidak lagi sebatas pewarta dan narasumber. Mereka terlihat bersama di kantin, di taman, bahkan Villa Latte, saksi bisu segala cerita yang pernah ada.



Gresik, 15 September 2013
nay

Sabtu, 07 September 2013

Kepada Kawan

Kawan,
Andai engkau tahu betapa bahagianya aku. Aku sudah memiliki pekerjaan yang mapan. Menjadi seorang Guru. Ya kawan... Guru. Kamu tahu itu bukan cita-citaku yang sebenarnya.
Kawan, apakah kamu masih ingat saat aku bercerita tentang cita-citaku? Tentang aku yang iri melihatmu kemana-mana membawa kamera, block-note serta bolpoin. Kamu adalah wartawan di sebuah koran nasional. Persis seperti yang kamu cita-citakan. Tentunya sesuai dengan Jurusan Ilmu Komunikasi yang kamu ambil.

Hai kawan,
tentunya kamu masih ingat saat aku berteriak kepadamu ketika namaku ada di pengumuman ujian masuk universitas. Sungguh bahagia seakan terbeli ketika tahu aku akan menjadi bagian dari sebuah jurusan bergengsi di Universitas Negeri. Sastra Inggris. ya. Tentunya kamu tahu bagaimana aku berusaha meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku mencintai Sastra. Aku mencintai dunia ini.
Kawan, pun tentunya kamu ingat betapa aku selalu menyempatkan untuk mampir setiap minggu ke kantormu, hanya untuk menyelipkan satu dua amplop karya-karyaku di meja resepsionis. Aku tak pernah melewatkan satu detikpun tanpa meninggalkan buku kecil ini, yang selalu membawaku kemanapun aku pergi. Milyaran kata tertulis rapi di buku kecil, pemberianmu.

Kawan,
yang seperti itu adalah semata usahaku untuk terus belajar tentang segala isi dunia ini. Bahwa dunia akan terasa indah ketika tersusun dalan sebuah tulisan. Kamu pun tak pernah bosan menemaniku menjelajah tiap perpustakaan, menemukan bukti-bukti bukan hanya sekedar orasi, berbaik-baik dengan hati untuk keberhasilan imaji.
Kawan, kamu tentunya masih ingat  ceritaku saat aku bahagia dengan kuliahku. Aku mempelajari banyak hal tentang dunia. Sastra membawaku pada pemahaman tentang psikologi manusia, sejarah dunia yang bahkan tidak aku pahami sebelumnya, strata sosial yang mampu ciptakan karya, area geografis yang sangat indah, yang mampu membawa pada karya yang indah pula. Pun aku juga belajar tentang perhitungan yang tepat, diksi demi diksi yang mampu terjual sempurna, serta rima irama yang indah bergelora.

Kawan,
aku suka saat kamu memperhatikanku bercerita. Meski hanya diam lalu memetik gitarmu tanda bahagia. Kamu tahu, menjadi penulis adalah cita-citaku. Penulis yang tidak hanya mampu membawaku dikenal massa, namun juga yang bisa mengharumkan nama negara di dunia.

Kawan, maaf.... Pilihanku menjadi seorang guru bukanlah karena aku lelah menulis, bukan karena karyaku tidak laku dijual, bukan pula karena aku tidak berhasil menemukan pekerjaan. Namun inilah kata hati. Sudah saatnya aku berjalan atas naluri. Dan kau tahu, aku telah belajar banyak untuk ini. Aku telah belajar pelbagai jenis ilmu. Kau tahu itu, kawan...
Doakan aku saja. Ini urusanku dengan Tuhan. Dan aku tidak akan pernah menyerah untuk segala yang ada di angan.

Jumat, 06 September 2013

ILUSI: Sebuah Puisi

Tanyakan pada awan
saat aku enggan bergandeng tangan.
Berjalan sendiri-sendiri
saat aku enggan ditemani.
Lepas,
ingin menghilang melepas penat.
Terhempas,
raib melawan riak yang kian pekat.


Sanubarimu tak kuatkan lonceng keadilan
Hingar bingar mencari pembelaan sana sini
namun tetap tak mampu jadikan pedoman.


Lepaskan penat,
biar lenyap seiring hilangnya pekat.
Dan agar kau tahu bahwa bisumu adalah menipu
dan diamku adalah sesalmu.



Nay, 07 September 2013
13: 36

La Tahzan - Sisi lain Atiqah Hasiholan

La Tahzan. Ya. Akhirnya ini yang menjadi pilihan. Film garapan Danial Rifki ini diadaptasi dari cerpen karya Ellnoviyanti Nine yang berjudul "Pelajar Setengah TKI" yang kemudian ditulis dengan apik dalam skenario oleh Jujur Prananto. Yang menjadi tokoh utama adalah seorang mojang Bandung, seorang mahasiswi desain yang sedang belajar bahasa Jepang. Namanya Viona yang diperankan oleh Atiqah Hasiholan. Impiannya adalah bisa belajar di Kyoto University. Dan ia berhasil mencicipi Jepang setelah lembaga kursusnya membawanya untuk Arubaito, Belajar Sambil Bekerja.



Istilah cinta semi segitiga lebih saya sukai ketimbang cinta segitiga untuk cerita satu ini. Hasan (Ario Bayu) adalah sahabat Viona sejak kecil. Masalah yang dihadapinya membawanya untuk pergi ke Jepang. Ada problem di bengkelnya dan ia harus mengumpulkan pundi-pundi untuk pengobatan ibunya. Di sisi lain, Yamada (Joe Taslim) mengagumi Viona sejak pertama bertemu ketika tanpa sengaja Viona menabraknya saat ia buru-buru ke kedai Sushi untuk bekerja.

Kepergian Hasan yang tiba-tiba membuat ibunya khawatir dan berpesan kepada Viona untuk mencari anaknya. Dengan modal alamat yang diberikan ibu Hasan, Viona meminta tolong Yamada. Hampir bertemu, namun Hasan belum bersedia menemui Viona.

Hari demi hari dilalui Viona tanpa hasan. Ada saat dimana ia merasa nyaman berkawan dengan Yamada. Begitupun Yamada. Ia merasa telah jatuh hati dan berniat memperistri Viona.

Hasan sudah bersedia menemuinya. Mengetahui Viona sedang dekat dengan Yamada, Hasan hanya berpesan bahwa Viona harus ingat Tuhan. Yamada bukan pemeluk Islam. Karena itu, Yamada bersedia masuk Islam. Ia belajar ilmu agama, belajar tata cara salat dan sebagainya.

Sebuah kenyataan terungkap. Diam-diam Yamada memahami perasaan Viona dan Hasan. Mereka berdua sedang bergejolak. Ia kemudian sadar bahwa agama bukan mainan. Sebenarnya ia masih ragu untuk memeluk Islam. Ia hanya ingin Viona menjadi istrinya.

Saya memberikan dua sampai tiga bintang untuk film ini. Percakapan bahasa jepang yang hampir 60% digunakan membuat saya seperti merasa menonton film jepang. Akting Joe Taslim sangat natural di dukung dengan face-nya yang sangat Jepang sekali. Ario Bayu, sudah pasti tidak diragukan. Sedang Atiqah Hasiholan?

Saya melihat Atiqah berbeda di sini. Selama ini, saya melihatnya sebagai aktris yang selalu memiliki peran serius, high class, moderat, dewasa, dan sebagainya. Seperti di beberapa film yang pernah saya tonton. Antara lain Java Heat, Ruma Maida, Jamila dan Presiden serta Arisan. Di film ini, ia berperan sebagai gadis lulusan Desain yang aktif, lincah, ceria, sedikit manja dan kurang peka. Saya merasa karakter ini kurang pas dimainkan oleh Atiqah. Namun, saya juga melihat ia telah berusaha keras untuk menjadi Viona dengan baik. Di sinilah saya melihat sisi lain dari seorang Atiqah Hasiholan.

Well. La Tahzan. Artinya Jangan Bersedih. Saya masih bingung dimana letak La Tahzan di film ini. Dari awal cerita hingga akhir, saya konsentrasi untuk mereka-reka apa sebenarnya inti film ini. Dan saya hanya menemukan satu kata: Orenji! (red: Orange. Bahasa Jepang) Bahwa sesuatu yang terlihat manis di luar belum tentu manis di dalam. Apakah istilah Orenji ini berlaku bagi kisah hidup Hasan? Atau gambaran Jepang menurut kacamata Hasan dan Viona?
Satu hal yang saya pahami hingga sekarang, bahwa agama bukan permainan yang bisa kita mainkan sewaktu luang, agama bukan kartu yang bisa dibolak-balik sesuka hati. Agama adalah iman. Percaya di dalam hati.

Satu hal lagi, Original Movie Soundtrack yang memakai lagu Udje-Bidadari Surga sempat membuat saya sangat tertarik. Dan akhirnya, non-sense.


Salam.
Nay, 17 Agustus 2013
00:59

Kamis, 05 September 2013

Sudah lupa tanggal berapa kejadian sebelum-sebelumnya... Yang jelas, Senin 02 September 2013 adalah hari baru saya menyandang status sebagai seorang pengajar, guru bahasa inggris di salah stu sekolah menegah atas islam swasta di daerah dekat rumah saya. Tepatnya di kecamatan sebelah. Jauh dari anggapan tentang trah, garis keturunan, garis kekuasaan dan segala cibiran. Tidak pernah terencana sebelumnya bahwa saya akan memutuskun untuk berlabuh di pekerjaan satu ini. Basic saya yang bukan seorang lulusan sarjana pendidikan membawa saya takut dan sempat ogah untuk menjajal dunia ini. Namun, tekad dan keinginan saya yang mebawa saya untuk mengabdikan diri di sini. Jalan berfikir saya yang lebih realistis, tekad untuk tidak menganggur dan keinginan untuk mengamalkan ilmu saya adalah beberapa diantara alasan saya terjun di sini. Saya tidak berpikir bahwa saya bisa, namun saya berpikir bahwa saya harus terus belajar dengan mengambil tantangan-tantangan yang bahkan di luar jangkauan saya. Itu semata karena saya percaya bahwa Tuhan ada di dimana saja ketika saya membutuhkan-Nya. Dan satu yang harus diingat, bahwa saya akan tetap belajar menulis, menjual ide-ide saya lewat tulisan dan membahagiakan hati saya dengan karya. Bismillah. Semoga ini bukan jalan yang akan membawa saya kepada murka Tuhan. Semoga Tuhan meridhoi. Amin. Salam. Semangat!





Nay
05 September 2013
Twitter         : @nona_nay
Surel/FB      :  an_nuura@yahoo.co.id