Bukan
sebuah masalah jika bang Tri, seorang Preman Pasar Baru, tidak bisa makan
sehari-hari karena biasanya
ia masih bisa menjarah sisa dagangan para pedagang di sana. Tapi tidak dengan
hari ini. Hari dimana pandemi Covid-19 sedang berlangsung. Pasar Baru menjadi
bagian dari Zona Merah. Sudah saatnya diberlakukan PSBB. Banyak pedagang yang
memilih untuk bekerja dari rumah. Jualan mereka dijual secara online. Mereka
bersedia membayar lebih pada kurir asalkan dagangan mereka laku tanpa duduk
berjam-jam di pasar. Bang Tri kebingungan.
Mendadak ia dipaksa memahami keadaan. Tidak ada satupun setoran dari para
penghuni pasar yang sampai di tangannya. Praktis. Virus Corona sangat berdampak
pada kehidupannya.
"Sial. Kok ya ndak ada satu dua kios yang buka. Sudah
hampir tiga minggu ini aku gak nerima setoran", kata Bang Tri
kepada Mang Jana, si Tukang Becak.
"Ampun,
Bang. Sedari pagi saya
di sini.. ndak ada satupun yang naik becak. Saya ndak bisa bayar sekarang, Bang",
timpal Mang Jana.
"Gue
gak minta jatah lo hari ini. Gue tahu kita semua lagi susah sekarang"
Bang
Tri berlalu dari muka Mang Jana. Ia berjalan sesukanya sembari menendang kerikil-kerikil di jalanan.
Slayer kuning yang tadi melingkar di tangan kanannya kemudian ia lepas dan ditaruhnya di saku celana.
Di
sisi lain, pak Harun yang baru saja datang mulai membuka kiosnya di sebelah
pangkalan becak Mang Jana. Ia terlihat agak pucat.
"Pagi,
pak. Kok tumben agak siangan bukanya", sapa Mang Jana.
"Iya,
Mang. Badan lagi gak enak. Kata anak-anak plastiknya disuruh jual online saja
seperti yang lain. Tapi bapak gak mau. Siapa yang mau beli plastik online.
Bapak buka saja kiosnya. Itung-itung menghibur diri sendiri. Bosan di
rumah", balas pak Harun.
"Benar,
pak. Kalau saya sih lebih ke kebutuhan ya pak. Di suruh di rumah saja tapi
kebutuhan dapur harus dipenuhi. Kalau saya ndak narik ya makan apa
nanti". Mang Jana berkata kemudian.
"Tapi
bersyukurlah juga, Mang. Kamu
masih bisa makan kan..
Bukannya kemaren habis dapet sembako gratis ya dari pak kades", sela Pak
Harun, si Penjual Plastik.
Mang
Jana menjawab, "Iya. AlhamdulIllah. Tapi ya tetap butuh pemasukan, pak. Apalagi
sekarang Ramadhan. Anak saya
yang di kota ndak
bisa pulang. Gak ada yang kasih uang Lebaran. Disuruh pakek apa itu kerening
kerening apa itu saya
ndak mudheng".
"Rekening
maksudnya, Mang?", tanya pak Harun.
"Nah,
itu"
Mang
Jana manggut-manggut setuju.
Sementara
itu, Bang Tri yang masih menghisap rokoknya dalam-dalam kembali berjalan ke
arah Mang Jana dan Pak Harun. Ia memandang awan. Menerawang.
"Bang,
maaf ya saya ndak bisa setor uang harian. Plastik saya belum laku", kata
pak Harun.
"Eh
iya. Saya tau kok, Pak. Kita susah semua sekarang". Lamunan Bang Tri
ambyar.
"Tapi
maaf. Bang Tri gak dapat sembako gratis?", tanya Mang Jana kemudian.
"Saya
tidak masuk di KK atau KTP manapun, Mang. Mana bisa dapat jatah bantuan?".
Bang Tri membalas dengan malas lalu menendang
batu yang lebih besar di depannya. Kemudian ia berjalan
ke ujung selatan pasar. Berharap ada satu
dua kios yang masih buka dan bersedia membayar setoran.
Sore
itu, masjid di samping komplek Pasar Baru sedang mengadakan Kajian Virtual.
Hanya ada satu ustadz yang sedang cuap-cuap di depan kamera bersama beberapa
orang yang mendampiginya. Bang Tri yang tanpa sengaja lewat di depan masjid
tersebut tiba-tiba berhenti. Ia bergumam, "Biasanya ada bagi-bagi takjil
di sini. Tapi sekarang sepi"
Lalu,
ia melanjutkan perjalanan. Ia berjalan tidak tentu arah. Menahan perutnya yang
kelaparan sejak beberapa hari
sebelumnya.
Tiba-tiba
ia dikejutkan dengan suara sepeda motor yang berhenti mendadak di belakangnya.
"Hei,
lo Tri kan?, sapa orang di balik helm hitam itu.
"Sebentar.
Bukannya lo Umam? Yang tahun kemaren dipenjara gegara bunuh preman di pasar
sebelah?
Bang
Tri merasa mengenal laki-laki itu.
Tawa
laki-laki itu melengking.
"Rupanya
ingatan lo cemerlang juga. Ngapain lo di sini?"
"Nunggu
magrib. Kali aja di masjid itu nanti ada bagi-bagi takjil. Gue kayak udah puasa setiap waktu...setiap hari. Gak
ada uang buat beli makan. Gak ada yang mau kasih gue makan."
Tawa laki-laki itu melengking kembali.
"Kasihan banget sih Lo.
Lo laper? Mending lo ikut gue."
"Kemana?"
"Udah
lo ikut aja. Nanti lo pasti tahu sendiri"
Tanpa
banyak kata, Bang Tri naik di jok belakang motor N-Max hitam itu. Ia mau saja
dibawa kemanapun oleh Umam padahal ia tidak tahu rencana Umam yang sebenarnya.
Dalam pikirannya, ia hanya ingin perutnya kenyang.
Di
Pos Ronda Desa Kemuning yang sekaligus sebagai Posko Covid-19, beberapa warga
berkerumun. Pak Harun, si Penjual Plastik, selaku Ketua RT desa tersebut
menghampiri mereka yang tampak ribut sendiri. Tidak seperti pada umumnya, pikir
pak Harun.
"Eh
ini ada apa ribut-ribut?"
"Eh
Pak Harun. Kebetulan ada Bapak di sini. Begini pak.. Baru saja kami mengejar
maling. Tapi tidak ketemu." Kata lelaki bercelana pendek.
"Maling?
Tarawih-tarawih begini ada maling?"
"Benar,
pak. Tokonya pak Sukri ini barusan disatroni Maling, pak", balas lelaki
berpeci dengan sarung yang diselempangkan di bahunya.
"Ya,
pak Harun. Tadi saya sedang sholat berjamaah dengan anak dan istri saya di
ruang tamu. Tiba-tiba kami mendengar suara pukulan keras di pintu toko. Kami
melanjutkan tarawih saja. Ketika sampai witir istri saya menengok ke depan dan
berteriak. Ternyata pintu belakang toko saya sudah jebol. Istri saya melihat
dua orang laki-laki bertubuh besar sedang membawa dua kardus mie instant dan
sekarung beras berusaha keluar dari toko saya. Saya keluar dan berusaha
mengejarnya. Tapi hanya bisa meraih ini".
Pak
Sukri menjelaskan sembari menyerahkan sebuah slayer berwarna kuning kepada pak
Harun. Sepertinya pak Harun mengenal kain slayer itu. Namun ia tidak berani
berspekulasi.
"Lalu
bagaimana dengan kardus mie instant dan berasnya, pak?", tanya pak Harun
kemudian.
"Berasnya
ditinggal, pak. Mungkin dia takut karena kain slayernya saya ambil. Tapi yang
satu larinya gesit sekali. Dua kardus mie instant saya amblas. Ndak apa-apa sih
pak saya...wong yang diambil cuma mie instant. Tapi saya agak heran juga.
Kenapa maling kok maling mie instant ya pak?"
Pertanyaan
pak Sukri diamini juga oleh yang lain.
"Ya
sudah. Saya simpan kain slayer ini. Kalian sekarang pulang ke rumah
masing-masing. Ingat, physical distancing"
"Baik,
pak"
Kerumunan
warga itu bubar. Pak Harun kembali ke rumahnya dengan membawa slayer di tangan.
Pikirannya hanya ada pada satu nama, Bang Tri. Si Preman Pasar.
Sementara
itu, di basecamp preman Pasar Baru, yang merupakan sebuah bekas kios sayuran di
bagian ujung belakang pasar, tampak Bang Tri yang duduk ngos-ngosan. Di
belakangnya ada Umam yang juga bernafas berat sembari merangkul dua kardus mie
instant.
"Lagian
lo ngapain ngajak jalan sih? Lebih enak pakai N-Max lo itu"
"Lo
capek?" Tawa umam melengking.
"Ya
lagian...lo punya motor gedhe juga jelas uang lo ada banyak juga ngapain ngajak
gue maling mie instant ama beras. Gak
maling motor aja sekalian"
"Inget
lagi ada Corona, Tri. Maling motor mau lo jual kemana? Ini N-Max gue hasil
begal di kecamatan sebelah udah dapet tiga mingguan juga gak laku-laku.
Biasanya cepet kan gue jual gini-ginian. Gue juga laper bro. Dan mie instant
adalah salah satu yang realistis"
Tawa
Umam kembali melengking.
"Lo
ngapain sih keluar penjara kalo masih mental maling kayak gini"
"Salah
siapa coba. Enak-enak gue di dalem penjara segelanya terjamin. Tiba-tiba aja
dikeluarin gegara takut corona masuk di penjara. Gak mikir apa...di luar
penjara kita-kita bingung juga kan mau makan apa kerja apa orang gak ada yang
percaya lagi ama kita. Ya kita maling aja lagi buat nyambung idup". Tawa
Umam semakin melengking sekarang.
Bang
Tri memikirkan sesuatu. Ada benarnya juga perlataan Umam. Ia merasa dunia ini
sedang mengalami bencana yang sangat hebat. Sejujurnya, bencana itu bukan
karena Virus itu sendiri. Tetapi lebih kepada moral bangsanya. Jalan pikiran
bangsanya sudah di atas normal. Sepuluh persen kapasitas otak dari seratus
persen yang diberikan Tuhan kepada manusia digunakan untuk hal-hal di luar
nalar.
"Ah,
tapi aku benar-benar lapar", batin Bang Tri. "Persetan dengan segala
kejahatan yang ada. Ada benarnya juga kata Umam. Kita harus realistis".
Bang Tri manggut-manggut sendiri dengan pikirannya.
Esok
paginya, pak Harun mengendap ke belakang pasar untuk mencari keberadaan Bang
Tri. Ia mendapati sebuah Motor N-Max hitam terparkir di depan bekas kios sayur.
Ia mengintip di balik motor besar tersebut. Melalui pintu kios yang agak rusak
ia bisa mengamati dua orang di dalam kios sedang tidur pulas. Dengkurannya pun
cukup jelas terdengar. Ia mencoba mengintip dari jendela kios. Betapa kagetnya
ia karena melihat dua kardus mie instant sedang duduk manis di samping
laki-laki bertubuh besar dan bertato naga di pelipis kirinya.
"Bukannya
itu Umam?", batin pak Harun. "Bukannya dia dipenjarakan tahun lalu
ya? Kenapa bisa di sini sekarang? Dan seorang Umam kenapa maling Mie
Instant?". Banyak pertanyaan muncul di dalam benak pak Harun. Ia tidak
habis pikir dengan yang telah dilakukan oleh kedua preman yang terkenal luar
biasa kejam itu.
Tiba-tiba
ia tersandung sebuah kaleng bekas. Pak
Harun jatuh. Kombinasi suara kaleng bekas dan tubuh pak Harun yang membentur
tanah sepakat membuat Bang Tri dan Umam serempak bangun. Ia berlari ke depan
kios.
Sementara
itu, pak Harun yang ketakutan mencoba berdiri ingin kabur. Namun langkahnya
tertahan oleh tubuh Umam yang sudah berdiri mematung di sebelah kirinya.
"Ampun...Ampun....".
Pak
Harun memohon ampun.
"Ngapain
di sini?", tanya Umam dengan suara lantang.
"Maaf
saya hanya ingin mengembalikan ini"
Pak
Harun menyerahkan slayer berwarna kuning itu kepada Bang Tri. Sementara itu, Bang Tri hanya diam menerima benda itu.
Ada semacam wajah ketakutan terlihat dalam diri pak Harun. Namun ada yang lebih
menakutkan lagi. Tampang Bang Tri tidak seseram biasanya. Rupanya ia sangat
menahan lapar akibat Corona.