Cari Blog Ini

Kamis, 22 Oktober 2020

CERPEN - PERUT YANG LAPAR


Bukan sebuah masalah jika bang Tri, seorang Preman Pasar Baru, tidak bisa makan sehari-hari karena biasanya ia masih bisa menjarah sisa dagangan para pedagang di sana. Tapi tidak dengan hari ini. Hari dimana pandemi Covid-19 sedang berlangsung. Pasar Baru menjadi bagian dari Zona Merah. Sudah saatnya diberlakukan PSBB. Banyak pedagang yang memilih untuk bekerja dari rumah. Jualan mereka dijual secara online. Mereka bersedia membayar lebih pada kurir asalkan dagangan mereka laku tanpa duduk berjam-jam di pasar. Bang Tri kebingungan. Mendadak ia dipaksa memahami keadaan. Tidak ada satupun setoran dari para penghuni pasar yang sampai di tangannya. Praktis. Virus Corona sangat berdampak pada kehidupannya.

"Sial. Kok ya ndak ada satu dua kios yang buka. Sudah hampir tiga minggu ini aku gak nerima setoran", kata Bang Tri kepada Mang Jana, si Tukang Becak.

"Ampun, Bang. Sedari pagi saya di sini.. ndak ada satupun yang naik becak. Saya ndak bisa bayar sekarang, Bang", timpal Mang Jana.

"Gue gak minta jatah lo hari ini. Gue tahu kita semua lagi susah sekarang"

Bang Tri berlalu dari muka Mang Jana. Ia berjalan sesukanya sembari menendang kerikil-kerikil di jalanan. Slayer kuning yang tadi melingkar di tangan kanannya kemudian ia lepas dan ditaruhnya di saku celana.

Di sisi lain, pak Harun yang baru saja datang mulai membuka kiosnya di sebelah pangkalan becak Mang Jana. Ia terlihat agak pucat.

"Pagi, pak. Kok tumben agak siangan bukanya", sapa Mang Jana.

"Iya, Mang. Badan lagi gak enak. Kata anak-anak plastiknya disuruh jual online saja seperti yang lain. Tapi bapak gak mau. Siapa yang mau beli plastik online. Bapak buka saja kiosnya. Itung-itung menghibur diri sendiri. Bosan di rumah", balas pak Harun.

"Benar, pak. Kalau saya sih lebih ke kebutuhan ya pak. Di suruh di rumah saja tapi kebutuhan dapur harus dipenuhi. Kalau saya ndak narik ya makan apa nanti". Mang Jana berkata kemudian.

"Tapi bersyukurlah juga, Mang. Kamu masih bisa makan kan.. Bukannya kemaren habis dapet sembako gratis ya dari pak kades", sela Pak Harun, si Penjual Plastik.

Mang Jana menjawab, "Iya. AlhamdulIllah. Tapi ya tetap butuh pemasukan, pak. Apalagi sekarang Ramadhan. Anak saya yang di kota ndak bisa pulang. Gak ada yang kasih uang Lebaran. Disuruh pakek apa itu kerening kerening apa itu saya ndak mudheng".

"Rekening maksudnya, Mang?", tanya pak Harun.

"Nah, itu"

Mang Jana manggut-manggut setuju.

Sementara itu, Bang Tri yang masih menghisap rokoknya dalam-dalam kembali berjalan ke arah Mang Jana dan Pak Harun. Ia memandang awan. Menerawang.

"Bang, maaf ya saya ndak bisa setor uang harian. Plastik saya belum laku", kata pak Harun.

"Eh iya. Saya tau kok, Pak. Kita susah semua sekarang". Lamunan Bang Tri ambyar.

"Tapi maaf. Bang Tri gak dapat sembako gratis?", tanya Mang Jana kemudian.

"Saya tidak masuk di KK atau KTP manapun, Mang. Mana bisa dapat jatah bantuan?". Bang Tri membalas dengan malas lalu menendang batu yang lebih besar di depannya. Kemudian ia berjalan ke ujung selatan pasar. Berharap ada satu dua kios yang masih buka dan bersedia membayar setoran.

Sore itu, masjid di samping komplek Pasar Baru sedang mengadakan Kajian Virtual. Hanya ada satu ustadz yang sedang cuap-cuap di depan kamera bersama beberapa orang yang mendampiginya. Bang Tri yang tanpa sengaja lewat di depan masjid tersebut tiba-tiba berhenti. Ia bergumam, "Biasanya ada bagi-bagi takjil di sini. Tapi sekarang sepi"

Lalu, ia melanjutkan perjalanan. Ia berjalan tidak tentu arah. Menahan perutnya yang kelaparan sejak beberapa hari sebelumnya.

Tiba-tiba ia dikejutkan dengan suara sepeda motor yang berhenti mendadak di belakangnya.

"Hei, lo Tri kan?, sapa orang di balik helm hitam itu.

"Sebentar. Bukannya lo Umam? Yang tahun kemaren dipenjara gegara bunuh preman di pasar sebelah?

Bang Tri merasa mengenal laki-laki itu.

Tawa laki-laki itu melengking.

"Rupanya ingatan lo cemerlang juga. Ngapain lo di sini?"

"Nunggu magrib. Kali aja di masjid itu nanti ada bagi-bagi takjil. Gue kayak udah puasa setiap waktu...setiap hari. Gak ada uang buat beli makan. Gak ada yang mau kasih gue makan."

Tawa laki-laki itu melengking kembali.

"Kasihan banget sih Lo. Lo laper? Mending lo ikut gue."

"Kemana?"

"Udah lo ikut aja. Nanti lo pasti tahu sendiri"

Tanpa banyak kata, Bang Tri naik di jok belakang motor N-Max hitam itu. Ia mau saja dibawa kemanapun oleh Umam padahal ia tidak tahu rencana Umam yang sebenarnya. Dalam pikirannya, ia hanya ingin perutnya kenyang.

Di Pos Ronda Desa Kemuning yang sekaligus sebagai Posko Covid-19, beberapa warga berkerumun. Pak Harun, si Penjual Plastik, selaku Ketua RT desa tersebut menghampiri mereka yang tampak ribut sendiri. Tidak seperti pada umumnya, pikir pak Harun.

"Eh ini ada apa ribut-ribut?"

"Eh Pak Harun. Kebetulan ada Bapak di sini. Begini pak.. Baru saja kami mengejar maling. Tapi tidak ketemu." Kata lelaki bercelana pendek.

"Maling? Tarawih-tarawih begini ada maling?"

"Benar, pak. Tokonya pak Sukri ini barusan disatroni Maling, pak", balas lelaki berpeci dengan sarung yang diselempangkan di bahunya.

"Ya, pak Harun. Tadi saya sedang sholat berjamaah dengan anak dan istri saya di ruang tamu. Tiba-tiba kami mendengar suara pukulan keras di pintu toko. Kami melanjutkan tarawih saja. Ketika sampai witir istri saya menengok ke depan dan berteriak. Ternyata pintu belakang toko saya sudah jebol. Istri saya melihat dua orang laki-laki bertubuh besar sedang membawa dua kardus mie instant dan sekarung beras berusaha keluar dari toko saya. Saya keluar dan berusaha mengejarnya. Tapi hanya bisa meraih ini".

Pak Sukri menjelaskan sembari menyerahkan sebuah slayer berwarna kuning kepada pak Harun. Sepertinya pak Harun mengenal kain slayer itu. Namun ia tidak berani berspekulasi.

"Lalu bagaimana dengan kardus mie instant dan berasnya, pak?", tanya pak Harun kemudian.

"Berasnya ditinggal, pak. Mungkin dia takut karena kain slayernya saya ambil. Tapi yang satu larinya gesit sekali. Dua kardus mie instant saya amblas. Ndak apa-apa sih pak saya...wong yang diambil cuma mie instant. Tapi saya agak heran juga. Kenapa maling kok maling mie instant ya pak?"

Pertanyaan pak Sukri diamini juga oleh yang lain.

"Ya sudah. Saya simpan kain slayer ini. Kalian sekarang pulang ke rumah masing-masing. Ingat, physical distancing"

"Baik, pak"

Kerumunan warga itu bubar. Pak Harun kembali ke rumahnya dengan membawa slayer di tangan. Pikirannya hanya ada pada satu nama, Bang Tri. Si Preman Pasar.

Sementara itu, di basecamp preman Pasar Baru, yang merupakan sebuah bekas kios sayuran di bagian ujung belakang pasar, tampak Bang Tri yang duduk ngos-ngosan. Di belakangnya ada Umam yang juga bernafas berat sembari merangkul dua kardus mie instant.

"Lagian lo ngapain ngajak jalan sih? Lebih enak pakai N-Max lo itu"

"Lo capek?" Tawa umam melengking.

"Ya lagian...lo punya motor gedhe juga jelas uang lo ada banyak juga ngapain ngajak gue maling mie instant ama  beras. Gak maling motor aja sekalian"

"Inget lagi ada Corona, Tri. Maling motor mau lo jual kemana? Ini N-Max gue hasil begal di kecamatan sebelah udah dapet tiga mingguan juga gak laku-laku. Biasanya cepet kan gue jual gini-ginian. Gue juga laper bro. Dan mie instant adalah salah satu yang realistis"

Tawa Umam kembali melengking.

"Lo ngapain sih keluar penjara kalo masih mental maling kayak gini"

"Salah siapa coba. Enak-enak gue di dalem penjara segelanya terjamin. Tiba-tiba aja dikeluarin gegara takut corona masuk di penjara. Gak mikir apa...di luar penjara kita-kita bingung juga kan mau makan apa kerja apa orang gak ada yang percaya lagi ama kita. Ya kita maling aja lagi buat nyambung idup". Tawa Umam semakin melengking sekarang.

Bang Tri memikirkan sesuatu. Ada benarnya juga perlataan Umam. Ia merasa dunia ini sedang mengalami bencana yang sangat hebat. Sejujurnya, bencana itu bukan karena Virus itu sendiri. Tetapi lebih kepada moral bangsanya. Jalan pikiran bangsanya sudah di atas normal. Sepuluh persen kapasitas otak dari seratus persen yang diberikan Tuhan kepada manusia digunakan untuk hal-hal di luar nalar.

"Ah, tapi aku benar-benar lapar", batin Bang Tri. "Persetan dengan segala kejahatan yang ada. Ada benarnya juga kata Umam. Kita harus realistis". Bang Tri manggut-manggut sendiri dengan pikirannya.

Esok paginya, pak Harun mengendap ke belakang pasar untuk mencari keberadaan Bang Tri. Ia mendapati sebuah Motor N-Max hitam terparkir di depan bekas kios sayur. Ia mengintip di balik motor besar tersebut. Melalui pintu kios yang agak rusak ia bisa mengamati dua orang di dalam kios sedang tidur pulas. Dengkurannya pun cukup jelas terdengar. Ia mencoba mengintip dari jendela kios. Betapa kagetnya ia karena melihat dua kardus mie instant sedang duduk manis di samping laki-laki bertubuh besar dan bertato naga di pelipis kirinya.

"Bukannya itu Umam?", batin pak Harun. "Bukannya dia dipenjarakan tahun lalu ya? Kenapa bisa di sini sekarang? Dan seorang Umam kenapa maling Mie Instant?". Banyak pertanyaan muncul di dalam benak pak Harun. Ia tidak habis pikir dengan yang telah dilakukan oleh kedua preman yang terkenal luar biasa kejam itu.

Tiba-tiba ia tersandung  sebuah kaleng bekas. Pak Harun jatuh. Kombinasi suara kaleng bekas dan tubuh pak Harun yang membentur tanah sepakat membuat Bang Tri dan Umam serempak bangun. Ia berlari ke depan kios.

Sementara itu, pak Harun yang ketakutan mencoba berdiri ingin kabur. Namun langkahnya tertahan oleh tubuh Umam yang sudah berdiri mematung di sebelah kirinya.

"Ampun...Ampun....".

Pak Harun memohon ampun.

"Ngapain di sini?", tanya Umam dengan suara lantang.

"Maaf saya hanya ingin mengembalikan ini"

Pak Harun menyerahkan slayer berwarna kuning itu kepada Bang Tri. Sementara itu, Bang Tri hanya diam menerima benda itu. Ada semacam wajah ketakutan terlihat dalam diri pak Harun. Namun ada yang lebih menakutkan lagi. Tampang Bang Tri tidak seseram biasanya. Rupanya ia sangat menahan lapar akibat Corona.