Cari Blog Ini

Selasa, 18 November 2014

Saya dan Literasi

Membudayakan literasi adalah cita-cita saya. Entah bagaimana caranya, saya ingin mempunyai perputakaan pribadi di rumah, berada pada lingkungan yang benar-benar "melek" literasi serta mampu mendidik anak-anak saya nanti dengan kebiasaan satu ini. Secara pribadi, saya mulai tenggelam dalam dunia literasi sejak dini. Saya sangat bersyukur dilahirkan di sebuah keluarga yang sadar betapa pentingnya membaca dan menulis. Saya terbiasa mendengar tante (adik dari bapak) saya yang selalu mendongeng sebelum saya tidur. Nenek saya pun melakukan hal yang sama. Kenapa bukan ibu saya? karena saya sudah punya adik ketika usia saya masih dua tahun jadi saya lebih banyak tidur dengan Tante dan Nenek. Meski begitu, ibu saya yang notabene adalah guru Taman Kanak-Kanak akan selalu meminjami saya buku-buku cerita bergambar dari perpustakaan sekolah, tentunya yang sesuai dengan usia saya. Bapak saya juga hobi membaca. Di rumah, kebanyakan buku-buku agama, filsafat islam, sejarah islam dan beberapa kitab kuning lainnya adalah milik Bapak. Saya baru sadar, kepergian Bapak sembilan belas tahun silam meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi kami ketiga anaknya, yakni buku-buku itu.

Saya sudah khatam Qishosul Anbiya' pada usia saya yang masih sembilan tahun. Meski saat itu saya tidak membaca ayat-ayat yang termaktub di dalamnya, namun saya dapat dengan mudah terbawa suasana ketika membaca kisahnya hingga di luar kepala. Saya lebih dahulu tahu tentang kisah Nabi Khidzir dan Nabi Musa ketimbang teman-teman saya saat itu. Ketika pelajaran Aqidah di sekolah sedang membahas itu, saya sudah memahami dan merasa pintar sendiri (Jangan ditiru kalau yang ini. Anak kecil biasa ingin mencari perhatian guru dengan menjadi sosok serba tahu dan bahkan sok tau).

Saya tidak pernah dipaksa untuk membaca. Saya selalu ingin tahu tentang hal-hal baru. Di rumah, banyak sekali cergam-cergam sederhana yang biasa saya beli di tukang mainan depan SD sdulu. Masih ada beberapa seperti Kisah Nabi-Nabi, Surga -Neraka, Punakawan, dan beberapa Cerita Misteri. Kalau tidak salah buku-buku kecil nan tipis itu harganya lima ratus rupiah, sekitar akhir tahun sembilanpuluhan atau awal duaribuan. Selain itu, saya rajin ke perpustakaan sekolah hanya untuk mengobrak-abrik majalah Mentari dan Bobo di lemari. Dua majalah itu yang selalu menjadi incaran saya. Saya sering bermimpi menjadi Nirmala dan saya paling muak dengan paman Gober. Saya juga ingat, buku paket Bahasa Indonesia jaman saya SD dulu terbitan Balai Pustaka. Di dalamnya banyak sekali cerita rakyat. Dari sinilah saya tahu cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Roro Jongrang dsb.Ketika SMP, saya mulai bisa membeli buku yang agak "mahal". Saya selalu hunting komik detective Conan dan Doraemon di Pasar Pahing, pasar desa setempat. Selain itu komik-komik jepang lainnya saya pinjam dari teman. Barulah ketika SMA saya lebih serius membaca dan terkesan lebih memilih bacaan yang berat-berat.

Rasa ingin tahu yang tinggi tidak serta merta menghentikan bacaan saya pada satu buku itu saja. Saya akan selalu mencoba untuk mencari tahu hubungan-hubungan lain yang saling berkaitan dengan apa yang sedang saya baca. Seperti pada saat itu saya duduk di kelas dua SMP (sekarang kelas delapan). Saya menemukan istilah Segitiga Bermuda dari komik Doraemon. Ceritanya Nobita dkk terperangkap ke dalam segitiga sesat itu. Banyak kapal atau pesawat yang selalu hilang di sana. Saat itu saya belum mengenal internet. Dengan membawa sejuta penasaran saya menanyakan hal itu kepada guru Geografi. Dan saya pun menemukan jawaban yang logis tentang Bermuda. Jawabannya sangat ilmiah, tidak seperti tayangan televisi islami jaman sekarang yang yakin jika Bermuda adalah istana Dajjal (eh).

Bagi saya membaca adalah perintah Tuhan. Bukankah yang diperintahkan Tuhan untuk Muhammad pertama kalinya adalah Iqra', bacalah? Tidak membaca sama dengan mangkir dari peritah Tuhan, itulah yang saya jadikan pemacu untuk terus membaca dan membaca. Bagi saya, membaca adalah candu. Sedikit saya mencobanya pasti ketagihan lagi dan lagi. Membaca bukanlah perkara mudah. Membaca itu ibarat salat. Jika hanya membaca tanpa tahu tujuannya, alur ceritanya, hubungan dengan hal-hal lain dan segala tetek-bengeknya maka membaca itu batal, tidak sah dan nonsense.

Selanjutnya tentang menulis. Bertahun-tahun setelah bangsa primitif meninggalkan tulisan gambar, potongan dan bunyi mulailah dikenal tulisan alfabetis yang kita kenal sekarang ini. Menulis adalah sejarah. Apa yang pernah terjadi biarlah menjadi masa lalu namun menulislah. Tulisan itu nantinya akan memberikan pembelajaran yang sangat berharga jika kita pernah khilaf di masa lalu. Sebaliknya, ketika dalam masa lalu kita bahagia maka tulisan itu akan menjadi sebuah perwujudan rasa syukur kita yang mendalam. Sukarno saja pernah bilang bahwa kita janganlah sampai melupakan sejarah. Dari mana kita tahu sejarah bangsa kita jika para pakar sejarah itu tidak menuliskan penemuannya dalam buku-buku yang nantinya kita baca. Bahkan Much Khoiri dalam essainya Andaikata Gajah Mada Menulis Memoar (2014) berandai-andai jika sang Maha Patih itu dapat menuliskan sejarahnya maka Indonesia akan cerdas akan pengalaman-pengalaman maha dahsyat di masa lalu. Kiranya begitulah makna penting bagi Literasi, khususnya membaca dan menulis.

Literasi sebenarnya tidak hanya mencakup ranah membaca dan menulis saja. Banyak sekali media literasi yang ada. Namun, Indonesia belum sepenuhnya kenal dengan Literasi. Hal yang paling sederhana contohnya adalah membaca. Kebiasaan membaca yang minim membuat pemuda dan pemudinya terasa tertinggal jauh di belakang. Sementara para youth dinegara bagian lain sudah melangkah jauh di depan. Di Inggris misalnya, kita akan dengan mudah menemukan pejalan kaki yang membaca sambil berjalan, makan siang di kantin, di dalam trem, bis dan sebagainya. Di Indonesia? Saya sering membaca di angkot, di halte sambil menunggu bis sepulang kerja dan ketika berjalan di trotoar. Namun apa hasilnya? Saya dianggap sok pintar, aneh dan lucu. Sungguh ironisnya budaya kita.

Akhirnya, membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat berkaitan. Bacaan ada karena ditulis. Menulispun harus berdasar apa yang dibaca. Membaca adalah perintah Tuhan. Menulis adalah investasi hidup kita di masa akan datang. Membacalah sejauh matamu memandang. Menulislah sejauh tanganmu mampu menggapai. Pada saatnya, keniscayaan itu akan ada. Pasti.


Nay
Gresik, 18 Nopember 2014
23:05

Kamis, 13 November 2014

Jejak Budaya Meretas Peradaban - Diary Sang Motivator

Membaca adalah candu. Barisan kata itulah yang selalu terpatri di alam pikir saya, bahwa membaca selalu membuat ingin lagi dan lagi. Bagi saya candu itu bukanlah bercangkir-cangkir kopi, rokok atau apapun. Buku selalu menjadi sesuatu yang membuat saya ingin dan ingin terus membaca. Saya bisa menghabiskan lima ratus halaman dalam satu hari untuk jenis buku apapun, dengan catatan saya sedang tidak banyak tugas dan pekerjaan. Saya bisa membaca dimana saja, di kamar sambil mendengar musik, sambil sms calon suami, sambil menonton televisi, sambil menunggu angkot ketika pulang kerja, ketika di dalam angkot atau bis, sambil makan siang di food court atau dimanapun.

Akibat kecanduan, rasanya hampa jika tidak ada satupun buku yang harus dilahap. Hingga akhirnya saya mendapat kiriman buku dari seseorang yang saya kagumi, dosen pembimbing skripsi saya. Dua ratus dua halaman ini harus saya habiskan dalam tiga hari karena ada beberapa hal yang harus saya kerjakan disamping kesibukan mengajar di beberapa tempat. Ya. Jejak Budaya Meretas Peradaban milik Much Khoiri a.k.a pak emcho ini telah membuka lebar mata saya betapa banyak jalan Tuhan yang belum saya cicipi, bahwa saya adalah hamba yang kecil, belum bisa apa-apa, bahwa saya adalah kerdil dan tidak layak untuk menyombongkan diri.

Kumpulan Essai, saya lebih suka menyebutnya Diary, milik pak Emcho ini menyajikan empat puluh satu tulisan yang dibagi menjadi tiga bagian, antara lain Jejak Safari Budaya, Jejak Etos-Inspirasi dan Jejak Hikmah-Kearifan. Kesemuanya merupakan rangkuman perjalanan beliau dari mulai yang berhubungan dengan studi, pekerjaan hingga kehidupan pribadinya. Kehangatan sebuah keluarga, kerja keras, istiqomah dalam belajar dan bekerja serta kelucuan-kelucuan namun filosofis dihadirkan dengan renyah disini. Bahasanya yang ringan namun lugas membuat essai-essai ini tidak terkesan berat untuk dibaca.

Saya yang notabene adalah mahasiswi Sastra merasa sangat terbantu dengan adanya buku ini. Pengetahuan saya bertambah. Bagaimana multikulturalisme dalam berbangsa dan bernegara itu sungguh penting (dalam essai Spirit Multikulturalisme: Mutual Understanding). Prinsip Otherness (liyan) menjadi penting dari sekedar keseragaman atau kesamaan. Saya jadi teringat almarhum Gus Dur yang selalu menomorsatukan keberagaman bukan keseragaman.

Disamping itu, posisi saya sebagai tenaga pendidik juga merasa sangat terbantu dengan munculnya tulisan-tulisan pak Emcho, terlebih dalam hal pengajaran bahasa. Permainan wacana disajikan sangat baik dalam artikel berjudul Otewe. Begitupun juga dengan judul Di Atas Langit Ada Langit membawakan konsep pengajaran genre teks yang jarang disampaikan dengan jelas oleh guru bahasa dikarenakan perbendaharaan pengetahuan yang belum cukup.

Kemudian saya menjadi iri ketika membaca Melintasi Khatulistiwa, Plane or Train?, Duel dengan Street Boy di New York, dan Dinner Produktif bersama Pak Profesor. Ternyata bukan hanya tubuh saya yang kerdil, nyali saya pun demikian. Saya belum memiliki kemampuan yang cukup untuk menjelajahi dunia. Saya belum bisa menikmati sisi lain dari sekian juta kilometer luasnya Bumi Tuhan.

Ke Rumah Tegar, Yang Pulang dan Yang Datang serta Rumah Kami Kembali Sepi membawa saya pada perenungan yang teramat dalam. Betapa kehangatan sebuah keluarga utuhlah yang sedang saya rindukan saat ini. "Rumah Tegar" membawa saya rindu "Rumah Bapak" yang jarang saya kunjungi akhir-akhir ini.  

Pada akhirnya saya mengutip penggalan puisi Langston Hughes, bahwa tanpa impian, hidup adalah burung yang berpatah sayap yang tak kuasa terbang. Tanpa impian pula hidup adalah ladang tandus yang membeku bersama salju. Mungkin saya tidak bisa sepenuhnya mewujudkan mimpi-mimpi saya. Namun saya justru akan lebih mudah terjatuh dan tak kuat menahan beban jika saya tidak mempunyai mimpi yang tinggi. Semoga saya dapat memetik hikmah inspirasi dari buku ini, seperti yang pak Emcho pesankan di cover buku: 
Noura, Selamat membaca dan memetik hikmah ispirasi.
TTD
23.10.14






Nay,
13 Nopember 2014
21:16

Jumat, 02 Mei 2014

GA - Ya Rabb Aku Galau





Pernah galau????
Saya termasuk tipe perempuan yang mudah sekali ketahuan ketika sedang galau. Mungkin karena wajah saya yang melas ya.. (hihihi spoiler)
Jadi begini… Saat itu akhir tahun 2011. Saya sudah harus memprogram skripsi untuk tugas akhir S1 saya. Setelah lulus proposal, saya lanjut analisa per bab. Nah, Desember 2011 nenek saya meninggal. Kedekatan saya dengan beliau membuat saya sempat terpukul. Rasanya, perasaan belum siap kehilangan telah membuat saya sangat marah pada keadaan. Hasilnya, hampir satu bulan skripsi tidak saya pegang sama sekali.
Februari 2012 saya  mulai ngebut dengan skripsi. Saya benar-benar ingin segera lulus dan dapat mengikuti wisuda di bulan Juli. Satu bulan saya bergelut dengan buku sumber, intens bertemu dosen pembimbing, revisi dan terus revisi. Maret 2012 petaka itu kembali mendera. Saya mendapati teman dekat saya (kami pernah berstatus pacar selama dua tahun lalu kami memutuskan untuk menjadi teman saja karena dirasa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya) sedang dekat dengan seseorang dan saya mengenal baik perempuan itu. Hati mana yang tidak sakit. Saya merasa dibohongi. Skripsipun terbengkalai kembali. Banyak sekali revisi yang harus saya kerjakan sementara otak saya tidak cukup kuat untuk merumuskannya.
Dan April 2012 saya bertekat untuk segera menyelesaikan segala yang tertunda. Dengan tidak menghiraukan apapun, minggu kedua Mei 2012 saya berhasil sidang. Tentu dengan adanya revisi di beberapa hal. Saya kerjakan dengan sepenuh hati. Hingga pada akhirnya saya mendapatkan kabar jika saya lulus sidang dengan nilai A. Saya bahagia. Namun, kegalauan saya belum berhenti di situ. Apakah saya bisa menyandang gelar sarjana di bulan Juli? Tuhan belum berpihak kepada saya.
Salah satu syarat kelulusan di universitas tempat saya belajar adalah nilai TEP (sejenis TOEFL) minimal 500 untuk jurusan bahasa inggris dan 450 untuk semua jurusan selain Bahasa Inggris. Karena saya mengambil jurusan Sastra Inggris maka saya harus menyelesaikan hutang nilai 500 itu. Petaka tersenyum kepada saya. Sebelas kali saya harus bolak-balik di nilai 480, 470, 487, begitu seterusnya. Saya sempat patah semangat. Kemungkinan wisuda bulan Juli sudah sirna. Pendaftaran wisuda sudah ditutup. Saya tidak mungkin mengikuti tes kembali dengan rentang waktu sedekat itu. Saya pun menghibur diri saya sendiri untuk dapat merelakan jika saya harus wisuda di bulan Oktober 2012.
Tuhan menjawab doa saya. Kegalauan saya membuahkan sebuah prestasi. Tes yang keduabelas, nilai saya mencapai target. Saya mulai percaya jika selagi ada usaha maka apapun dapat terwujud. Usaha itulah yang disebut dengan proses. Sebanyak apapun proses yang harus saya lewati, yakinlah bahwa pada proses yang terakhir kebahagiaan itu akan didapat. Masalahnya, kita tidak pernah tahu kapan datangnya proses terakhir itu. Mungkin seperti inilah para pakar berproses, seperti Thomas Alfa Edison yang menemukan pijar bohlam terbaik pada percobaannya yang ke 9999.
Saya percaya, Galau itu penyakit hati. Penyakit yang dibuat sendiri oleh hati dan fikiran kita. Kolaborasi keduanya membuat kita bingung untuk bertindak, tidak bisa berfikir jernih, sehingga mengganggu aktifitas kita sehari-hari. Obat galau juga bergantung pada hati kita masing-masing. Jika kita memandang segalanya dengan positif, pasti penyakit itu akan hilang dengan sendirinya. Tentunya dengan tidak pernah melupakan bahwa segala yang terjadi adalah dengan adanya campur tangan Tuhan. Hanya kepada-Nyalah kita menyerahkan segala keluh kesah. Dan hanya kepada-Nyalah kita memohonkan segala jalan.
Stop Galau! Jika tetap galau, kita harus berkaca pada hati masing-masing. Sudah sedekat apakah kita dengan Tuhan???



Noura ‘Nay’ Nahdliyah

03 Mei 2014

Kamis, 01 Mei 2014

The Espressologist - Antara Kopi dan Cinta Sejatimu

"Temukan cinta dalam secangkir kopi favoritmu"
The Espressologist - Kristina Springer




Paperback, 304 pages
Published 2012 by Qanita (first published October 27th 2009)
original title
The Espressologist
ISBN139786029225266
edition language
Indonesian
Translated by I Gusti Nyoman Ayu Sukerti


Tagline di atas adalah pembuka yang manis untuk menikmati lembar demi lembar karya Kristina Springer bertajuk The Espressologist. Novel terjemahan yang dialihbahasakan dengan renyah oleh I Gusti Nyoman Ayu Sukerti ini cocok dinikmati di senja yang hangat, ditemani kopi favorit dalam cangkir. Tema remaja dengan jalan cerita yang unik menjadikan novel ini begitu menarik. Teknik penerjemahan yang cocok bagi pembaca remaja menjadikan novel ini begitu mudah dipahami. Klasik. Tema berkutat seputar kehidupan usia belasan, percintaan dan persahabatan serta bullying yang kerap muncul di sekitar remaja.

Jane Turner, seorang pelayan – lebih tepatnya barista di sebuah kedai kopi Wired Joe's milik Derek sedang berada di atas awan kala itu. Kepiawaiannya dalam meracik kopi serta memadu-padankan selera kopi membuatnya populer. Derek mempromosikannya sebagai asisten dan mebuatkan program khusus untuknya setiap jumat malam. Jane akan beraksi dengan bolpoin dan notebook-nya. Ya. Sang Ahli espresso itu sedang beraksi. Aksinya untuk menelisik lebih dalam karakter pelanggannya lewat secangkir kopi yang dipesan, lalu kiatnya untuk memadu-padankan tiap-tiap karakter sehingga didapatkan sepasang muda-mudi yang siap untuk kencan adalah ide yang unik dan langka untuk sebuah cerita teenlit.

Kristina Springer membawa pembaca menyelami karakter demi karakter lewat aliran lembut dalam secangkir kopi favorit. Konflik remaja masa kini seperti bullying digambarkan dengan apik lewat konflik Jane dengan teman satu sekolahnya, Melissa. Persaingan keduanya untuk mendapatkan bangku utama di sebuah kampus desain ternama membuat mereka sering terlibat cek-cok. Selain itu, persahabatan manis antara Jane dan Em dibungkus rapi oleh Springer meski harus ada sedikit yang robek dikarenakan masalah hati. Misinya mempertautkan hati Em dengan Cam dirasa kurang tepat. Ya. Cinta sempat membuat persahabatan mereka sedikit terganggu

Misi Espressology itu berawal ketika Gavin, pelanggan setia Wired Joe’s, putus cinta. Jane berinisiatif untuk menjodohkannya dengan teman yang lain berdasarkan selera kopinya. Hingga pada akhirnya justru ia sendirilah yang menemukan pasangannya lewat secangkir kopi favoritnya.

Meski bukan pecinta kopi sejati, agaknya siapapun yang membaca karya Springer ini akan dibuat penasaran dengan karakter seperti apakah yang sesuai dengan kopi favoritnya. Siapapun juga dapat meracik sendiri kopi Wired Joe's karena di bagian belakang novel terdapat cuplikan resep espresso yang beraneka. Unik dan menarik.

Akhirnya, jika anda pecinta kopi sejati mari membaca karya apik ini!


Nay,

01 Mei 2014

Selasa, 22 April 2014

Tentang Kami....

"Delapan tahun kita lewati. Berbagai rintangan kita hadapi. Dan ini saatnya kita wujudkan mimpi-mimpi yang sempat terpendam. Salah satu mimpi terindahku adalah meminangmu. Aku ingin memiliki keturunan darimu. Aku ingin kamu menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Maafkan aku atas segala mimpi buruk yang pernah hadir dalam hidupmu. Semua itu karena ulahku. Maaf. "

sender: 085645079***
received: 23:35:57
21-04-2014



Hati siapa yang tak trenyuh membaca untaian kalimat yang begitu menyejukkan itu. Sms itu praktis membuat malamku berderai air mata. Setelah sebelumnya seseorang menyanyikan penggalan lagu dari Motif Band bertajuk Tuhan Jagakan Dia. Kemudian dilanjutkan dengan obrolan ringan, canda tawa, hingga berhenti pada barisan huruf di atas. Kami berstatus pacar, tapi kami bukanlah pasangan yang sering bertemu setiap kali, pergi kemana saja berdua atau melewatkan setiap sabtu malam bersama. Kami memiliki jalan sendiri. Usia kami bukan lagi belasan yang kerap berkeliaran kesana-kemari. Cerita kami sungguh sangat di luar apa yang pernah kami berdua pikirkan.


Kami saling mengenal di pertengahan 2006. perkenalan kami membawa pada satu titik keakraban kami sebagai teman, sahabat, adik dan kakak. Setahun kita melewati hari-hari bersama, kami mulai merasa tertarik satu sama lain. Kami berdua bukan type orang yang peraya akan Love at the First Sight. Bukan berarti pemilih, tapi kami sangat berhati-hati untuk masalah hati.

20 April 2007 adalah awal dari segala cerita. Ikrar suci itu kami ucapkan atas dasar saling percaya. Ya. Kami memutuskan untuk lebih dari sekedar teman, lebih dari sahabat dan lebih dari sekedar adik dan kakak. Kami berjalan bersama. Hati kami berpagut mesra meski tak pelak badai pun kadang mencoba mendekat dan menghempaskan kokohnya hati kami. Sampai pada akhirnya, 30 Agustus 2010, kami sudah tidak kuat untuk menjalani ini bersama. Selain karena jarak yang cukup jauh, kepercayaan di antara kami pun juga mulai pudar. Kami dihadapkan pada ego yang sama-sama tinggi. Alam bawah sadar kami berusaha untuk selalu menang sendiri.


Akhir 2010, 2011 sampai awal 2012, hampir dua tahun aku tidak pernah lagi mendengar tentangnya. Hanya satu dua kabar yang menyebutkan bahwa dia sudah bahagia bersama yang lain. Aku sangat terpukul. Aku sama sekali tidak pernah percaya dia semudah itu melupakan semuanya. Aku saja sungguh terlampau sulit ketika semakin ingin melupakannya. Aku yang keterlaluan atau bagaimana?

Juni 2012. Rasa itu tumbuh kembali. Entah. Sebenarnya aku ingin berlari namun tenagaku sudah tak cukup. Aku ingin berhenti, berhenti dan diam di hadapannya. Aku benar-benar tak kuasa berjalan sendiri. Satu kenyataan, bahwa dia sempat sangat merasa terpukul atas keputusan kami saat itu. Dan dua tahun yang kelam itu semata-mata hanya untuk pencarian jati dirinya. Ya. Dia mengalami krisis identitas. Dia biarkan dirinya berjalan jauh hingga sampai tak sadar ia terlampau jauh menembus batas. Dia khilaf.

Pertemuan-pertemuan tak sengaja berikutnya membuat hati kami terpanggil kembali. Namun, kami belum cukup siap untuk menjalani apa yang pernah kami sepakati bersama. Hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk berjalan bersama tanpa ada paksaan. Biarkan hati kami yang memilih. Dan, 12 Desember 2012 hati kami sudah memilih. BismIllah.

Badai itu belum cukup. Abad kegelapan itu sering sekali mengusik. Aku kurang percaya meski dirinya berusaha beribu-ribu kali menjelaskan. Rasa trauma membuatku selalu merasa curiga. Tuhan, aku inngin percaya, tapi ketakutanku begitu besar....

Juni 2013, hatiku mantap memilihnya.

Dan setelah itu, tidak pernah ada lagi kebohongan di antara kami. Hati kami sudah berpagut erat.

Kini, April 2014, sudah delapan tahun kami saling mengenal. Kami bukan lagi anak kemarin sore yang bisa dengan mudahnya diombang-ambing oleh segala godaan. Satu hal yang selalu ia ajarkan adalah "Sabar". Kami pernah jatuh oleh ego kami masing-masing. Kami pernah sakit karena ulah kami sendiri. Jika saja saat itu kami sabar, mungkin delapan tahun ini tidak akan ternodai oleh kata putus-nyambung ribuan kali.

Dan, kami punya mimpi-mimpi. Suatu saat kami akan memperoleh kenyataan dari mimpi-mimpi kami. Percayalah, semua akan indah pada waktunya. Tuhan tidak pernah tidur.



Nay
22 April 2014

Jumat, 04 April 2014

Senja dalam Cinta dan Kehangatan Pulau Weh

sumber gambar: http://bentangpustaka.com/wp-content/uploads/Sunset-in-Weh-Island-3D-300x300.png




Judul                            : Sunset in Weh Island
No. ISBN                    : 2010019068258
Penulis                          : Aida M.A.
Penerbit                        : Bentang Belia
Tanggal Terbit               : Januari 2013
Jumlah Halaman            : 260
Kategori                       : Remaja
Teks Bahasa                 : Indonesia


Sunset in Weh Island adalah sebuah novel remaja yang ditulis oleh penulis muda berbakat, Aida M.A. Novel setebal 260 halaman ini diterbitkan oleh salah satu lini Bentang Pustaka, Bentang Belia. Novel terbitan tahun 2013 ini menyuguhkan keindahan alam Indonesia yang sangat memesona, terlebih pada latar utama cerita yakni di pulau paling ujung Indonesia, Weh, Sabang.
Seperti novel remaja pada umumnya, Sunset in Weh Island menceritakan tentang cerita cinta khas remaja pada sebuah tokoh unik bernama Mala serta pemuda tampan berkebangsaan Jerman, Axel. Mala adalah  seorang remaja cerdas, puteri kecil Bram, pemilik salah satu cottage di Ie Boih. Ia bukanlah gadis seksi yang sintal dan cantik. Dia kurus, tidak terlalu tingga serta berkulit cokelat. Namun sikapnya dewasa, cerdas dan imut. Persis seperti mendiang Mommy, isteri Bram.
Pertemuan dua hati ini berawal ketika Mala berada dalam satu kapal yang sama dengan Axel, bule Jerman yang datang ke Indonesia dengan niat hilang sementara dari segala hal tentang Marcell, sahabat yang telah mengkhianatinya. Pertentangan akan penjualan sebuah gudang milik Marcell yang telah dijadikan markas latihan tim reggaeton, perpaduan tarian hiphop dan latin, asuhan Axel inilah yang membawanya terbang berjam-jam dari Frankfurt ke Jakarta lalu menetap menemani pamannya, Alan, di sebuah surga eksotis di ujung Sumatera bernama Weh.
Cottage Alan, yang juga sebuah tempat pelatihan diving, bersebelahan dengan cottage Laguna milik Bram. Inilah yang membuat keduanya bertemu. Mala selalu menyajikan menu-menu baru di cottage bersama dengan Fida serta Rahmat, pasangan suami istri yang menjadi pegawai Bram. Selain mereka, ada pula Raffi, sang istruktur diving, idola Mala sejak dari SMA yang selalu memanggilnya dengan sebutan Adik Kecil.
Pertemuan tidak sengaja Axel dan Mala membawa mereka pada perseteruan khas remaja. Axel menjuluki Mala dengan The Accident Girl karena kecerobohannya. Mala memanggilnya dengan Curly karena rambut Axel yang ikal. Mereka tidak pernah bisa berbicara dengan sikap bersahabat. Namun pada akhirnya hati mereka terpaut. Ketika Mala merasa jika perasaannya kepada Raffi sungguh sangat mustahil. Raffi telah memiliki kekasih, seorang gadis pemenang ajang kecantikan. ia sangat jauh berbeda dengan Mala. Axel pun sedang resah akan permasalahannya dengan Marcell. Dua kali ia merasa dihianati. Setelah kepergian ibunya ke LA lalu persahabatannya denga Marcell. Pasca itu semua, ia semakin tidak percaya dengan cinta. Diantara kepercayaan, harapan dan cinta ia hanya memilih sebuah kepercayaan. Dan mereka berdua, ibunda Axel serta Marcell, adalah dua orang yang tidak bisa dipercaya. Dari curhatan malam itu, terasa ada sesuatu yang bebeda di hati mereka berdua.
Mala memiliki kebiasaan yang unik. Melihat sunset di senja yang menakjubkan membawa ingatannya melayang pada dimensi lain tempat Mommy berada. Rindunya kepada Mommy membuatnya kerap berderai air mata. Angin senja akan selalu membawa salamnya kepada Mommy di surga. Dengan kebiasaannya ini, Mala membawa Axel ke setiap tempat yang menyuguhkan pesona keindahan sunset. Menikmati burung kembali pulang serta menyaksikan awan yang berkejaran dengan mega merah membuat tautan hati keduanya semakin kuat.
Membaca Sunset in Weh Island, kita akan diajak menyusuri jengkal demi jengkal jalanan kota Sabang. Dimulai dari pelabuhan Balohan yang menghubungkan dengan Banda Aceh, sepanjang jalan danau Aneuklaot, Pantai dan alam bawah laut yang menakjubkan di  Pulau Rubiah serta Tugu Sakti Nol Kilometer, titik nol kilometer Indonesia. Seperti membaca sebuah buku destinasi perjalanan, keterangan kota demi kota dijelaskan secara gamblang namun tidak membosankan. Kenangan demi kenangan disajikan begitu romantis. Kedewasaan dalam bersikap dan berkata setiap tokohnya menjadikan novel ini bukan lagi novel remaja yang cengeng, manja, akan tetapi sebuah cerita yang sangat berbobot, unik namun terkesan tidak menggurui. Penjelasan singkat tentang diving menambah nilai plus di novel ini. Begitu pula dengan penggunaan bahasa jerman dalam beberapa dialog dapat memberikan kesan eksklusif dan menarik pada sebuah novel remaja.
Tidak akan pernah bosan membaca novel ini. Meski jalan cintanya bisa ditebak seperti novel remaja pada umumnya, namun cara Aida M.A. menarasikan satu persatu deskripsi sebuah kota, pertautan dua hati yang tidak disengaja, serta gejolak ego remaja membuat pembaca betah berlama-lama serta  ingin terus dan terus melahap lembar demi lembar hingga halaman terakhir.
Akhirnya, Sunset in Weh Island telah memberikan satu warna berbeba pada genre novel remaja Indonesia. Keindahan Bumi Indonesia, Nilai Persahabatan, Kasih Sayang Orang Tua, Cinta, Kata Hati, Kecerdasan serta Proses Pendewasaan dikemas secara apik membuat novel ini layak dibaca.

Saya beri Empat Bintang.



Gresik, 05 April 2014
Noura "Nay" Nahdliyah


Berikut ini kutipan yang menurut saya sangat berkesan:
-          “Kamu lihat bagaimana laut yang tenag kemudian bergelombang, membawa ombak naik, surut, menepi, lalu kembali lagi. Itu perumpamaan hidup manusia. Tuhan membuatmu memiliki sahabat, tapi bersamaan dengan itu Tuhan memberimu seorang musuh. Bahkan itu bisa terjadi dari seseorang yang tidak kamu harapkan sama sekali……………” Alan kembali bertanya……dst (pg 192)
-          “Kalau kamu mencintainya, tunjukkan saja.tapi, kamu harus percaya, sakit dan bahagia itu satu paket. Kita tak bisa memilih bahagia saja dan menghindari duka. Sebagai pengandaian, kamu nggak bisa beli sepatu sebelah kiri saja karena yang kanan diciptakan dan difungsikan secara bersamaa. Percayalah, Mala…saat kamu bisa menerima keduanya, hatimu akan lebih tenang”. (pg 201)
-          Aku tidak mencintaimu karena sebuah kepercayaan, tapi aku percaya bahwa ketika kita saling mencintai maka kita akan saling menjaga, saling memberi yang terbaik. Coz you, you just come and go like a beat, like the same song on the radio, fast forward and rewind. Play that song again..and again. (pg 223)
-          “Kamu tahu? Di belahan bumi mana pun aku pergi, aku tahu separuh hatiku tertinggal di sini, karenanya aku selalu kembali, di sini, di hatimu.” (pg 243)


End

Minggu, 30 Maret 2014

Saat Tuhan Bersama Kita

Diam...
Bukan berarti Tuhan sedang bermuram
Bukan berarti Tuhan benci akan segala laku
Bukan Tuhan diam atas segala harap
Tuhan hanya butuh waktu...
Tangannya hanya butuh saat yang tepat untuk berbuat.


Tanganmu biarkan tetap menengadah,
Lalu biarkan tuhan menjalankan sisanya.

Tuhan selalu bersama kita.


Nay, Penghujung April 2014
2:42 pm

Kamis, 06 Februari 2014

Sang Leprechaun

Ia biasa dipanggil Leprechaun. Tubuh lapuknya tak henti mengganggu siapaun yang berani setor nyawa ke rimba. Jantan, rakus dan tua. Bahkan kerikilpun bisa dijualnya. Begitu kata nenek suatu sore. Aku yang masih berusia tujuh tahun mudah saja mengamini cerita nenek. Baru ketika aku menginjak belasan, aku baru tahu jika semua itu tak ubahnya dongeng pengantar tidur. Leprechaun tidak ada. Lelaki tua itu bukanlah Lucifer, kurcaci, goblin atau apapun. Manusia. Ya. Dia manusia. Sama seperti kita.

Aku membawa kapak menuju rimba. Pagi itu aku mememani kakek menebang kayu untuk ditukar dengan setampuk roti. Sisa-sisa kayu yang tidak terjual biasanya digunakan nenek untuk mendidihkan sup jagung kesukaan kami. Ceracau burung pagi menghantarkan kami lebih ke tengah rimba. Kami berpencar. Kakek melirik pohon quercus di arah barat. Aku diutusnya ke selatan. Satu pesannya, jangan sekali-kali ke seberang. Di sana tinggal bangsa jin. Salah satunya adalah Leprechaun.

Sungai itu tidak terlalu luas, tapi kata kakek sungai ini tidak berujung. Semaknya tinggi dan aku tidak benar-benar yakin apa benar dibaliknya ada kehidupan. Sebenarnya ada satu sisi yang tidak bersemak. Orang-orang biasa mencari ikan di sana. Namun tentunya mereka tidak akan membiarkan anak laki-laki belasan sepertiku untuk sendirian di sana.


Pohon oak berdaun rimbun berdiri kokoh di bibir sungai. Inilah satu-satunya pohon yang mampu menaungi kepala-kepala pemegang kail. Kayu bakar yang sedari tadi kukumpulkan sekarang sudah menggunung. Aku beristirahat sejenak di bawah rimbunan daun oak sembari menunggu kakek. Ini adalah tempat kami biasa berkumpul.

Angin semilir serta sapaan riuh burung-burung membuatku sedikit terpejam. Namun aku segera terperanjat. Tetiba aku melihat sekelebat bayangan membelah semak-semak tinggi itu lalu berjalan cepat agak pincang. Aku sangat penasaran. Apa itu yang disebut dengan Leprechaun? Sosok tua yang sangat mengganggu, rakus dan suka menghabisi siapapun yang berani sendirian ke tengah rimba.

Aku melihat sebuah sampan telah ditinggalkan pemiliknya. Aku menoleh ke belakang. Kakek belum muncul, pikirku. Ada niatan untuk menyeberangi sungai dengan sampan lapuk itu. Antara iya dan tidak lalu aku memberanikan diri menyeberanginya. Di seberang, aku ikatkan tali pada batang oak lapuk dan melanjutkan langkahku membelah semak.


Tanahnya sedikit becek. Seperti perpaduan gambut dan pasir. Aku mengikuti jejak-jejak yang tertinggal di tanah. Jika ia sebangsa jin mengapa jejak kakinya terekam jelas, pikirku. Jalanan semakin sempit. Belukar itu telah memakan seluruh jalan dan hanya sisa setapak. Suara hewan kecil riuh terdengar. Pohon-pohonnya semakin tinggi dan matari mulai enggan menelisik lebih dalam.

Aku masih mengikuti jejak dalam rimba yang belum aku pahami ujungnya. Tetiba aku mendengar sebuah pintu terbuka. Aku bersembunyi di balik pohon yang cukup lebar tubuhnya. Di ujung jalan, tampak sebuah rumah kayu yang tidak begitu lebar. Seorang berjubah abu berjalan bungkuk sedang membuka pintu. Pintu berdecit dan terbuka. Tangan kirinya membawa sesuatu yang berdarah. Sepertinya ia baru saja berburu rusa.

Aku menyelinap menuju rumah kayu itu. Aku bersembunyi di bawah jendela samping. Asap mengepul di atasnya membuatku agak tersedak. Mungkin ia sedang menyiapkan belanga untuk rusa buruannya tadi.

Aku berdiri dan tanpa sadar kepalaku membentur daun jendela. Suaranya rapuh mencoba mendekat. "Siapa di sana?". Keringat dingin mengucur dari ubun-ubun hingga kaki. Aku takut melangkah. Namun tubuh itu telah ada di depanku, di balik jendela itu.

Aku hanya terdiam. Beberapa saat kemudian tanganku sudah ada dalam genggamannya dan dengan terseok dia membawaku ke dalam. Bau dedaunan yang diuapkan di atas bara cukup menyengat. Kanan kirinya terlihat rak-rak menjulang tinggi berisi tumpukan kitab bersampul kulit. Di sisi lain, kepala rusa dan harimau menyeringai lepas. Aku didudukkan di atas bangku panjang menghadap ke ranjang.

"Sedang apa kau di luar, anak muda? Kau mengikutiku?"

Aku hanya menunduk antara takut dan malu. Lalu dia menuangkan cairan semacam sirup ke dalam cawan tembaga dan menyerahkannya kepadaku. "Minumlah. Bagaimana kamu bisa sampai di tempat ini?"

Aku memberanikan diri untuk segera membuka suara. Kuceritakan satu dua musababku hingga sampai di sini. Lalu ia pun bercerita. Aku merasakan ada kejujuran di setiap katanya, ada seberkas perih di setiap nadanya, dan ada luka yang membekas dalam di hatinya.

Dulu, pekerjaannya adalah peracik obat. Hanya karena tidak mampu meracik kesembuhan akan wabah lepra yang menimpa penduduk desa ia kemudian diusir jauh dari desa. Tidak ada tempat yang mampu memberinya pijakan. Semua orang menganggapnya setan penghancur kehidupan. Hingga ia menemukan tempat ini, jauh di tengah rimba, tempat segala bahaya. Orang-orang membuat beragam ceritera tentangnya.

Aku terdiam. Dongeng nenek ternyata salah.

Nay
Jan 14

Jumat, 10 Januari 2014

Melek Sejarah Lewat Film Sang Kiai




keterangan gambar: www.muvila.comflickmagazine.net
Sutradara Rako Prijanto
Produser Gope T. Samtani
Pemeran Ikranagara Christine Hakim Agus Kuncoro Adipati Dolken
Studio Rapi Films
Tanggal rilis 30 Mei 2013http://id.wikipedia.org/wiki/Sang_Kiai


Film besutan Rako Prijanto ini layak untuk dijadikan acuan sejarah. Pasalnya, hampir 90% isi cerita sepadan dengan sejarah aslinya. Keotentikan cerita serta tata artistik yang tidak main-main mengantarkan film ini menjadi sebuah sajian yang istimewa. Maka tak heran jika film tersebut memborong sejumlah penghargaan pada FFI (Festival Film Indonesia) tahun 2013 lalu dan mendapatkan kesempatan untuk diputar kembali pada tanggal 9 Januari 2014 di seluruh bioskop di Indonesia.. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa film tersebut adalah film terbaik sepanjang tahun tahun 2013. Meskipun film Sang Kiai merupakan film biopik pertama karya sang Sutradara, namun film tersebut digarap secara total sehingga layak menjadi film tersukses dari sekian banyak film karya sang Sutradara.
Sang Kiai berkisah tentang Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan bapak perjuangan salah satu Organisasi Massa Islam Terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama’. Film tersebut menceritakan dengan lugas bagaimana perjuangan kaum pesantren lewat peran sertanya membela Tanah Air. Sejarah tidak begitu jelas merangkum jejak para santri ini, namun sebenarnya tonggak perjuangan bangsa dan peristiwa perang membela Tanah Air atas penjajahan adalah atas prakarsa kaum bersarung dan berpeci yang hampir 60% menduduki wilayah Indonesia, terlebih pada peristiwa Sepuluh Nopember.
Rekam jejak perjuangan kaum santri tidak begitu banyak diketahui pernah diungkap Idham Chalid pada tulisannya di www.suarakaryaonline.com yang menyebutkan bahwa pengabaian tersebut disebabkan karena beberapa hal. Salah satunya adalah ketakutan akan anggapan bahwa NU adalah organisasi yang radikal dengan menyerukan Jihad fi Sabilillah, berperang dijalan Allah dalam membela tanah air. Hal tersebut berseberangan dengan reputasi NU yang sebenarnya yakni moderat dan kompromis.
Sang Kiai diawali dengan penjemputan paksa Hadratus Syaikh, diperankan Ikranegara, oleh pasukan tentara Jepang tanpa ada alasan yang jelas. Diduga penangkapan tersebut dikarenakan posisi pondok pesantren Tebuireng yang diasuh oleh beliau berada di wilayah pabrik gula Cukir yang sedang mengalami kerusuhan. Penangkapan tersebut kemudian menjadi awal dari pembelaan kaum santri sebagai wujud taat kepada Maha Gurunya. Perlu diketahui pada zaman tersebut masyarakat lebih taat dan patuh terhadap guru atau kiai dibandingkan dengan pemerintahan manapun. Penagkapan paksa tersebut juga ditengarai atas dasar ketidakpatuhan Hadratus Syaikh pada perintah Jepang yakni untuk melakukan Seikkerei atau menundukkan tubuh Sembilan puluh derajat sebagai tanda penghormatan bagi Kaisar Tertinggi Jepang dan terlebih kepada Dewa Matahari. Hal tersebut berdasarkan keyakinan dan aqidah Hadratus Syaik serta umat Islam lainnya bahwa yang layak disembah hanyalah Allah SWT.
Jika diamati, film tersebut berusaha menyajikan keseluruhan bagian sejarah yang tidak pernah diungkapkan dalam buku sejarah. Seperti ketika perjuangan arek-arek Suroboyo melawan sekutu yang dikenal dengan sebutan peristiwa sepuluh nopember. tak bayak diketahui bahwa bung Tomo, pembakar semangat perjuangan arek-arek Suroboyo sowan (red: berkunjug untuk meminta nasihat) kepada Hadratus Syaikh.Beliau yang memberikan saran kepada bung Tomo untuk menambahkan Kalimat Takbir "Allahu Akbar" sebanyak tiga kali pada pidatonya. Dan beliau pulalah yang mencetuskan untuk membentuk Hisbullah, barisan milisi yang ikut bertindak dalam peristiwa sepuluh Nopember tersebut. Seperti digambarkan dalam filmnya bahwa awal pembentukan Tentara Hisbullah adalah ketika Hadratus Syaikh diperintahkan Tentara Jepang untuk ikut serta mengumpulkan pasukan pribumi menghadapi perang antar sekutu di Burma.
Yang menjadi nilai plus dalam film ini justru adalah tokoh figuran Harun yang diperankan oleh Adipati Dolken. Secara penuh ia bertambah matang dalam perannya. Pendatang baru tersebut terlihat sangat berusaha menampilkan yang terbaik. Meski ada beberapa perannya yang terkesan datar, namun secara keseluruhan ia telah menampilkan sajian yang hebat.Terlebih pada peristiwa kesalahpahaman antara pasukan milisi atas kedatangan Jenderal Mallaby dan anak buahnya di sepanjang jalan Jembatan Merah Surabaya. Kedatangan Mallaby yang berusaha memberitahukan peristiwa Gencatan Senjata antara sekutu dan pemerintahan Indonesia kepada Pasukan India pimpinannya dimaksudkan lain oleh pasukan pribumi. Pasukan India pimpinan Mallaby memulai baku tembak kepada pasukan pribumi karena tidak mengetahui gencatan senjata tersebut akibat jaringan komunikasi yang terputus. dari baku tembak inilah kemudian Jenderal Mallaby tewas. Dalam sejarah, penembak Mallaby masih misterius. Tidak ada satupun yang mengetahui siapakan sosok penembak Mallaby yang ditemukan tewas di dalam mobilnya dan bersamaan dengan itu lemparan granat menghanguskan mobilnya. Dalam Sang Kiai, pemunculan Harun yang ikut serta dalam barisan Hisbullah menjadi sosok yang disoroti. Pasalnya ia menjadi sosok yang selama ini misterius. Dalam film tersebut, Harun menembakkan pistolnya tepat di kapala Mallby setelah mengendap lama di balik mobilnya disusul dengan lemparan granat oleh anak buah Mallaby yang ditujukan kepada Harun. Pada akhirnya ia syahid.
Ada beberapa hal yang menarik dalam film tersebut. Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratus Syaikh dijelaskan secara rinci sehingga dapat mencadi sedikit pencerahan bagi awam yang kurang paham tentang apa itu Resolusi Jihad. Selain itu, amalan-amalan yang diajarkan oleh Hadratus Syaikh dan menjadi amalan keseharian NU dijelaskan secara gamblang seperti kebiasaan takbir sebanyak tiga kali, yasinan ketika ada orang meninggal, memperbanyak sholawat, mencium tangan guru atau kiai, sikap tawadhuk (red: patuh) antara murid dengan guru dan lain sebagainya. Jalan pemikiran Hadratus Syaikh dan putera-puteranya, lebih khusus pemikiran Kiai Wahid Hasyim (Agus Kuncoro) menjadi satu hal yang unik untuk dikaji. Keputusan mereka tunduk kepada Jepang bukan berarti tunduk dan bertekuklutut secara penuh. Hal itu dimaksudkan sebagai cara santun dalam menyerang musuh dari dalam. Pemikiran yang terkesan membelok dan aneh tidak dapat dicerna oleh akal pikiran manusia biasa, bahkan santri-santrinya sendiri.
Selain daripada itu, tata musik serta tata artistik yang sangat mirip dengan keadaan pada jamannya memberikan kesan otentik dan nyata. Adegan pemukulan Jepang kepada kaum santri, hukum Rajam yang dihadapi Hadratus Syaikh serta siksaan demi siksaan dapat memberikan kesan nyata sehingga penonton merasa trenyuh melihatnya. Meskipun pada dasarnya adegan seperti itu tidak layak ditonton oleh usia anak-anak dan orang-orang yang dangkal pemikirannya. 
Pada akhirnya, film Sang Kiai memang layak ditonton. Terlepas dari motif apa pembuatan film tersebut, film Sang Kiai dapat membuat mata penonton sadar (melek) atas sejarah yang sempat dikaburkan, tentang perjuangan membela Negara, tentang ilmu dan menghormati seorang Guru, tentang kewajiban membela tanah air dan bangsa serta ketaatan pada suami sebagai Imam dunia dan akhirat.
Satu kesimpulan. Perjuangan Hadratus Syaikh tidak boleh berhenti sampai di sini saja.



Gresik, 10 Januari 2014
nay