Cari Blog Ini

Sabtu, 14 Mei 2016

Menilik Nasib Kelam Indonesia lewat Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman



Judul : Me Hwa dan sang pelintas zaman
  Penulis: Afifah Afra
ISBN : 978-602-1614-11-2
Tebal : 364 hlm
Cetakan pertama :  Januari 2014
Penerbit : Indiva Media kreasi
 

Menilik Nasib Kelam Indonesia lewat Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman

Resensi oleh: Noura N


Sinopsis:
“Dia korban perkosaan,” bisikan lelaki berjas putih itu menyakitiku. Korban perkosaan. Aku mengerang. Meradang. Seakan ingin memapas sosok-sosok beringas yang semalam itu menghempaskan aku kepada jurang kenistaan. “Kasihan dia,” ujar lelaki itu lagi, samar-samar kutangkap, meski gumpalan salju itu menghalangi seluruh organ tubuhku untuk bekerja normal seperti sediakala. “Kenapa?” tanya seorang wanita, juga berpakaian serbaputih. “Rumahnya dibakar. Tokonya dijarah. Ayahnya stress, masuk rumah sakit jiwa. Dan ibunya bunuh diri, tak kuat menahan kesedihan.”

--------------------
Membaca Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman (MHSPZ) pembaca dibawa berkelana masuk lorong waktu dan berhenti pada peristiwa memilukan yang pernah terjadi pada bangsa Indonesia. Peristiwa tahun 1965 yang tercatat sebagai salah satu masa kelam bangsa menjadi latar peristiwa keseluruhan ide dalam novel ini. Ditambah dengan cerita kelam semasa orde baru – tahun 1998 – tentang penjarahan massal serta perlakuan tanpa etika bagi etnis China.
Bercerita lewat dua sudut pandang yang berbeda membuat novel ini terasa unik dibanding novel sejenis. Dibuka dengan latar peristiwa akhir tahun sembilan puluhan, novel ini mengisahkan tentang gadis cerdas dari etnis Tionghoa bernama Mei Hwa yang sedang menempuh kuliah di Jurusan Kedokteran salah satu kampus terkemuka di kota Solo. Gadis inilah yang kemudian menjadi sentra cerita dan terhubung dengan wanita pelintas zaman bernama Sekar Ayu, seorang wanita yang pernah merasakan peliknya hidup di berbagai zaman.
Mei Hwa  merasa bahwa hidupnya tidak berarti lagi pasca pemerkosaan yang terjadi pada dirinya semasa kerusuhan Mei 1998. Keluarganya mengalami goncangan berat. Harta bendanya habis. Ayahnya harus masuk Rumah Sakit Jiwa, ibunya mati bunuh diri dan kedua kakaknya tanpa kabar. Mei Hwa sendiri mengalami pukulan hidup yang hebat sehingga ingatannya sedikit kacau.
Bertemunya dengan Sekar Ayu membuat Mei Hwa sadar bahwa dirinya tidak sendiri. Masih banyak yang mengalami kepahitan hidup serupa namun tetap tegar melangkah. Di sinilah mengapa ikatan batin mereka kuat. Pada akhirnya, memang antara mereka ada pertalian yang tidak terduga.
Sebagai novel sejarah, MHSPZ menghadirkan fakta-fakta yang jarang terungkap. Dibumbui dengan fiksi yang manis, novel ini mampu menghadirkan satire yang kocak dan mengena, sesuai dengan kejadian pada zamannya. Pembaca seperti dibawa menilik lebih dalam tentang nasib bangsa Indonesia sekitar tahun 1965 kala PKI berjaya dan kerusuhan Mei 1998.
Gaya bertutur penulis dalam menyampaikan ide cerita juga ringan. Hanya saja, sudut pandang orang ketiga untuk menggambarkan seorang Sekar Ayu lebih bagus dibanding dengan gaya penceritaan Mei Hwa yang menggunakan sudut pandang "aku". Hal ini dapat dilihat pada saat Mei Hwa dirawat di rumah sakit pasca kerusuhan. Ia diceritakan sedang terganggu mentalnya. Hal ini seakan kurang pas. Seorang yang sedang terganggu mentalnya dapat dengan mudah bercerita sesuatu yang seharusnya tidak disadari. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut, saat Mei Hwa merasa dirinya berubah sebagai burung Elang:
"Seekor burung gereja mencicit, hinggap di sebuah dahan lemah di tepi jendela. Tertawaku semakin buncah. Kujulurkan paruhku kepada burung gereja itu, mencibir dengan sedahsyat-dahsyatnya cibiran"
Di samping itu, ada beberapa bagian yang sangat disayangkan adanya. Hal ini dapat dilihat pada kalimat yang terdapat pengulangan seperti kata "ini" dan "itu" yang ditulis berulang dalam satu paragraf. Selain itu, banyaknya tokoh membuat cerita kurang fokus. Pembaca dirasa harus menuliskan catatan khusus agar mengetahui jalan cerita tokohnya secara keseluruhan. Seperti contohnya hubungan antara Sekar Ayu dengan kakek neneknya, ayah ibunya, paman bibinya serta orang-orang di sekitarnya.
All in all, Mei Hwa dan Sang Pelintas zaman layak mendapat tiga dari lima bintang. Good Job, mbak Afifah Afra.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar