Cari Blog Ini

Sabtu, 10 Desember 2011

“Bunga yang tak lagi mekar”



Bagaimanapun Shafira belum menyadari bahwa dialah Gadis yang selama ini dibicarakan oleh teman-teman Genta di lapangan. Genta adalah salah satu siswa di SMA Bima Sakti. Bagi Shafira, mengenal Genta adalah sebuah mimpi buruk. Genta adalah bintang sekolah. Kepawaiannya dalam menendang serta menyundul bola membuat ia dikagumi banyak orang, terlebih Gadis. Mengenal Genta sama juga dengan memasuki kandang harimau. Gadis-Gadis yang setia di balik punggungnya ketika ia berlaga menjadi satu adegan tersendiri pada setiap langkah Genta.
Magenta Putra Maheswara, begitulah nama lengkapnya. Ia satu kelas dengan Shafira ketika kelas dua. Siswa baru di SMA Bima Sakti itu mulai menjadi ikon sekolah semenjak langkah pertamanya memasuki halaman gedung bercat hijau serta berpagar besi itu. Keberadaannya di sekolah membuat ia langsung menjadi idola meski ia adalah siswa baru. Senyumnya yang manis membuat semua orang bersimpatik. Keramahannya pada setiap orang membuatnya disanjung serta dikagumi.
Dua bulan ia menjadi siswa baru, ia kemudian diterima oleh klub futsal sekolahnya. Memang sejak di sekolahnya yang dulu ia adalah pemain futsal handal. Ia selalu memenangkan timnya dalam setiap kompetisi. Maka tidak heran jika ia langsung diterima untuk menjadi striker di klub futsal SMA Bima Sakti setelah melalui beberapa tahap seleksi. Terlebih juga karena sikapnya yang mudah bergaul serta tidak membeda-bedakan teman.
----“----
Shafira membalas senyumnya ketika pak Joko mempersilahkannya untuk memperkenalkan diri di kelas. “Nah, Genta.. Ini kelasmu. Silahkan kamu memperkenalkan diri ke teman-temanmu”, kata pak Joko. Gentapun tersenyum sembari berterimakasih kepada pak Joko. “Terima Kasih, Pak. Baik teman-teman, nama saya Magenta Putra Maheswara. Saya pindahan dari SMA Tunas Bakti” dan iapun menutupnya denga senyum manis sama seperti sebelumnya.
Pak Joko mempersilahkan Genta untuk duduk di bangku nomor tiga yang kebetulan kosong. Bangku tersebut tepat di belakang Shafira. Genta segera menuju bangku tersebut dan duduk. Shafira diam saja karena memang ia tidak pernah bermain-main ketika pak Joko sedang memberikan pelajaran di kelasnya. Berbeda dengan Shafira, beberapa anak Gadis di bangku belakang saling memandang satu sama lain ketika Genta berjalan. Mereka saling membicarakan Genta yang saat itu terlihat manis dengan rambut cepaknya. Suara Gadis-Gadis itu tak ubahnya seperti kerumunan lebah yang siap membuat sarang di pohon belakang sekolah.
“Anak-anak, diam”, terdengar suara pak Joko yang cukup keras. Pak Joko adalah guru di SMA Bima Sakti yang cukup disegani. Kedisiplinannya membuat semua siswa taat dan takut padanya. Pelajaran Seni yang seharusnya santai dibuatnya tegang serta berat. Meskipun demikian, kiprahnya di dunia seni cukup pantas diacungi jempol. Karena kerjakerasnya tim drama SMA Bima Sakti mampu berperan dalam kompetisi drama nasional, begitu pula dengan kelompok paduan suara yang diikuti Shafira mampu mencapai puncak di ajang padua suara internasional.
Murid-murid kembali tenang. Pak Joko meneruskan pelajarannya hingga tak terasa bel istirahat berbunyi. Murid-murid berhamburan keluar dari kelas. Tampak hanya Shafira yang masih di dalam kelas merapikan buku-bukunya dan juga Genta yang sedang memasukkan buku ke dalam tas. Dari luar kelas muncul Hana, saingan terberat Shafira dalam Paduan Suara. Keputusan pak Joko mengambil Shafira untuk menjadi leader paduan suara membuat Hana iri hati sehingga bagaimanapun baiknya Shafira, tetap saja menurutnya adalah salah. Hana berjalan melewati Shafira. Ternyata ia berhenti di belakang bangku Shafira. Ia mendekati Genta yang sedang merapikan buku juga.
“Ternyata kamu dimasukkan di kelas ini, Genta.. aku kira papa bersedia memasukkan kamu di kelasku, ternyata lagi-lagi si otoriter Joko itu yang membawamu kesini” kata Hana. “Sudahlah, Han.. Toh kelas kamu sudah penuh. Kelas ini yang masih ada bangku kosong”, balas Genta. Hana dan Genta ternyata sudah saling mengenal. Hana yang merupakan anak bungsu kepala SMA Bima Sakti itu adalah teman kecilnya serta putra sahabat ayahnya. Baginya, apapun bisa ia lakukan selama ayahnya menjadi kepala sekolah. Namun ia harus kecewa ketika ayahnya menyetujui keputusan pak Joko untuk menjadikan Shafira sebagai Leader Paduan Suara. Shafira dan pak Joko adalah dua sosok yang sangat dimusuhi Hana. Terlebih Shafira adalah saingan terberatnya di peringkat pararel sekolah setelah persaingannya di paduan suara yang berhasil dimenangkan oleh Shafira.
“Ayo kita jalan-jalan. Aku akan membawamu berkeliling sekolah ini. Ya tentunya agar kamu tahu setiap sudut dari sekolah ini”, kata Hana kepada Genta. Genta yang memang hany mengenal Hana di sekolah itu langsung saja mengiyakan ajakan Hana. Mereka berjalan bersama keluar kelas, menapaki setapak demi setapak halaman sekolah dan memasuki setiap lorong teras sekolah. Sementara itu, Shafira membereskan bukunya, keluar kelas dan membawa beberapa buku tulis yang kemudian memasukkan langkahnya pada pintu ruangan bernama perpustakaan.
Shafira masih setia dengan buku sejarah Indonesia ketika Hana mengajak Genta memasuki perpustakaan. Keseriusannya dalam membaca buku seakan tak menghiraukan kehadiran siapapun di sekelilingnya. Genta yang berdiri di depan rak majalah olahraga memandang sejenak ke arah Shafira. “Hei, Genta.. Keluar yuk.. Aku sudah mendapatkan buku-buku untuk tugas matematika. Sekarang kita lanjut ke kantin. Lapar..”, ajak Hana. Genta masih memandang ke arah Shafira. Tanpa sadar, bola mata mereka saring bertatapan.
Shafira tak segera memalingkan pandangannya. Ia masih saja memandang Genta yang langkahnya sudah mulai meninggalkan pintu masuk perpustakaan. “Tuhan, apa yang aku pikirkan”, batinnya. Ia segera membuka lembar demi lembar buku yang ia pegang hingga tak sadar bel masuk berbunyi.
---“---
Di kelas.
“Hai, boleh aku melihat bukumu. Aku belum punya buku paket pelajaran Sejarah”, kata Genta tiba-tiba. Shafira yang duduk di depannya kaget denga suara itu. “Oh iya..”, kata Shafira kemudian. Mereka duduk berdampingan dengan satu buku di atas meja. Pelajaran usai setelah mereka diberi tugas kelompok oleh guru Sejarah. “Maaf, siapa namamu?”, tanya Genta. “Aku Shafira”, dan Shafira pun menjawab dengan senyum. “Boleh aku satu kelompok denganmu?”, tanya Genta kemudian. Shafira mengangguk dan mereka saling tersenyum.
Setelah merapikan buku-bukunya, mereka keluar kelas bersama. Di depan kelas sudah ada Hana yang setia menunggu Genta. Melihat Genta berjalan dengan Shafira, Hana merasa ada yang tidak beres. Ia pun memandang Shafira dengan pandangan sinis. “Ayo kita pulang, Genta. Papa menyusruh aku pulang bersamamu. Sopirku libur hari ini”, kata Shafira ketus. Genta hanya tersenyum dan kemudian berkata, “Aku pulang dulu, Sha.. Nanti kita bicarakan lagi kapan kita mengerjakan tugas kelompok kita ya..”. Shafira hanya mengangguk dan kemudian meninggalkan mereka. Shafira seakan enggan berlama-lama di sana, tentunya dengan melihat keangkuhan Hana yang berdiri dengan hati membara.
Shafira pulang dengan mengendarai sepeda gunung miliknya yang ia parkir di sudut parkir sekolah. Ia membiarkan sepedanya berjalan dengan indahnya, melewati jalanan kecil di samping sekolah, memasuki lorong-lorong gang dan ia pun memarkirkan sepedanya di depan rumah sederhana berhias pohon mangga rindang serta beraneka macam bunga. Irfan, ayah Shafira adalah seorang penjual bunga hias. Berderet bunga ia sirami serta dipupuki dengan rajin hingga menhasilkan kuncup-kuncup rupiah yang melimpah. Namun, keindahan itu harus pudar seiring dengan munculnya puluhan bahkan ratusan penjual bunga serupa. Keindahan rupiah yang pernah menjadi kejayaannya kini hanya menyisakan beberapa saja. Ia hidup bersama seorang anaknya, Shafira. Shafira harus menjadi anak tunggal ketika ibunya melahirkannya kemudian meninggal dalam keadaan yang memilukan. Ia merasa ialah pembunuh ibunya karena telah memaksakan diri untuk melihat dunia. Setelah kepergian istrinya, ayah Shafira tidak berniat untuk menikah. Ia lebih senang merawat Shafira seorang diri seiring dia merawat bunga-bunga itu dan membiarkan keharuman serta keindahannya bersemayam dalam wajah anggun Shafira.
---“---
Jam menunjukkan pukul 15:30. Shafira segera mengayuh sepedanya ke taman kecil di ujung gang. Ia seperti menunggu seseorang. Dibukanya buku tulis serta beberapa buku paket. Posisi duduknya dibangku panjang serta meja kayu di depannya membuat ia nyaman membaca, terlebih udara sore di sana cukup segar dengan hamparan pohon perdu serta bunga-bunga beraneka warna. “Hai, kamu sudah menunggu lama”, kata laki-laki di sebelahnya. Genta yang hadir dengan kaos santai warna kuning serta celana pendek krem itu membuyarkan keadaan. “Eh, kamu... Ini, aku sudah menuliskan beberapa catatan penting untuk tugas kita. Coba kamu periksa”, kata Shafira sambil menyodorkan buku di tangannya kepada Genta. Mereka berbicara panjang lebar, berdiskusi dan bercanda hingga tak terasa air hujan rintik-rintik membasahi buku-buku yang mereka pegang. “Ayo kita ke sana. Atapnya mungkin bisan melindungi kita dari hujan ini”, ajak Genta. Mereka menghampiri sebuah bangunan tua yang ditunjuk Genta di sudut taman. Tidak hanya mereka, semua yang ada di sana pun berpindah ke bangunan itu karena hujan tak segera reda.
Ada yang berbeda dirasakan oleh Shafira. Ia tidak seperti ini ketika baru mengenal seseorang. Irfan ayahnya, selalu mengajarinya untuk waspada serta tidak mudah untuk mengakrabkan diri dengan orang yang bari dikenal. Tapi menurutnya, Genta adalah berbeda sehingga ia tidak perlu takut untuk mendekatkan diri dengannya, tentunya hanya untuk sekedar berteman. Begitupun Genta, meski ia terkenal dengan pandangan seorang laki-laki yang acuh, namun ia dengan mudahnya akrab dengan Shafira tentunya setelah ia akrab lebih dulu dengan Hana, teman masa kecilnya.
Hujan reda ketika mereka berdua saling berimajinasi tentang apa yang terjadi. Genta segera meraih tangan Shafira dan menggandengnya ke parkiran taman. “Ayo pulang, sudah sore”, kata Genta. Shafira mengangguk dan segera melangkahkan kakinya. Kemudian mereka berpisah dengan mengendarai kendaraan masing-masing, Genta dengan motor merahnya dan tentunya Shafira dengan sepeda gunungnya. Mereka kemudian saling berpandangan ketika Shafira berbelok ke arah gang menuju rumahnya. Ternyata, tugas kelompok pelajaran Sejah itu merupakan sejarah awal persahabatannya.
---“---
Dua bulan setelah keberadaan Genta di sekolah itu, klub futsal SMA Bisa Sakti mengadakan perekrutan anggota klub futsal yang baru. Genta yang sangat mencintai dunia bola segera mendaftar. Meski ia adalah pemain andalan sekolahnya yang dulu, tapi ia harus waspada sekarang. Lawannya di sini sangat tangguh. Tentunya ia harus mempersiapkan segalanya untuk menjadi bagian dari klub tersebut.
“Kamu pasti bisa”, kata Shafira sambil menyeruput teh di tangannya. “Mudah-mudahan, tentunya ini bukan sesuatu yang mudah”, kata Genta di depannya. Mereka sering terlihat bersam sekarang. Kedekatannya mampu membuat seluruh Gadis di sekolah itu merasa iri karena Genta sudah terkenal cuek dengan Gadis-Gadis di sekolah itu. Entah mengapa yang jelas kedekatan dengan Hana pun sudah cukup renggang. Hana hanya bisa berdiri di setiap sudut kehadiran Genta, memandangnya dengan sinis sembari berkata, “Dasar Gadis, sudah berani kau rebut posisi leader paduan suara dan hampir kau kalahkan aku di peringkat sekolah dan kini kau merebut Genta dariku”. Setelah itu ia pergi.
Shafira menyaksikan aksi Genta di babak demi babak permainan futsalnya. Caranya menendang dan menyudul bola memang layak dikagumi. Hampir saja ia jatuh ketika melakukan penyerangan, kakinya terpeleset oleh lapangan yang basah namun bisa ia hindari. Tampak pula Hana di sana. Sesekali ia memandang ke arah Shafira yang sedang membawa tas Genta. Lagi-lagi ia dibuat iri olehnya. Aksi Genta berhenti ketika sorak-sorai penonton menandai score pertandingan 4-0 menandakan permainan berakhir. Genta mampu menjebol gawang lawan dengan empat kali gol. Keberhasilannya pada pertandingan awal itu membawanya pada seleksi tahap akhir. Dan ia optimis menang.
Shafira masih membawa tas Genta dan bersorak kegirangan ketika Genta menghampirinya. Ia tersenyum dan memukul pundak Genta, “Nah, apa aku bilang.. Kamu pasti bisa”. Genta tersenyum dan ia mencubit hidung Shafira. “Itu karena kamu juga, Sha..”, balasnya dan mereka pun tertawa riang. Hana berjalan menghampiri Shafira dan Genta. Tangannya menyambar tangan Genta yang sedang membawa handuk basah. “Selamat, ya.. Kita harus merayakannya. Kamu nanti malam tidak kemana-mana kan? Aku akan mempersiapkan makan malam yang indah untukmu”. Kata Hana. Genta hanya tersenyum dengan mengucapkan terima kasih. Ia terlihat mengiyakan dengan memberikan anggukan kepada Hana. Mungkin ia tidak kuasa menolak karena ia dan Hana sudah berteman sejak kecil. Keluarga mereka pun sudah berteman baik.
Genta berjalan menjauhi lapangan, di susul dengan Shafira yang masih membawa tasnya. Sepertinya Genta lupa akan tas yang dibawa Shafira. Entahlah, Shafira merasa bahagia membawa tas Genta. Ia bahkan tidak tahu mengapa ia berubah sejak ada Genta. Kecuekannya terhadap lelaki sepertinya lenyap setelah kehadiran Genta. Ia masih terus berjalan ketika Genta tiba-tiba berhenti di depannya. “Sha.. Tasku. Terima Kasih ya.. Sepertinya aku akan pulang bersama Hana. Kamu baik-baik ya di jalan”, kata Genta sambil tersenyum. Shafira hanya tersenyum dan kemudian langkahnya menjauh.
---“---
Sejak kemenangan Genta di babak penyisihan seleksi itu, namanya kian melambung. Tidak hanya hana yang semakin berhasrat untuk memilikinya, hampir seluruh gadis di sekolah itu menaruh hati padanya. Ada yang sekedar memberikan bunga, coklat hingga surat cinta di bangku dan tas Genta. Sejak itu pula, Genta terlihat agak jauh dengan Shafira. Entah ia sengaja menjauhinya atau keadaan yang membuatnya jauh yang jelas Shafira merasa inilah awal dari mimpi buruk itu. Shafira seakan menyesal mengenal Genta. Konsentrasinya di pelajaran serta latihan untuk kompetisi paduan suara yang sedang ia jalani seperti terganggu. Ia lebih sering menyendiri di taman yang pernah ia tempati bersama Genta ketika mengerjakan tugas kelompok. Ia terlihat memainkan daun-daun yang jatuh di bangku yang ia duduki, menatap langit dengan pandangan kosong serta tak menghiraukan gerimis yang kian berontak. Dalam hatinya ia berbisik, “Mengapa aku seperti kehilangan Genta, Tuhan...”.
Seperti halnya Shafira, Genta pun seperti bukanlah sebenarnya. Sejak itu, ia lebih sering terlihat bersama-sama dengan banyak gadis di sekolah. Meskipun ia terkenal ramah kepada setiap orang yang ia temui, namun kebiasaan bersama gadis-gadis adalah bukanlah satu dari sekian banyak kebiasaan Genta. Hal inilah yang membuat Shafira berusaha untuk mendekat kembali dengan Genta dan mempertanyakan apa yang sedang terjadi.
Keinginan itu membawanya pada satu masa dimana ia dengan sengaja meghampiri Genta ketika permainannya berakhir. Seperti biasa, ia menyapa Genta dengan senyuman manis, mengucapkan selamat dan menggandeng tangan Genta keluar lapangan. Entah apa yang terjadi, Genta melepaskan tangan Shafira dengan paksa. “Maaf, Sha.. Aku harus pergi”, katanya ketus. Seketika itu juga teman-teman Genta yang masih berada di tengah lapangan menertawakannya. Shafira pergi dengan muka merah.
Sejak saat itu, keberadaan Shafira menjadi gunjingan seluruh warga sekolah. Banyak tulisan di mading yang menyatakan bahwa ia adalah gadis pintar yang tidak tahu malu, pintar menggoda laki-laki dan sebagainya. Entah apa yang terjadi, yang jelas setelah kejadian-kejadian itu prestasinya benar-benar dikalahkan oleh Hana, posisi leader paduan suara digantikan Hana karena Shafira sudah jarang mengikuti latihan sementara kompetisi paduan suara internasional sudah tinggal satu bulan lagi. Pak Joko tidak ambil pusing atas ketidakhadiran Shafira. Ia segera menyuruh Hana untuk menggantikannya. Shafira pun tidak keberatan karena memang keinginannya untuk mengikuti lomba seperti goyah.
---“---
“Sha... Makan dulu, gih.. Setelah itu bantu ayah merapikan tanaman hias di depan. Ada paket yang akan diambil pemesannya sore ini”, kata pak Irfan kepada Shafira. Shafira hanya menunduk sembari melangkahkan kakinya ke meja makan. “Kamu kenapa, nak... Kelihatan pucat”, kata Pak Irfan sambil meneguk air putih di tangannya. “Shafira tidak apa-apa, Ayah.. hanya mungkin lelah”, jawabnya. Mereka berdua kemudian menghabiskan makanan di piring masing-masing. Setelah menikmati makanannya, pak Irfan melangkah ke halaman depan disusul oleh Shafira. Mereka menaruh pot-pot cantik itu di kardus persegi serta merapikan kumpulan anggrek serta seruni di kardus sebelahnya. “Pesanan siapa ini, Ayah..”, tanya Shafira. “Oh, ini pesanan teman ayah. Anaknya berhasil menjadi pemain futsal di sekolah barunya. Ia berencana mengadakan pesta kebun di rumahnya. Sepertinya bunga-bunga ini dipesan khusus untuk menghias pesta kebun itu”, jawab pak Irfan. Shafira hanya diam. Entah apa yang ia pikirkan.
Sebuah mobil bak terbuka datang. Dengan ditemani seorang berambut cepak, laki-laki berkumis itu memasuki teras rumah Shafira. “Irfan, sudah ada pesananku?”, tanya lelaki itu. “Hai, Rama.. Ini dia yang kau pesan. Mari masuk...”, kata pak Irfan mempersilahkan. Shafira yang ada di dalam rumah bisa mengerti siapa yang sedang datang. Mereka adalah pasangan ayah-anak, pak rama serta anaknya, Genta. Dalam hatinya bertanya, “Bagaimana ayahku mengenal keluarga Genta?”. Mobil itu kemudian pergi bersamaan dengan pak Irfan yang memasuki ruangan dalam rumahnya. Melihat Shafira duduk di sana ia berkata, “Kamu mengenalnya kan, Sha.. Ternyata dia satu sekolah denganmu”. “Bagaimana Ayah bisa mengenalnya?”, tanya Shafira. Pak Irfan pun bercerita tentang kisahnya dengan keluarga Genta. Ternyata ayah Shafira dulu adalah anak tukang kebun keluarga kakek Genta. Ia dan pak Rama bermain bersama sejak kecil. Hubungan mereka baik hingga akhirnya ia harus pergi dari rumah itu akibat kepergian ayahnya-si tukang kebun yang meninggal. Ia dan ibunya diberi rumah kecil di sudut gang, diberinya taman kecil untuk merawat bunga-bunga serta berbagai tanaman hias. Inilah rumah itu, tempat tinggalnya sekarang.
“Dunia memang tak selebar daun kelor”, pikir Shafira. Baginya, ini adalah satu kebahagiaan karena mereka ternyata memiliki kedekatan lain selain persahabatan mereka yang dulu. Kebahagiaan itu adalah persahabatan kedua orang tua mereka. Namun di sisi lain, ia harus bersedih karena hubungan kedua orang tua mereka tidak mampu mendekatkan mereka kembali karena Genta sudah bukan Genta yang dulu lagi. Shafira semakin ingin melupakan kedekatan mereka, terlebih karena sekarang ia tahu bahwa ia lah yang selama ini dijadikan bahan pembicaraan teman-teman Genta di lapangan.
Setelah kejadian itu, Shafira seakan menganggap bahwa perkenalan singkatnya dengan Genta adalah mimpi buruk. Ia harus kehilangan posisinya sebagai leader paduan suara, kemerosotan peringkatnya membuat ia hampir dicoret sebagai penerima beasiswa serta tentunya hal yang mempermalukan dirinya di hadapan seluruh warga sekolah. Ia ingin menghapus mimpi buruknya dengan melupakan Genta, namun sepertinya ia belum bisa. Ia mencoba berpaling dari keadaan, namun tetap tidak bisa. Beberapa hari ini ia menyendiri di taman, mengayuh sepedanya cepat-cepat ke rumah serta menyirami bunga-bunga yang sepertinya enggan untuk bermekaran. Ternyata, Bunga yang indah itu bisa saja enggan untuk berkuncup lagi setelah ribuan ulat menghabiskan daunnya. Begitupun persahabatan Shafira dan Genta yang sementara.

Surabaya, 15 November 2011
-Nay-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar