Cari Blog Ini

Senin, 02 Desember 2013

Edisi Hari Guru *telat posting*

Omong-omong tentang Hari Guru tanggal 25 Nopember kemarin, rasa-rasanya saya latah ingin berkisah tentang ini. Saya menjadi hingga saat ini pun tak luput ya karena jasa-jasa mereka, guru. Bagi saya, guru itu seperti pelita dalam gelapnya malam. Mungkin benar salah satu lirik Hymne Guru "Engkau sebagai pelita dalam kegelapan.. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan...". Ketika saya haus ilmu ada titik-titik air yang diberikan oleh mereka yang saya sebut guru.


Baiklah. Guru yang paling berjasa bagi saya adalah Ibu saya sendiri. Mungkin karena beliau adalah Guru TK sehingga dapat dengan sabar membimbing saya. Pun tak kalah berjasa adalah paman dan bibi saya yang juga seorang guru, yang pernah mengajar saya di sekolah dan di rumah. Well. Mereka dari kalangan keluarga saya sendiri. Abaikan.


Saya mencintai bahasa inggris sejak SD. Guru saya itu namanya Bu Sunnah. Gaya bicaranya yang "keren" membuat saya begitu tertarik dengan pelajaran ini. Saya pun akhirnya meletakkan mapel Bahasa Inggris pada urutan pertama mapel favorit ketika menulis buku diari milik teman-teman (yang pernah hidup di jaman 1999-2000an pasti paham diari beginian).


Selanjutnya, Pak Budi adalah guru terbaik menurut saya. Saya bersekolah di MTs Swasta dan bapak tersebut adalah guru SMP Negeri. Pernah menjadi muridnya adalah satu kebanggan. Saya dibuat heran ketika dengan entengnya beliau keluarkan kamus Inggris-Inggris alias Oxford dan menerjemahkan satu persatu vocab yang saya tanyakan. Saya yang masih kelas satu Madrasah Tsanawiyah semakin tertarik dengan kekerenannya itu. Itulah mengapa hingga saat ini saya lebih suka membawa Oxford ketimbang Kamus Milyaran lainnya. Hal ini saya tularkan ke adik-adik (red: siswa-siswi) saya.


Bahasa Inggris tak pernah mati bagi saya. Di SMA saya lebih gila dengan mapel satu ini. Apalagi dengan adanya Ma'am Roby. Saya sangat antusias ketika diberi tugas menerjemahkan lagu bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Ini pada saat saya di kelas X. Hasil translate-nya masih ada sekarang. Dan saya tertawa setiap kali membacanya karena sungguh sangat hancur pola kalimat yang saya pakai waktu itu.
Di masa inilah saya mulai banyak membaca. Terlebih Lembar Kerja Siswa yang kami gunakan banyak sekali mencantumkan folktale, fairytale, legend, myth dan kawan-kawan. Apalagi saat itu hoby membaca sedang gencar-gencarnya karena didukung perpustakan sekolah yang menyediakan aneka menu novel. Saya mulai mengenal Dewi Lestari dengan Supernova-nya, lalu Andrea Hirata, Habiburahman El Shirazi, dan Hans C. Andersen. Saya suka membaca. Saya suka sastra Indonesia. Saya suka Bahasa Inggris. Jadilah saya penasaran, bagaimana jika sastra digabungkan dengan Bahasa Inggris? Inilah yang mendorong idealisme saya untuk menulis Sastra Inggris di urutan pertama SNMPTN 2008. Dan well, Tuhan mengijinkan saya untuk menyelam jauh ke dalamnya.


Jangan lupa, Dosen juga Guru loh ya.. Karena merekalah yang pernah menunjukkan jalan yang lurus menuju gerbang masa depan.
Dosen kebanggaan saya adalah Pak Khoiri a.k.a Pak Emcho dan Ma'am Tiwi. Keduanya adalah orang hebat. Saya bangga pernah mengenal dan dikenal mereka. Awal ketertarikan saya adalah ketika mendengarnya bercerita tentang Budaya, Menulis, Iowa University dan segala apapun tentang sastra. Saya menyadari ternyata pengetahuan saya tentang sastra sangat minim. Jujur saya merasa bodoh sendiri di kelas. Saya baru mengenal Rudyard Kipling, Ernest Hemmingway, Leo Tolstoy dan lainnya pada saat itu. Dan saya juga baru tahu jika statement "Tuhan Tau Tapi Menunggu" yang ada di novel Andrea Hirata adalah Ungkapan dari Eyang Leo Tolstoy. Awalnya saya pikir itu punya Hirata sendiri. (Hihihi)

Yang selanjutnya adalah Ma'am Tiwi. Beliau sedang studi di Aussie sekarang. Saya dibuat agak gila oleh Freud, Jung, dan orang-orang gila lainnya. Saya dibuat jatuh cinta kepada sosok Amir dalam buku Khalled Hossaeni, The Kite Runner. Begitu banyak air yang masuk otak saya sehingga banyak yang tumpah bahkan tak meninggalkan sisa. (eyaaaaa. Begitu bebalnya otak saya)



Well. Berbicara tentang guru, bukan melulu soal peran serta kedudukannya di masyarakat. Saya menyadari benar jika semua itu harus di dasari niat. Jika tulus ikhlas maka feedback dari siswapun baik. Sebaliknya, jika tidak maka hanya lelah saja yang didapat. Mencintai profesi ini sama dengan mencintai pacar. Sekali belok, maka hasilnya nol besar. (eyaaaa... Spam. Abaikan.)


Akhirnya, terima kasih setulus-tulusnya kepada para Pelita Malam yang telah menunjukkan saya dari jalan gelap gulita menuju jalan yang terang benderang yakni Addinul Islam.. (eh salah ya...) Terima kasih tak terhingga bagi segenap guru yang pernah ada di kehidupan saya, baik di bangku sekolah maupun di lingkungan sekitar. Teman-teman yang selalu ada untuk saya adalah guru yang berharga juga. Saya tidak sanggup membalas apa-apa. Saya hanya dapat mengamalkan apa yang sudah kalian berikan. Saya tulus memberikan ilmu yang pernah saya terima.
Nay-271113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar