Omong-omong tentang Hari Guru tanggal 25 Nopember kemarin, rasa-rasanya
saya latah ingin berkisah tentang ini. Saya menjadi hingga saat ini pun
tak luput ya karena jasa-jasa mereka, guru. Bagi saya, guru itu seperti
pelita dalam gelapnya malam. Mungkin benar salah satu lirik Hymne Guru
"Engkau sebagai pelita dalam kegelapan.. Engkau laksana embun penyejuk
dalam kehausan...". Ketika saya haus ilmu ada titik-titik air yang
diberikan oleh mereka yang saya sebut guru.
Baiklah. Guru yang paling berjasa bagi saya adalah Ibu saya sendiri.
Mungkin karena beliau adalah Guru TK sehingga dapat dengan sabar
membimbing saya. Pun tak kalah berjasa adalah paman dan bibi saya yang
juga seorang guru, yang pernah mengajar saya di sekolah dan di rumah.
Well. Mereka dari kalangan keluarga saya sendiri. Abaikan.
Saya mencintai bahasa inggris sejak SD. Guru saya itu namanya Bu
Sunnah. Gaya bicaranya yang "keren" membuat saya begitu tertarik dengan
pelajaran ini. Saya pun akhirnya meletakkan mapel Bahasa Inggris pada
urutan pertama mapel favorit ketika menulis buku diari milik teman-teman
(yang pernah hidup di jaman 1999-2000an pasti paham diari beginian).
Selanjutnya, Pak Budi adalah guru terbaik menurut saya. Saya
bersekolah di MTs Swasta dan bapak tersebut adalah guru SMP Negeri.
Pernah menjadi muridnya adalah satu kebanggan. Saya dibuat heran ketika
dengan entengnya beliau keluarkan kamus Inggris-Inggris alias Oxford dan
menerjemahkan satu persatu vocab yang saya tanyakan. Saya yang masih
kelas satu Madrasah Tsanawiyah semakin tertarik dengan kekerenannya itu.
Itulah mengapa hingga saat ini saya lebih suka membawa Oxford ketimbang
Kamus Milyaran lainnya. Hal ini saya tularkan ke adik-adik (red:
siswa-siswi) saya.
Bahasa Inggris tak pernah mati bagi saya. Di SMA saya lebih gila
dengan mapel satu ini. Apalagi dengan adanya Ma'am Roby. Saya sangat
antusias ketika diberi tugas menerjemahkan lagu bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Inggris. Ini pada saat saya di kelas X. Hasil translate-nya
masih ada sekarang. Dan saya tertawa setiap kali membacanya karena
sungguh sangat hancur pola kalimat yang saya pakai waktu itu.
Di masa inilah saya mulai banyak membaca. Terlebih Lembar Kerja
Siswa yang kami gunakan banyak sekali mencantumkan folktale, fairytale,
legend, myth dan kawan-kawan. Apalagi saat itu hoby membaca sedang
gencar-gencarnya karena didukung perpustakan sekolah yang menyediakan
aneka menu novel. Saya mulai mengenal Dewi Lestari dengan Supernova-nya,
lalu Andrea Hirata, Habiburahman El Shirazi, dan Hans C. Andersen. Saya
suka membaca. Saya suka sastra Indonesia. Saya suka Bahasa Inggris.
Jadilah saya penasaran, bagaimana jika sastra digabungkan dengan Bahasa
Inggris? Inilah yang mendorong idealisme saya untuk menulis Sastra
Inggris di urutan pertama SNMPTN 2008. Dan well, Tuhan mengijinkan saya
untuk menyelam jauh ke dalamnya.
Jangan lupa, Dosen juga Guru loh ya.. Karena merekalah yang pernah menunjukkan jalan yang lurus menuju gerbang masa depan.
Dosen kebanggaan saya adalah Pak Khoiri a.k.a Pak Emcho dan Ma'am
Tiwi. Keduanya adalah orang hebat. Saya bangga pernah mengenal dan
dikenal mereka. Awal ketertarikan saya adalah ketika mendengarnya
bercerita tentang Budaya, Menulis, Iowa University dan segala apapun
tentang sastra. Saya menyadari ternyata pengetahuan saya tentang sastra
sangat minim. Jujur saya merasa bodoh sendiri di kelas. Saya baru
mengenal Rudyard Kipling, Ernest Hemmingway, Leo Tolstoy dan lainnya
pada saat itu. Dan saya juga baru tahu jika statement "Tuhan Tau Tapi
Menunggu" yang ada di novel Andrea Hirata adalah Ungkapan dari Eyang Leo
Tolstoy. Awalnya saya pikir itu punya Hirata sendiri. (Hihihi)
Yang selanjutnya adalah Ma'am Tiwi. Beliau sedang studi di Aussie
sekarang. Saya dibuat agak gila oleh Freud, Jung, dan orang-orang gila
lainnya. Saya dibuat jatuh cinta kepada sosok Amir dalam buku Khalled
Hossaeni, The Kite Runner. Begitu banyak air yang masuk otak saya
sehingga banyak yang tumpah bahkan tak meninggalkan sisa. (eyaaaaa.
Begitu bebalnya otak saya)
Well. Berbicara tentang guru, bukan melulu soal peran serta
kedudukannya di masyarakat. Saya menyadari benar jika semua itu harus di
dasari niat. Jika tulus ikhlas maka feedback dari siswapun baik.
Sebaliknya, jika tidak maka hanya lelah saja yang didapat. Mencintai
profesi ini sama dengan mencintai pacar. Sekali belok, maka hasilnya nol
besar. (eyaaaa... Spam. Abaikan.)
Akhirnya, terima kasih setulus-tulusnya kepada para Pelita Malam
yang telah menunjukkan saya dari jalan gelap gulita menuju jalan yang
terang benderang yakni Addinul Islam.. (eh salah ya...) Terima kasih tak
terhingga bagi segenap guru yang pernah ada di kehidupan saya, baik di
bangku sekolah maupun di lingkungan sekitar. Teman-teman yang selalu ada
untuk saya adalah guru yang berharga juga. Saya tidak sanggup membalas
apa-apa. Saya hanya dapat mengamalkan apa yang sudah kalian berikan.
Saya tulus memberikan ilmu yang pernah saya terima.
Nay-271113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar