Ia memiliki minat belajar yang sangat
tinggi. Kemampuannya menerima pelajaran sungguh melebihi teman sekelasnya.
Tuhanpun memberikan ketajaman berfikir baginya. Lembar demi lembar kitab suci
mampu bertahan dalam ingatannya. Tapi siapa sangka. Dibalik keistimewaan itu,
cobaan setia menemani. Memaksanya untuk berurai air mata. Membuat matanya hitam.
Sehitam hari-hari mudanya.
Seorang lelaki paruh baya sedang
memungut sampah di jalanan. Ia pungut satu gelas bekas air mineral. Tak jarang
ia hentikan kayuhan sepeda tuanya di tengah jalan. Membiarkan puluhan kendaraan
berhenti di belakangnya.
Ia menyambut lelaki paruh baya itu di
depan pintu, mengambilkan secangkir air yang baru saja ia tuangkan dari kendi.
Di bilik paling belakang, seorang wanita yang juga paruh baya sedang menanak
nasi untuk makan siang suaminya.
Mereka bertiga lalu menyantap nasi yang
mengepul. Berkawan sambal dan daun singkong hangat yang tadi dipetik dari dekat
sungai. Dia terlihat lahap. Begitu pula lelaki itu. Keringatnya berkah.
Setiap pagi ia pergi ke sekolah.
Menyeberangi bengawan yang tak berujung. Sampan kecil inilah yang menemaninya
setiap saat. Baginya, tak ada satupun yang mampu menghalangi langkahnya mencari
ilmu.
Sesekali dia buka kitab kecil di tangannya.
Lamat-lamat terdengar lantunan ayat yang menyejukkan. Angin menyiratkan hawa
teduh. Kecipak air ikut bertasbih memuja sang pengendali alam.
Ia melakukan apa saja demi meraih apa
yang pantas ia raih. Setiap malam ia mengulang lagi apa yang sudah ia pelajari
di sekolah. Rumah itu hanyalah bilik bambu yang beralas tanah. Hanya disekat
lemari dan beberapa papan untuk memisahkan mana kamar dan mana kakus. Untung
saja listrik sudah masuk. Pikirnya, "aman".
Malam adalah kawannya berjuang. Ia
berusaha pecahkan segala teka-teki Tuhan. Sepertiga malam itu seperti penerang di
sela hidupnya yang malang.
Dia masih kecil. Namun berbagai tempaan
hidup ia alami. Dunianya keras. Ia berusaha dengan lantang menembus batas yang
harus ia tembus. Melangkahkan kaki dengan pasti ke arah cahaya di seberang
bengawan.
Lelaki paruh baya itu tetap memungut
sampah di jalanan. Ia banyak diam. Kayuhan sepedanya ia percepat agar segera
sampai seberang. Ditambatkannya sepeda tua itu pada kayu di pinggir sungai.
Lalu ia dayung sampan hingga ke seberang. Malam itu larut. Dia hanya berkata,
"Nak, ini uang sekolahmu". Dan ia pun terlelap.
Gresik, 20 Desember 2013
Nay
Tidak ada komentar:
Posting Komentar