Cari Blog Ini

Sabtu, 28 Desember 2013

Mutiara dari Seberang





Ia memiliki minat belajar yang sangat tinggi. Kemampuannya menerima pelajaran sungguh melebihi teman sekelasnya. Tuhanpun memberikan ketajaman berfikir baginya. Lembar demi lembar kitab suci mampu bertahan dalam ingatannya. Tapi siapa sangka. Dibalik keistimewaan itu, cobaan setia menemani. Memaksanya untuk berurai air mata. Membuat matanya hitam. Sehitam hari-hari mudanya.

Seorang lelaki paruh baya sedang memungut sampah di jalanan. Ia pungut satu gelas bekas air mineral. Tak jarang ia hentikan kayuhan sepeda tuanya di tengah jalan. Membiarkan puluhan kendaraan berhenti di belakangnya.

Ia menyambut lelaki paruh baya itu di depan pintu, mengambilkan secangkir air yang baru saja ia tuangkan dari kendi. Di bilik paling belakang, seorang wanita yang juga paruh baya sedang menanak nasi untuk makan siang suaminya.

Mereka bertiga lalu menyantap nasi yang mengepul. Berkawan sambal dan daun singkong hangat yang tadi dipetik dari dekat sungai. Dia terlihat lahap. Begitu pula lelaki itu. Keringatnya berkah.

Setiap pagi ia pergi ke sekolah. Menyeberangi bengawan yang tak berujung. Sampan kecil inilah yang menemaninya setiap saat. Baginya, tak ada satupun yang mampu menghalangi langkahnya mencari ilmu.

Sesekali dia buka kitab kecil di tangannya. Lamat-lamat terdengar lantunan ayat yang menyejukkan. Angin menyiratkan hawa teduh. Kecipak air ikut bertasbih memuja sang pengendali alam.

Ia melakukan apa saja demi meraih apa yang pantas ia raih. Setiap malam ia mengulang lagi apa yang sudah ia pelajari di sekolah. Rumah itu hanyalah bilik bambu yang beralas tanah. Hanya disekat lemari dan beberapa papan untuk memisahkan mana kamar dan mana kakus. Untung saja listrik sudah masuk. Pikirnya, "aman".

Malam adalah kawannya berjuang. Ia berusaha pecahkan segala teka-teki Tuhan. Sepertiga malam itu seperti penerang di sela hidupnya yang malang.

Dia masih kecil. Namun berbagai tempaan hidup ia alami. Dunianya keras. Ia berusaha dengan lantang menembus batas yang harus ia tembus. Melangkahkan kaki dengan pasti ke arah cahaya di seberang bengawan.

Lelaki paruh baya itu tetap memungut sampah di jalanan. Ia banyak diam. Kayuhan sepedanya ia percepat agar segera sampai seberang. Ditambatkannya sepeda tua itu pada kayu di pinggir sungai. Lalu ia dayung sampan hingga ke seberang. Malam itu larut. Dia hanya berkata, "Nak, ini uang sekolahmu". Dan ia pun terlelap.




Gresik, 20 Desember 2013
Nay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar