Cari Blog Ini

Jumat, 24 Juni 2016

Lebaran Kelabu - Sebuah Cerpen

"Sepertinya kamu sakit, Nduk?", kata Bu Yati suatu sore.
Teras nampak manis dengan jajaran adenium yang baru saja ia sirami. Beberapa anak kecil yang tak lain adalah adik-adiknya, sepupu-sepupunya, serta anak-anak tetangga berlarian menggiring bola di lapangan rumput yang tak begitu luas, tepat di depan rumahnya. Matanya membulat mengawang ke depan. Suara ibunya seperti sambil lalu, tidak ia dengarkan. Tangan Bu Yati melingkari pinggangnya. Nurani terhenyak.
 "Kamu sakit?", ulang Bu Yati kembali.
Ia menggeleng. Kursi teras ia duduki. Matanya tak lepas dari gerombolan mahkluk kecil yang sedari tadi ia pandangi. Bu Yati menghampirinya, duduk di sampingnya.
"Bu, semisal lebaran tahun ini Rani ndak bisa kasih ibu sangu seperti tahun lalu bagaimana?", mulutnya bersuara.
"Nduk, dengan kamu di sini menemani ibuk selama Ramadhan ini saja ibuk sudah senang. Ibuk ndak minta apa-apa." Jawab bu Yati.
"Mas Rijal ndak digaji buk bulan ini. Gaji saya banyak dipotong cicilan koperasi. Tulisan-tulisan saya beberapa minggu ini belum ada yang nyantol di redaksi. Penerbit juga belum transfer hasil penjualan buku saya yang kemarin, Buk" Bu Yati hanya menghela nafas panjang. Ia diam.
"Rani hanya ndak ingin Ibuk sedih ketika Lebaran datang. Rani benar-benar ndak bisa memberi sedikit rejeki Rani untuk ibuk, adek-adek, sepupu dan anak-anak yatim itu seperti tahun kemarin. Mungkin lebaran kemarin rejeki kami berdua sedang di atas. Tetapi tidak dengan tahun ini, Buk". Ia memegang tangan ibunya. Bu Yati menatap bola matanya lekat-lekat.
"Nurani, anakku. Tuhan tidak pernah memberikan kehidupan yang tak berarti. Semua ada maksudnya. Roda terus berputar. Kadang di atas kadang di bawah. Mungkin tahun lalu kamu sedang diuji dengan rejeki berlimpah dan tahun ini ujianmu adalah dengan rejeki yang berkurang. Semua adalah ujian, Nduk. Kamu lulus ujian-Nya kemarin. Dengan rejekimu yang melimpah kamu masih ingat ibuk, adik-adikmu, sepupu-sepupumu, anak-anak tetangga yang yatim dan lainnya. Itu artinya kamu bisa menggunakan rejeki yang diberi Tuhan di jalan yang benar. Sekarang ujianmu berbeda. Kamu diuji kesabaranmu dengan rejeki yang berbeda. Tuhan memberikan pelajaran yang penting buatmu, Nak. Tentang bagaimana kamu bersyukur atas segala yang kamu punya", air mata bu Yati menetes seiring kalimatnya yang berakhir.
Nurani menangis. Ia memandang lekat ibunya dan menggenggam jemarinya erat.
"Sudah, bikinkan suamimu kopi. Sebentar lagi bedug magrib. Ibu mau menyiapkan lauk dan nasi di meja". Genggaman itu dilepaskan. Bu Yati menghilang dibalik pintu depan. Ia mengikuti langkah ibunya."Biar Rani saja buk yang menyiapkan. Ibu panggil saja Amir dan Zuhdi. Sudah larut mereka bermain bola", langkahnya tertuju ke arah dapur. Bu Yati berjalan ke arah Nurani, membelai lembut kerudung tipisnya lalu tersenyum. Kemudian ia berbalik ke arah pintu depan. --- Bedug Magrib tiba. Mujair goreng hasil Rijal memancing tampak menggugah selera. Sambal ulek yang diracik khusus oleh Nurani membuat nafsu makan semakin menggelora. Bu Yati tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul. "Seandainya Bapakmu masih ada pasti ia bahagia melihat kalian". Mulut Nurani terkunci ketika mendengar ibunya bersuara. Mata-mata lain saling bertatapan lalu akhirnya turun di meja makan. Senja itu tanpa suara, hanya piring yang saling beradu dengan jemari tangan. Selepas Tarawih. "Kamu melamun, dik." Rijal memeluk tubuh isterinya dari belakang. Bulan Separuh sedang bercengkrama dengan bintang. Pasukan awan menyingkir. Langit cerah. "Mas, apa kita harus hutang untuk sangu lebaran?", Nurani bertanya. "Jangan, dik. Berapapun yang kita punya kita harus menerimanya. Ndak baik kita bertopeng. Dari luar kelihatan berduit tapi sebenarnya tidak. Sabar dulu, dik", Rijal menatap lekat mata isterinya. "Maaf, mas. Rani belum bisa membelikan mas Rijal baju untuk lebaran", ia memeluk tubuh suaminya. "Maafkan mas yang belum bisa menjadi Imam terbaik buatmu, dik". Pelukan itu semakin erat.

Nay,
Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar