"Sepertinya
kamu sakit, Nduk?", kata Bu Yati suatu sore.
Teras nampak manis dengan jajaran adenium yang baru saja ia sirami.
Beberapa anak kecil yang tak lain adalah adik-adiknya, sepupu-sepupunya,
serta anak-anak tetangga berlarian menggiring bola di lapangan rumput
yang tak begitu luas, tepat di depan rumahnya. Matanya membulat
mengawang ke depan. Suara ibunya seperti sambil lalu, tidak ia
dengarkan.
Tangan Bu Yati melingkari pinggangnya. Nurani terhenyak.
"Kamu sakit?", ulang Bu Yati kembali.
Ia menggeleng.
Kursi teras ia duduki. Matanya tak lepas dari gerombolan mahkluk kecil
yang sedari tadi ia pandangi. Bu Yati menghampirinya, duduk di
sampingnya.
"Bu, semisal lebaran tahun ini Rani ndak bisa kasih ibu sangu seperti
tahun lalu bagaimana?", mulutnya bersuara.
"Nduk, dengan kamu di sini menemani ibuk selama Ramadhan ini saja ibuk
sudah senang. Ibuk ndak minta apa-apa." Jawab bu Yati.
"Mas Rijal ndak digaji buk bulan ini. Gaji saya banyak dipotong cicilan
koperasi. Tulisan-tulisan saya beberapa minggu ini belum ada yang
nyantol di redaksi. Penerbit juga belum transfer hasil penjualan buku
saya yang kemarin, Buk"
Bu Yati hanya menghela nafas panjang. Ia diam.
"Rani hanya ndak ingin Ibuk sedih ketika Lebaran datang. Rani
benar-benar ndak bisa memberi sedikit rejeki Rani untuk ibuk, adek-adek,
sepupu dan anak-anak yatim itu seperti tahun kemarin. Mungkin lebaran
kemarin rejeki kami berdua sedang di atas. Tetapi tidak dengan tahun
ini, Buk". Ia memegang tangan ibunya. Bu Yati menatap bola matanya
lekat-lekat.
"Nurani, anakku. Tuhan tidak pernah memberikan kehidupan yang tak
berarti. Semua ada maksudnya. Roda terus berputar. Kadang di atas kadang
di bawah. Mungkin tahun lalu kamu sedang diuji dengan rejeki berlimpah
dan tahun ini ujianmu adalah dengan rejeki yang berkurang. Semua adalah
ujian, Nduk. Kamu lulus ujian-Nya kemarin. Dengan rejekimu yang
melimpah kamu masih ingat ibuk, adik-adikmu, sepupu-sepupumu, anak-anak
tetangga yang yatim dan lainnya. Itu artinya kamu bisa menggunakan
rejeki yang diberi Tuhan di jalan yang benar. Sekarang ujianmu berbeda.
Kamu diuji kesabaranmu dengan rejeki yang berbeda. Tuhan memberikan
pelajaran yang penting buatmu, Nak. Tentang bagaimana kamu bersyukur
atas segala yang kamu punya", air mata bu Yati menetes seiring
kalimatnya yang berakhir.
Nurani menangis. Ia memandang lekat ibunya dan menggenggam jemarinya
erat.
"Sudah, bikinkan suamimu kopi. Sebentar lagi bedug magrib. Ibu mau
menyiapkan lauk dan nasi di meja". Genggaman itu dilepaskan. Bu Yati
menghilang dibalik pintu depan. Ia mengikuti langkah ibunya."Biar Rani saja buk yang menyiapkan. Ibu panggil saja Amir dan Zuhdi.
Sudah larut mereka bermain bola", langkahnya tertuju ke arah dapur. Bu
Yati berjalan ke arah Nurani, membelai lembut kerudung tipisnya lalu
tersenyum. Kemudian ia berbalik ke arah pintu depan.
---
Bedug Magrib tiba.
Mujair goreng hasil Rijal memancing tampak menggugah selera. Sambal ulek
yang diracik khusus oleh Nurani membuat nafsu makan semakin menggelora.
Bu Yati tersenyum melihat anak-anaknya berkumpul.
"Seandainya Bapakmu masih ada pasti ia bahagia melihat kalian". Mulut
Nurani terkunci ketika mendengar ibunya bersuara. Mata-mata lain saling
bertatapan lalu akhirnya turun di meja makan. Senja itu tanpa suara,
hanya piring yang saling beradu dengan jemari tangan.
Selepas Tarawih.
"Kamu melamun, dik." Rijal memeluk tubuh isterinya dari belakang. Bulan
Separuh sedang bercengkrama dengan bintang. Pasukan awan menyingkir.
Langit cerah.
"Mas, apa kita harus hutang untuk sangu lebaran?", Nurani bertanya.
"Jangan, dik. Berapapun yang kita punya kita harus menerimanya. Ndak
baik kita bertopeng. Dari luar kelihatan berduit tapi sebenarnya tidak.
Sabar dulu, dik", Rijal menatap lekat mata isterinya.
"Maaf, mas. Rani belum bisa membelikan mas Rijal baju untuk lebaran", ia
memeluk tubuh suaminya.
"Maafkan mas yang belum bisa menjadi Imam terbaik buatmu, dik". Pelukan
itu semakin erat.
Nay,
Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar