Cari Blog Ini

Jumat, 24 Juni 2016

Lelaki Bermata Biru (Bagian Dua)



Rumah Rhein.
Aku disibukkan dengan hari-hari mengurus Mama. Hampir satu minggu aku bolak-balik antara rumah sakit, rumah dan kantor. Nanti malam lagi-lagi aku harus tidur di rumah sakit. Ada waktu sekitar satu jam sebelum senja benar-benar melebarkan sayapnya. Baru saja aku  pulang dari kantor dan segera kupanaskan air untuk mandi sore ini. Beberapa ikat sawi siap kurajang lalu kucuci bersih bersama potongan ayam yang sudah aku siapkan di dalam kulkas. Malam ini aku akan makan di rumah sakit. Satu hal yang istimewa, Ken akan menemaniku malam ini.
Saya jemput kamu ya. Jangan naik taksi. Jatah taksi disimpan saja.
Sebaris pesan singkat masuk di ponselku.
Kenapa dia lebih sering menghubungiku lewat ponsel ya? Pertayaan bodoh. Kadang aku merindukan tulisan tangannya. Oh. Aku merindukan Ken. Aku biarkan pesan itu tak terbalas. Kulanjutkan memasak. Hanya tiga puluh menit dan ayam kecap sawi itu sudah matang. Semoga lidah Amerikamu tidak ngilu merasakan masakanku.
Aku sudah mandi. Kaus warna salem dan jeans hitam aku padankan syal bercorak senada. Sepasang convers merah melengkapi kakiku yang melenggang ke luar kamar. Lelaki itu sudah duduk di teras.
“Let’s go!”, tanganku meraih tangannya.
“Dont be in hurry!”, balasnya sambil tertawa.
Aku tidak ingin berlama-lama. Aku hanya ingin segera sampai di rumah sakit. Honda Brio merah itu melaju tenang. Tidak ada kata. Sesekali mulutnya bernyanyi menirukan suara Elvis Presley melagukan Cant Help Falling in Love. Aku tersenyum. Ada begitu banyak rasa yang kembali mengisi relung hatiku. Aku mencoba untuk tidak salah mengartikan ini semua. Aku menghela nafas panjang. Mataku menutup pelan.
Kami berdua menyusuri lorong demi lorong Darmo International Hospital. Ujung lorong itu adalah tangga menuju lantai dua. Sekali belok, aku telah menemukan kamar Mama. Suster tersenyum kepadaku saat aku membuka pintu kamar Mama. Kulihat Mama tak lagi terbaring. Matanya sudah terbuka dan tubuhnya bersandar di dinding ranjang.
“Ibu Sarah sudah lebih baik, Nona. Dia sudah bisa diajak bicara. Saya permisi dulu. Jika ada yang diperlukan, silahkan anda tekan bel”
Aku mengangguk. “Terima kasih, Sus”, kataku.
Aku menghampiri Mama. Ada senyum yang bias di bibirnya. Aku memeluk tubuhnya erat. Aku merasakan air matanya menetes di ubun-ubunku.
Ken berdehem. Aku belum sadar jika aku belum memperkenalkannya kepada Mama. Aku berdiri dan mempersilahkan Ken duduk di kursi sedangkan aku duduk di samping Mama.
“Ma, masih ingat Ken? Teman SMA Rhein yang pernah Rhein ceritakan dulu?”, tanyaku hati-hati.
Mama mengangguk. Tangannya meraih pipi Ken. Ia tersenyum. Ken meraih tangan Mama, menciumnya dan menggenggamnya.
“Bagaimana keadaan Tante?”
Mama tersenyum. Ia melepas genggaman Ken dan meletakkannya di atas tanganku. Ada rasa yang berdesir hebat.
“Ehm, kita belum makan malam”, Ken melepaskan tangannya.
Aku melihat piring Mama sudah tinggal separuh.
“Mama mau makan lagi? Rhein suapi ya?”. Mama menggeleng. Ia menyuruh kami untuk segera makan. Meja tunggu itu kemudian penuh dengan bekal nasi dan ayam kecap sawi buatanku. Kami menikmatinya dalam diam. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba merasuki benakku. Apakah aku jatuh cinta?

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar