Cari Blog Ini

Rabu, 29 Agustus 2012

Ketika “Tua” Tak Lagi Menjadi Kaca.




“Dia janda”, kata mang Jono.

“Dia beranak 5”, timpal kang Sai’in.

“Dia bekerja di pasar. Dagang baju katanya”, sambung pak Tris.

“Dia rajin kok… Sukses. Dagangannya laku keras”, puji bik Ijah.

“Dia cantik. Siapa sangka jika anaknya sudah lima. Masih kinyis-kinyis”, seloroh pak Durman.

“Manis kok.. Untune loh mijil timun. Kalau tertawa manis… Alis matanya juga bagus. Nanggal sepisan”, mak Sum seakan membela.

“Wah saya juga mau.. Sudah cantik, sukses pula… Bahagia pasti saya…”, kata bang Togar sambil tertawa.

Obrolan itu berlangsung lama. Entah sudah berapa sisir pisang susu yang mereka nikmati. Cangkir-cangkir kopi pun sudah Mak Sum isi berkali-kali dengan kopi baru. Bik Ijah sepertinya sudah capek mengisi piring-piring kosong dengan singkong yang ia goreng. Lamat-lamat terdengar suara kokok ayam bersahutan. Sebenarnya ini masih tengah malam.

Walah sampean-sampean itu ya… kalau sama yang begituan aja kok ya semangat. Ini kopi mbok ya dibayar…”, gerutu Mak Sum yang disambut tawa bik Ijah.

Aku hanya tersenyum mendengar obrolah garing di warung kopi malam ini. Semua tentang janda cantik penghuni rumah bercat putih yang terlindung rimbunan daun mangga. Aku tak ambil pusing siapa dia. Toh aku melihatnya bersolek layaknya remaja. Padahal jelas terkira jika usianya sudah beranjak renta. Terakhir kulihat sebuah sedan parkir di depan rumahnya. Kata mereka mesin itu membawanya pergi ke hotel bintang lima.


29 Agustus 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar