Cari Blog Ini

Senin, 12 November 2012

Boy Band dan Girl Band: Fenomena Mimikri, Perusak Mental Berbudaya


Essai:

Boy Band dan Girl Band: Fenomena Mimikri, Perusak Mental Berbudaya
Oleh: Noura Nahdliyah*

“I want No Body No Body but You…..
….I want No Body No Body but You……”

Sepenggal lirik lagu tersebut tidak lagi asing di telinga masyarakat Indonesia, apalagi pelajar. Datangnya lagu-lagu buatan negera tetangga, Korea ini secara sporadis telah menghinggapi otak-otak masyarakat Indonesia, terutama pelajar. Mudahnya akses informasi di media massa menjadi alasan utama adanya penjamuran tersebut. Seorang siswa kelas satu Sekolah Dasarpun dengan mudahnya melantunkan tembang-tembang hasil suara Boy Band dan Girl Band Korea tersebut dengan mudah. Padahal jika diamati, tidak mudah untuk seorang siswa kelas satu Sekolah Dasar menghafalkan lagu tersebut di luar kepala. Apalagi alasannya jika tidak karena intensitas lagu tersebut yang muncul di media sehingga mudah ia dengarkan.
Sadar atau tidak sadar, menjamurnya Boy Band dan Girl Band di Indonesia merupakan sebuah fenomena Mimikri  yang sedang dihadapi Indonesia. Dalam studi Poskolonialisme (Poscolonial-Studies), istilah Mimikri dikenal dengan sikap meniru-niru. Seperti yang dijelaskan oleh Homi Babha, seorang pakar dari India, bahwa sikap mental bangsa asia pada umumnya adalah Mimicry (Sikap meniru-niru). Menurut Bhaba (dalam Foulcer, 2008: 105), yang dimaksud dengan mimikri adalah reproduksi belang-belang subjektifitas Eropa di lingkungan kolonial yang sudah tidak murni, yang tergeser dari asal-usulnya dan terkonfigurasi ulang dalam cahaya sensibilitas dan kegelisahan khusus kolonialisme.
Mari kita tarik pengertian tersebut pada fenomena yang terjadi saat ini. Boy Band dan Girl Band yang sedang mendunia ini adalah besutan musisi Korea dimana mereka berkiblat pada dunia barat. Musiknya yang easy listening itu menjadikan pendengarnya mudah mengikuti setiap iramanya dengan baik. Dipadu dengan gerak tubuh yang indah, musik Boy Band dan Girl Band ini dengan mudah menguasai pikiran pendengarnya, terlebih adalah siswa Sekolah Dasar.
Secara tidak sadar, mental kita telah dijajah oleh budaya barat. Dengan menikmati serta menerapkan budaya tersebut dalam kehidupan sehari-hari, kita seperti lupa akan budaya kita sendiri. Sebenarnya, budaya barat tidak pernah dapat disatukan dengan budaya timur. Sisi budaya yang berbeda dan keadaan masyarakat yang berbeda itulah yang menjadi dasar utama. Mengutip apa yang disampaikan oleh Prof. Budi Dharma, Phd, seorang Guru Besar UNESA dan sastrawan dunia bahwa timur dan barat tidak pernah bisa disatukan. Seperti puisi dari Rudyard Kipling berikut:
Oh, East is East and West is West, And never the Twain shall meet,
Till earth and Sky stand presently at God’s great Judgment’s seat.
Sebenarnya apa yang melatarbelakangi adanya fenomena tersebut selain semakin meluasnya media massa yang mudah dijangkau oleh masyarakat?
Sejauh ini, Lembaga Pendidikan kurang begitu menyadari betapa pentingnya menanamkan budaya asal kepada siswa. Siswa Taman kanak-Kanak misalnya. Mereka hanya disuguhi oleh ekstrakulikuler yang jauh dari kesan berbudaya, seperti Fashion Show. Alangkah baiknya jika Fashion Show yang biasa membawakan pakaian pesta itu diganti dengan Pementasan Baju Adat. Budaya Indonesia asli seperti Wayang, Reog dan Tari lainnya seakan pudar dibabat habis oleh masa. Tidak dapat dipungkiri, ada beberapa Lembaga Pendidikan yang dengan sadarnya mengatakan bahwa kesenian-kesenian tersebut sudah kuno, tidak up to date dan kurang diminati. Pantas saja budaya kita diambil Negara tetangga jika kenyataannya seperti itu.
Oleh karenanya, sebagai bangsa yang berbudaya, sudah seharusnya kita mencintai budaya kita sendiri, Indonesia. Dengan semakin menjamurnya Boy Band dan Girl Band di Indonesia, sudah seharusnya setiap Lembaga Pendidikan memberikan wadah yang cukup bagi peserta didiknya untuk melestarikan budaya asal Indonesia sehingga fenomena Boy Band dan Girl Band itu tidak lagi meracuni otak para penerus bangsa. Sudah saatnya dari diri kita sendirilah yang harus memiliki kesadaran akan betapa pentingnya budaya Indonesia. Budaya adalah identitas bangsa. Budaya adalah pembangun karakter dan mental suatu bangsa. Jika sikap Mimikri ini masih saja ada, lantas apa jadinya Indonesia? Salam Budaya.

Referensi:
Anis Maslihatin. 2012. Hibriditas, Mimikri, dan Ambivalensi dalam Novel De Winst Karya Afifah Afra. http://poskolonialisme.wordpress.com/tag/mimikri/ diakses pada tanggal 20 Februari 2012
Dharma, Phd, Budi, Prof. Sikap Mental Kita, Pokok-pokok pikiran dalam Seminar Nasional BEM PGSD UNESA, Minggu, 19 Februari 2012.


*Noura Nahdliyah
Penulis adalah Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.


Dimuat di Majalah Madinah LP Maarif NU Cabang Gresik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar