Cari Blog Ini

Sabtu, 15 Oktober 2016

Era Milenial Digital, Waspada atau Mati!

Tadi malam, saya baru saja membaca tulisan kang Emil a.k.a Ridwan Kamil, sang walikota Bandung tentang Era Milenial Digital di sini. Kemudian tadi pagi saya mendapat cerita (agak) buruk yang diakibatkan oleh kesalahan fatal dalam penggunaan sosial media. Saya jadi geleng-geleng kepala. Dari keduanya, terdapat benang merah yang dapat saya tarik kemudian.

Era Milenial Digital. Apa sih ini? ada-ada saja istilahnya. Baiklah, kita tahu jika Milenial adalah sebutan bagi mereka yang tahun lahirnya antara 1980 hingga 2000. Digital berarti teknologi yang semakin berkembang, segala yang berbau elektronik muncul, instan dan komunikasi didapatkan tidak hanya dari satu arah. Singkatnya, kita sedang hidup di jaman digital yang semuanya sudah sophisticated, canggih dan tidak out of date. Kasarnya begini, generasi Milenia sudah sangat dekat dengan media canggih dan tidak dapat dilepaskan dengan teknologi tersebut karena sudah membudaya, sudah menjadi gaya hidup.

Yang saya bahas sekarang adalah tentang ponsel. Saya tidak akan membahas mengapa seseorang menjadi pengidap nomophobia alias pecandu ponsel. Saya tidak akan membahas tentang manfaat dan kerugian ponsel. Pembahasan akan saya kerucutkan kembali ke bagian dalam ponsel. Apa itu? Nah, social media. Media sosial.

Siapa sih yang ndak kenal sama penyakit dan obat satu ini? Kenapa saya bilang penyakit dan obat karena memang noun satu ini bisa mendatangkan penyakit dan atau menjadikan obat. Alasannya? Baiklah.

Media Sosial Sebagai Penyakit

Setiap orang tidak hanya memiliki satu akun media sosial. Akun Facebook, Twitter, Instagram, Path, LinkedIn, MySpace, bahkan Pinterest bisa saja dimiliki satu orang. Artinya, setiap manusia pasti ndak jauh-jauh sama beginian. Pertanyaannya sekarang, apa yang mereka dapatkan dari akun-akun tersebut?

Dua puluh empat jam yang kita miliki kadang tidak berarti saat tangan dan mata kita fokus kepada layar kotak-kotak. Senyum-sennyum sendiri saat pelajaran berlangsung, jemari meliukkan kursor ke atas bawah kanan kiri lalu tiba-tiba menggerutu atau melakukan hal aneh lain. Tanpa disadari kita sudah menjadi autis alias punya dunia sendiri dikarenakan ponsel yang kita pegang. Media sosial yang sudah menjadi gaya hidup membuat kita lupa waktu dan lupa kalo kita masih punya dunia nyata. Hello, di samping kita ada manusia lain loh. Di sekitar kita ada manusia lain yang perlu diajak bersosialisasi. Dunia maya hanyalah fatamorgana. Hohohoho

Media sosial itu jahat. Apa yang ada dipikiran kita secara tidak langsung kita tuangkan dalam bentuk tulisan singkat lalu kita post di media tersebut. Oke jika apa yang kita pikirkan menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi sesama. Nah, jika yang kita tulis adalah sesuatu yang malah menyakitkan hati pihak tertentu, apa itu tidak penyakit namanya?

Seharusnya kita bisa waspada terhadap apa yang kita tulis di media sosial. Apakah saya tidak pernah melakukan itu? Apakah saya suci di media sosial? Oh, tidak. Saya sering nulis sesuatu yang beraroma menyindir ketika saya sedang tidak srek dengan seseorang. Apalagi masih jaman ababil dulu, yang jaman ditikung dari belakang. Hahaha Abaikan. Tapi apakah saya secara langsung tanpa tedeng aling-aling mempostingnya? Tidak. Ada cara yang lebih educated untuk itu. Kita bisa pakai puisi, cerpen, essai singkat atau kutipan wiseword dan hadist misalnya. Aman, kan?

Penyakit generasi milenia sekarang itu adalah mengutarakan apa yang ada di pikirannya tanpa mampu membatasi mana yang layak dan tidak. Kita tidak pernah bisa membendung apa yang sudah mengganjal di hati. Akibatnya, media sosial menjadi satu-satunya alat untuk mengebom bendungan tersebut.

Lantas bagaimana dengan media sosial yang menjadi obat?

Media Sosial Sebagai Obat

Pernah tau rasanya ditikung? Diajak selingkuh? Atau berbuat selingkuh? Hahaha Jangan curhat. Bagaimana sih caranya pakek Sosmed biar perasaan berkecamuk dalam diri kita dapat berbalik menjadi obat untuk kita? Nah, kita harus santun dalam menggunakan alat satu ini. Media Sosial sangat beragam. Kita bebas menggunakannya semau kita. Namun, kita harus bijak dalam hal tersebut.

Bagaimana tidak, yang menjadi pembaca postingan kita tidak hanyya satu orang, namun ribuan. Tidakkah kita malu jika postingan itu justru berbalik menikung kita, eh menyerang kita? :D

Kuncinya hanya satu, bijaksana. Kita bisa menggunakan satire seperti bikin puisi, cerpen atau essai singkat. Contohnya pas kita lagi marahan sama doi, ditikung dari belakang, diselingkuhin, ya bikin saja puisi tentang itu. Atau bikin cerpen misalnya, tentang cinta segitiga yang tokohnya merujuk ke kita atau apalah. Intinya, kita harus produktif. Jangan mengumbar masalah yang sedang kita hadapi dengan postingan tidak bermutu. Sekali lagi, people can infer whether you are educated or uneducated from your reflection. Dan cerminan diri kita ya tulisan kita itu.

Setelah kita post perasaan kita melalui puisi, cerpen atau essai lain hati kita akan merasa plong, pembaca memuji tulisan kita lalu mengapreiasinya dengan komentar bagus. Nah, sudah jadi obat kan? Mudah bukan?

Sekarang kita tinggal mau pilih yang mana. Bagaimana kita bisa menggunakan media sosial dengan bijak atau bukan adalah bergantung bagi diri kita masing-masing.

Waspada Atau Mati!

Era Milenial Digital bukanlah suatu jaman yang bisa dibuat santai sembari duduk-duduk manis. Kita wajib waspada. Dalam hal apa? Semuanya. Kita harus waspada dengan apa yang kita tulis, kita harus waspada dengan apa yang kita lakukan, kita harus waspada dengan persepsi atau penialian orang, kita harus waspada dengan sikap kita ke orang, cara kita hormat, cara kita bersosialisasi, pokonya semuanya. Sekali kita melanggar maka kita sudah merusak citra kita sendiri. Kalo sudah rusak harga dirinya, ya Mati.

Jadi, benang merahnya adalah penggunaan media sosial itu dalam era milenial digital yang sedang kita hadapi saat ini. Bagaimanapun juga era milenial digital memunculkan haters dan juga lovers. Sudah pasti lah hidup itu ada yang suka ada yang gak suka. Tapi sebenarnya kita sendirilah yang mampu membuat diri kita disukai atau dibenci.

Thus, kita tetap harus membentengi diri kita dengan sikap waspada. Bagaimana penilaian orang terhadap kita adalah cerminan dari sikap kita sendiri. Mulai sekarang, bijaklah dalam menggunakan sosial media. Era Milenial Digital mampu memberikan manfaat bagi kita namun juga bisa berbalik membunuh kita. Semua kembali pada diri kita masing-masing. Salam.


*ps: Gak boleh nikung loh, ya! wkwkwkw :-D



Nay
15 - 10 - 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar