Bagian 2
Kenyataan Pahit
Hamparan rumput hijau dengan batu nisan
berjajar tampak sepanjang mataku. Aku mendorong kursi roda yang diduduki Mama.
Nisa berjalan di sampingku dengan menggandeng Abah. Hari ini kami mengunjungi
makam Kak Fikri. Mama menangis tersedu sejak awal kami datang hingga selesai
berdoa. Cukup lama kami berada di sini hingga Abah mengajak untuk pulang.
Namun, aku tetap ingin tinggal. Aku ingin mengenang segala tentang lelaki itu.
“Rayya boleh di sini sebentar?”
Abah mengangguk. Nisa mendorong kursi roda
Mama disusul dengan Abah yang berjalan di sampingnya. Mereka kembali ke mobil
lebih dulu.
Kupeluk nisan batu bertuliskan nama lelaki
itu. Aku tidak percaya jika ternyata aku kuat sampai aku bisa menapakkan kakiku
ke tempat ini. Ini adalah kali keduaku kemari. Namun, saat pemakaman itu aku
hanya diam di dalam mobil. Aku tidak pernah kuat melangkahkan kaki untuk melihat
bagaimana tubuh itu dikebumikan.
“Kak, Rayya kangen. Rayya kangen Kak
Fikri.”
Aku tidak bisa berkata apapun lagi selain
tangis yang semakin tersedu. Rindu ini benar-benar tidak bisa dihentikan. Pun
tak mampu kudefinisikan. Aku benar-benar kehilangan.
Hampir lima belas menit aku duduk di samping
pusaranya. Aku memutuskan untuk kembali ke mobil saat Nisa meneleponku.
“Apa?”
Bergegas aku berlari menuju mobil saat
kudengar Nisa mengatakan jika Mama tak sadarkan diri ketika hendak masuk ke
mobil. Nisa bilang kita harus segera ke rumah sakit.
“Tidak…”
Aku menutup mulut dan memundurkan tubuhku
ke dinding saat dokter mengatakan jika Mama tidak tertolong. Nisa berteriak
memeluk jasad itu. Abah terpaku di samping ranjang. Aku jatuh terduduk lemas.
Tidak mungkin. Hatiku benar-benar berontak.
Abah menghampiriku dan merangkulku untuk
mendekat ke jasad Mama. Kakiku tidak cukup kuat untuk menopang badanku yang
semakin lemas. Kuusap wajah dan kukecup keningnya. Aku berbisik di telinganya.
“Ma, Bangun. Kita belum jalan-jalan ke
Taman Sari seperti yang Mama pernah minta ke Rayya dulu. Kita belum minum Es
Dawet Mbah Hari di Bringharjo, Ma. Mama bangun, Ma…” Tangisku pecah. Nisa memelukku.
Tuhan, mengapa takdir ini begitu sakit.
###
Hari ini adalah hari ketujuh kepergian
Mama. Esok adalah kepulanganku kembali ke Surabaya. Ketika memesan tiket kereta,
aku sudah merencanakan untuk menginap selama satu minggu di Kota Gede. Ternyata
waktu seminggu itu adalah waktu yang benar-benar disiapkan semesta untukku
melepas kepergian Mama. Aku benar-benar terpukul. Dua kali kedatanganku ke
Jogja adalah dua hari terkelam dalam hidupku. Apa yang direncanakan Tuhan
sehingga aku harus merasakan kehilangan saat aku mendatangi kota ini.
“Jadi berangkat besok, Nduk?” tanya
Abah saat aku berkemas di dalam kamar.
Aku mengangguk.
“Abah akan selalu merindukanmu, Nduk.
Kamu sudah kami anggap sebagai anak kami sendiri, bagian dari keluarga ini.”
Lelaki tua itu memelukku erat. Aku paham
betul bagaimana ia telah menahan rasa sakit setelah kepergian anak
laki-lakinya. Pun sekarang setelah kepergian istrinya. Namun, aku juga paham
jika lelaki tua di depanku ini adalah sosok terkuat yang pernah aku temui.
“Jaga diri kamu baik-baik ya, Nduk.
Jangan pernah takut untuk datang ke Jogja.”
“Nggih, Abah.”
Aku tidak mampu berkata banyak. Tangisku
cukup menjawab betapa hatiku sangat berat menghadapi takdir yang begitu pekat.
“Abah juga jaga kesehatan, nggih.
Kalau ada apa-apa Abah telepon Rayya.”
“Tenang saja, Nduk. Abah tidak
serapuh itu. Abah menyerahkan semua kepada Gusti Allah. Kita semua cuma lakon
yang siap kapanpun diambil lagi oleh-Nya.”
Aku memegang erat tangan keriput itu.
“Terimakasih telah menganggap Rayya
sebagai bagian dari keluarga ini, Bah.”
Aku mencium kedua tangan yang tampak
semakin keriput itu.
Abah meninggalkanku sendirian di dalam
kamar. Aku meletakkan pakaian yang sudah kulipat ke dalam koper. Setelah itu,
kuambil jaket yang kutaruh di dinding. Aku teringat sesuatu. Kumasukkan
tanganku ke dalam saku jaket itu dan kutemukan kertas yang diselipkan Vino
untukku. Sebaris nomor telepon.
Aku mengambil ponsel dan menyentuh
layarnya untuk menuliskan sebaris nomor itu. Ragu aku memencet tombol panggil.
Namun, akhirnya kupencet juga. Beberapa detik nada dering mengalun. Lalu
kuputus panggilan itu. Aku memutuskan untuk mengirim pesan saja.
Ini
aku, Rayya. Maaf baru menghubungimu sekarang. Bisa ketemu nanti malam jam 7 di
Pendopo Lawas?
Hanya
beberapa detik pesanku dibalas.
Sure.
Sampai ketemu nanti.
Nisa
mengantarku dulu ke Pendopo Lawas. Ia akan pergi dengan temannya. Namun,
sebelum pergi ia temani aku dulu duduk sebentar sambil menunggu Vino datang.
Laki-laki
itu datang dengan jaket hoodie warna abu dan warna jeans senada. Aku
melambaikan tangan saat ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Ia lantas
menghampiriku dengan senyum.
“Hei.
Udah lama nunggu?”
“Enggak.
Masih sebentar kok. Vin, kenalin ini Nisa, adiknya Kak Fikri.”
“Hai.
Nisa.”
“Vino.
Nice to meet you.”
Nisa
membalasnya dengan senyum.
“Ya
udah, Mbak. Kak Vino kan udah datang. Nisa pergi dulu ya. Nanti Mbak Rayya
telepon Nisa aja kalo udah mau pulang.”
“Makasih
ya, Nis.”
Nisa
tersenyum, memelukku sebentar lalu pergi.
Aku
memesan secangkir cappuccino sedangkan Vino memesan kopi hitam. Setelah meneguk
cangkir masing-masing, aku mulai berbicara. Aku merasa jika aku membutuhkan
tempat untuk meluapkan tangis. Menyandarkan bahuku ke Nisa, memeluk erat Abah
atau menelopon Bunda dan Ayah ternyata belum cukup membuatku kuat untuk menghadapi
takdir yang terlalu menyakitkan ini.
“Mama
pergi, Vin. Mama meninggal sehari setelah kedatanganku.”
“My
God! Rayya. Are you okay?”
“Aku
ga cukup kuat untuk merasa baik-baik saja, Vin. Dunia ini terlalu jahat buatku.
Takdir ini terlalu sakit. Kenapa setiap kali kedatanganku ke sini setiap itu
pula harus ada yang pergi? Seburuk itukah aku?”
Aku
tidak mampu lagi mengontrol tangis. Vino bangkit dan memelukku.
“Stop
saying that it’s your fault, Ya. Ini takdir. Kita ga akan pernah bisa
melawan takdir.”
Pelukan
itu menjadi tempat kutumpahkan segala penat dan sesal di dada. Tidak ada suara,
hanya isak tangisku yang tak bisa berhenti. Seketika itu aku sadar pada siapa
kubersandar. Aku melepas pelukan itu dan menangkupkan kedua tanganku ke wajah.
“Tapi
takdir ini terlalu sakit, Vin. Orang-orang yang aku sayangi selalu pergi ketika
aku justru ingin menjemput bahagia bersama mereka.”
“Ya, trust me! Semesta selalu baik
dengan rencananya.”
“Apakah takdir ini yang kamu sebut baik,
Vin? Tidak.”
Ia meletakkan kedua tanganku di atas meja.
Dipegangnya tanganku erat. Bola matanya berhenti tepat di depan mataku.
“Rayya, believe me! It will over soon.”
Aku tidak menjawab.
“Aku pulang ke Surabaya besok. Thanks ya
udah nemenin aku selama di Jogja.”
“Keretamu jam berapa besok?”
“Jam 8. Aku diantar Nisa ke stasiun.”
“Aku temenin kamu sampai keretamu jalan,
ya?”
“Enggak perlu, Vin. Thanks so much.”
Sepertinya Vino tahu jika aku butuh waktu
untuk sendiri. Meski ia berusaha mendekatiku, aku merasa jika ia paham mengapa
aku seperti ingin kita berjarak.
“Hubungi aku kalo kamu ada perlu apa-apa,
Ya. It’s fine if I can help you.”
“Termasuk kalo aku butuh temen buat ke
Aussie?” Tiba-tiba kalimat yang meluncur dari mulutku membuat suasana mencair.
“Sure. Itu pasti, Ya.”
Vino menatapku lekat. Terimakasih atas
keteduhan mata itu, Vin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar