Bagian 4
Kejutan
“Rayya, kamu lagi di Jakarta?”
Suara Vino kencang terdengar dari ponsel
di telingaku.
“Iya.” Aku menjawab dengan sedikit
menjauhkan ponsel dari telinga.
“Shareloc, dong!”
“Hah?”
Mulutku ternganga mendengar kara shareloc
yang baru saja diucapkan Vino.
“Udah ga usah sok kaget. Aku tahu pasti
kamu di sana lagi ga bisa ngomong.” Vino terbahak.
“Aku tadi baca story IG kamu. Aku pernah
bilang apa ke kamu? Semesta itu terlalu baik sama kita, Ya. Aku lagi di Jakarta
sekarang. Sejak dua hari yang lalu sih sebenarnya. Ada urusan kerjaan.”
Aku masih tidak mampu berkata apapun. Mulutku
masih terbuka lebar dan tidak percaya atas takdir apa yang sedang terjadi dalam
hidupku.
“Hei, are you still there, Ya? Aku tahu
pasti sekarang kamu lagi bengong.” Vino tertawa sekali lagi.
“Udah deh ketawanya. Resek banget sih.” Suara
manjaku tiba-tiba keluar begitu saja.
“Aku suka nada manjamu, Ya.” Kali ini tawa
Vino agak ringan.
“Kamu di derah mana emangnya?”
“Pecenongan.”
“Jauh juga sama tempatku.”
“Ga ada kata jauh kalo kita mau berusaha,
Ya.”
“Idih, sok bijak banget.” Kali ini gantian
aku yang tertawa.
Percakapan via telepon itu akhirnya
berhenti juga setelah aku mengirimkan lokasi apartemenku via whatsapp. Meski
berat, ada rasa senang yang muncul dalam hatiku. Entah apa namanya. Aku sulit
menerjemahkan segala rasa yang muncul tiba-tiba.
###
Hari ini adalah hari pertamaku di kantor. Pak
Surya rupanya sudah menyiapkan segalanya. Ada sopir pribadi yang siap
menjemputku dari apartemen menuju kantor. Sebenarnya sudah sejak kedatanganku
kemarin sopir ini hendak menjemputku tapi aku sudah mengatakan jika ada kerabatku
yang sudah siap menjemput.
Kata Pak Surya, jika aku sudah hafal seluk
beluk kota Jakarta aku boleh membawa mobil ini sendiri. Baik sekali bos satu
itu. Posisiku saat awal masuk di perusahan milik Surya Gumilang itu hanyalah
staf biasa. Kemudian aku dipromosikan menjadi supervisor. Setelah melihat
kinerjaku yang lumayan, Pak Surya mengangkatku sebagai manajer produksi lalu
menjadikanku sebagai sekretaris pribadinya yang mengatur semua kegiatan perusahaan
atas arahannya. Sekarang posisiku masih sama sebagai manajer tapi di kantor
cabang yang baru saja dibuka. Itu artinya aku termasuk bagian vital dari
kelangsungan perusahaan ini.
Blazer warna salem dengan setelan rok
selutut menemani hari pertamaku di kantor. Rambut sebahuku hanya kuberi jepit
kecil di atas telinga sebelah kiri. Sementara itu yang lain kubiarkan terurai. Tas
merk charleskeith model selempang tampak serasi saat menggantung di
bahuku. High hells warna krem membuat kakiku tampak lebih jenjang.
Setelah ada semacam official ceremony
di ruang direksi, aku bersama para undangan lainnya disilakan untuk menikmati
jamuan yang sudah tersedia di pantry. Disitulah aku kaget luar biasa. Vino ada
di sana.
“Vino…”
Aku berteriak hingga beberapa kolega menatapku.
Seketika itu juga aku menutup mulut.
“Semesta punya rencana apa lagi?”
Pertanyaanku disambut senyum olehnya.
“Aku bener-bener ga percaya kita bisa ketemu
di sini, Ya.”
“Apalagi aku. Bukannya kamu bilang kalau
kamu di Pecenongan. Ini Kelapa Gading loh.” Kami berdua tertawa.
“Duduk, Ya!”
Kami berdua duduk di pantry. Ia kemudian
bercerita jika teman yang membawanya bekerja di Aussie dulu adalah salah satu
direksi dari Perusahaan Garmen yang juga milik Pak Surya ini. Ia juga bercerita
jika saat ini ia sedang mengikuti kelas jauh untuk pendidikan S1.
“Jadi aku sempat ikut kejar paket dulu,
Ya. Before I went to Aussie. Nah, sambil aku kerja di toko kaus aku ambil
kuliah kelas jauh.”
“Terus yang katamu ada kerjaan di Jakarta
itu apa?”
“Ada seminar bisnis. Aku rajin ikut
begituan loh, Ya.” Vino menggodaku dengan membanggakan dirinya sendiri.
“Lalu David bilang kalau perusahaannya
merger dengan salah satu perusahaan garmen asal Surabaya. Aku diundang di soft
launch-nya. Aku tidak punya pikiran sama sekali kalo ada kamu. Aku baru
tahu saat kamu kasih speech di ceremonial tadi.”
“Vino. I can’t say anything.”
“Kenapa jadi kamu yang sok inggris?”
Aku mendorong bahu lelaki itu sambil tertawa.
Ia tampak berbeda. Kemeja warna biru yang dimasukkan ke dalam celana formal
warna hitam berpadu dengan sepatu pantofel yang juga berwarna hitam. Lengan
kemejanya dilipat sampai siku. Vino semakin menawan.
“Bagiku semesta itu aneh, bukan luar
biasa.”
Kami berdua tertawa.
cvKami berpisah di lobby. Sopir sudah
menungguku dan Vino sudah ditunggu David, temannya itu. Ia berjanji akan mampir
di apartemenku sebelum kembali pulang ke Jogja. Waktunya di Jakarta hanya tersisa
dua hari. Katanya, ia harus benar-benar memanfaatkan waktunya di sini
bersamaku.
Sepulang dari kantor aku segera
membersihkan diri dan meletakkan barang-barang yang kemarin belum sempat
kurapikan. Tanganku berhenti pada sebuah pigura yang masih berada dalam box. Pigura
berisi fotoku dan Kak Fikri ini kuambil dari kamarnya saat aku ke Jogja waktu
itu. Aku menatap pigura itu dalam-dalam. Aku usap foto kami beberapa kali.
“Kak, Rayya Ikhlas. Izinkan Rayya membuka
hati untuk orang lain ya, Kak. Tapi Rayya belum tahu orangnya siapa. Oh ya,
Kak. Kak Fikri ingat Vino ndak? Lelaki yang pernah Rayya ceritakan dulu.
Dia datang lagi, Kak. Tapi Rayya berharap orang yang mampu membuka hati Rayya
bukanlah Vino.”
Aku berbicara kepada pigura itu. Lalu
kupeluknya erat. Memang merindukan orang yang sudah tiada itu sakit dan terlampau
berat.
Kesibukanku di kantor dua hari ini sangat
menyita waktu. Ajakan Vino untuk bertemu di malam harinya sengaja aku tolak. Dua
hari ini aku pulang malam dari kantor. Aku ingin istirahat saja untuk melepas lelah.
Pesan terakhir dari Vino kemudian kubalas dengan panggilan telepon.
“Keretamu jam berapa?”
“Jam satu malam ini. Beneran ga bisa
ketemu nih?”
“Save trip, ya. Semoga lain kali
bisa ketemu lagi.”
Vino sangat paham jika aku berkata tidak
maka kenyataannya adalah tidak. Ia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Padahal
aku sangat paham jika ia benar-benar ingin menemuiku. Tiba-tiba aku berpikir,
Vino benar-benar memahamiku atau justru merasa terpaksa memahami?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar