Cari Blog Ini

Senin, 15 Januari 2024

Novel - All About You (Bagian 3)

 


Bagian 3

Harapan Baru

Akhir bulan dan laporan bulanan harus segera kuselesaikan. Sepertinya hari ini aku akan lembur. Aku ingin menyelesaikan semuanya agar besok aku bisa bersantai di rumah. Liburan akhir tahun ini benar-benar harus bisa kumanfaatkan dengan baik. Satu bulan ini benar-benar kuhabiskan untuk bekerja. Otakku dipaksa berpikir keras. Sudah seharusnya aku meletakkannya sebentar agar nantinya bisa fresh kembali.

Aku sengaja menghabiskan waktuku untuk bekerja. Alih-alih agar aku melupakan segala kepenatan yang selama ini ada dalam hidupku. Pasca kepulanganku dari Jogja bulan lalu, aku ingin bersumpah untuk memulai hidup baru. Beberapa kali panggilan dari Vino tidak kuangkat. Pun dengan puluhan pesan yang mendarat di ponselku. Bagiku Vino adalah masa lalu. Pun dengan Kak Fikri. Ia sudah berada jauh di atas awan. Aku harus memulai hidup baru.

“Rayya, dipanggil Pak Surya, tuh.” Rima menghampiri mejaku.

“Ngapain lagi? Bukannya laporan udah kelar semua ya?

Aku menggerutu sambil menuju ke ruangan Pak Surya segera.

“Permisi, Bapak.” Aku mengetuk pintu ruangan Pak Surya. Dengan sekali anggukan ia mengizinkan aku masuk.

“Rayya, saya merasa jika kamu sudah cukup mampu menghandle semua urusan perusahaan. Bulan depan adalah soft launch branch kita yang di Jakarta. Saya percaya kamu bisa mengurus semua di sana.”

“Hah? Jakarta, Pak?”

“Ya. Saya harap kamu tidak akan menolaknya.”

Aku bingung harus menjawab apa. Aku senang karena ini merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam karirku. Selain itu, merasakan atmosfer Jakarta pasti akan memberikan warna baru dan mungkin menjadi semacam short escape dari seluruh pelik yang pernah kurasa. Namun, dengan aku pindah ke Jakarta artinya aku akan meninggalkan Ayah dan Bunda. Aku harus meminta izin kepada mereka.

“Boleh saya kabari nanti, Pak? Saya harus membicarakan ini dengan keluarga saya dulu.”

“Ok. Don’t be too late, Ya.”

Aku mengangguk dan mengucapkan permisi.

Rima dan beberapa rekan mendekat ke mejaku. Mereka sangat ingin tahu maksud Pak Surya memanggilku.

“Jangan-Jangan Pak Surya suka sama Rayya,” seloroh Fadil.

“Eh ga usah aneh-aneh deh. Pak Surya itu cocoknya jadi Bokapnya Rayya,” timpal Rima.

“Coba tebak Pak Surya bilang apa?” Aku tersenyum centil kepada mereka.

Happy nih kayaknya,” goda Rima.

“Aku mau dipindahkan ke branch baru kita di Jakarta. Manajer Produksi in our new branch.”

Mereka berteriak tak percaya. Rima dan Fadil menutup mulut mereka dengan kedua tangan. Sementara yang lain memelukku.

Congrats, Bes... You deserve better.”

Your welcome, Bestiii...” Aku memeluk Rima.

“Tapi aku belom say yes.”

Seketika itu pelukan Rima ia lepaskan.

“Kenapa? Resek banget sih. Itu kan pencapaian tertinggi buat kamu. Jakarta woy... Jakarta.”

“Aku harus tetep bilang ke Ayah Bunda dong ya...”

“Fix anak mama deh kalo mereka ga kasih izin. Fix ga pengen kamu keren berarti mereka.”

“Enak aja. Udah balik sana.” Aku mendorong punggung Rima dan yang lain agar mereka kembali ke meja masing-masing

Jamuan makan malam bersama sudah dimulai saat aku tiba di rumah. Bunda menyuruhku untuk segera mandi dan ganti baju. Ayah bilang akan menungguku selesai beberes untuk kemudian makan bersama.

“Bund, bulan depan Rayya dipindah ke Jakarta. Kantor buka cabang di sana. Pak Surya meminta Rayya buat handle semuanya.”

Raut wajah Ayah dan Bunda tampak bahagia.

Congrats ya, sayang.” Ibu memelukku.

“Di Jakarta lama dong?” tanya Ayah.

Aku mengangguk. Bunda menatap Ayah dengan kode yang tidak aku mengerti.

“Bunda sama Ayah bangga atas pencapaianmu. Tapi kamu harus tahu jika usiamu sekarang sudah seperempat abad. Tahun depan sudah dua enam kan?”

“Kan masih dua enam, Bund. Belum juga tiga puluh.” Aku tertawa sembari memasukkan potongan ayam ke mulutku.”

“Teman-temanmu sudah banyak yang menikah loh, Ya.”

“Ayah... Trust me! Rayya akan bilang ke Ayah dan Bunda kalau Rayya sudah siap untuk semua.” Aku memegang tangan Ayah.

“Kamu harus bisa pelan-pelan melupakan Fikri. Pasti Fikri di sana juga sedih kalau kamu belum bisa move on. Kasihan dong Fikri bisa-bisa ga tenang di sana.” Bunda mengatakan kepadaku dengan nada yang membuatku merasa iba.

“Bunda sama Ayah tenang aja. Rayya sudah ikhlas Kak Fikri pergi. Rayya lagi belajar pelan-pelan buat move on. Tapi sekarang Rayya lagi pengen fokus kerja. Ayah sama Bunda percaya Rayya, kan?”

Mereka berdua tersenyum dan mengangguk.

Tawaran Pak Surya benar-benar aku pertimbangkan. Aku harus menemukan tempat baru untuk upgrading skill. Aku ingin mengejar segala pencapaian yang pernah aku impikan. Aku ingin selesai dengan duniaku sendiri sebelum aku memutuskan untuk berbagi dunia dengan orang lain. Aku memejamkan mata. Kumantapkan hati untuk menerima tawaran Pak Surya. Ya. Besok aku akan menyampaikan kepada bosku itu bahwa aku siap dipindah ke Jakarta.

###

            Pesawat dengan nomor penerbangan QR-208 itu akan lepas landas pukul 7:15 pagi ini. Ayah mengantarkanku ke Bandara Juanda Surabaya bersama Bunda. Di pintu keberangkatan Ayah dan Bunda bergantian memelukku.

“Sampai Jakarta langsung kabari Bunda ya, sayang.”

“Om Rio sudah Ayah hubungi. Nanti dia yang akan jemput kamu di bandara. Langsung aktifkan ponselmu setelah pesawat turun biar kalau Om Rio telfon jadi gampang.”

Ayah dan Bunda bergantian berpesan. Aku hanya mengangguk, memeluk mereka, dan menatap mereka haru. Bergegas aku mendorong koper menuju booth chek-in bagasi. Setelah menerima boarding pass aku berjalan ke arah tangga menuju gate 1 tempatku menunggu pesawat. Aku masih punya waktu sekitar empat puluh lima menit sebelum panggilan masuk ke pesawat. Waktu yang cukup lama ini aku gunakan untuk scrolling media sosial. Tiba-tiba ada keinginanku untuk membuka blokir akun Vino yang pernah kublok beberapa tahun silam. Antara ragu dan benar-benar ingin aku menggerakkan layar naik turun. Akhirnya unblocked.

Setelah itu ada satu panggilan dari Rima.

“Udah di Bandara? Sorry ya ga bisa nganter. Telat bangun, nih” Suara Rima yang nyaring mengudara.

“Tenang aja. Tinggal nunggu pesawat boarding aja. Bakal kangen banget nih sama kamu, Bes…”

“Pasti lah. You’ll miss me every day. Jangan lupa buat telepon aku ya. Awas kalau pura-pura lupa karena udah jadi anak Jekardah.”

“Iya, Bawel. Rim…”

“Iya…”

“Aku abis unbloked semua akun Vino.”

“Heh? Yakin?”

Aku menggumam.

“Ya, kamu sendiri yang bilang kalau kamu pengen suasana baru di Jakarta. Dengan buka blokirannya, tuh orang bisa dengan mudah tau posisi kamu sekarang dimana. Disamperin di Jakarta baru tahu rasa kamu.”

“Ga akan.”

“Halah. Ga akan gimana? Awas aja ya kalo kamu ada apa-apa ga usah minta bantuan sama aku.”

“Rima, please.

Rima menutup telepon. Sepertinya ia sebal kepadaku yang tidak konsisten ini.

Panggilan boarding baru saja kudengar. Bergegas aku menuju ke petugas yang mengarahkanku ke garbarata. Di lorong garbarata ini aku mengambil gambar kemudian aku memasang story di Instagram dengan narasi: Wait me! Hei, Jakarta. Setelah menemukan kursiku dan merapikan seatbelt, aku sentuh ikon turn off di layar. Aku ingin tidur selama enam puluh menit perjalanan ini.

Om Rio, saudara jauh ayahku sudah menunggu tepat di sebelah pintu keluar terminal 3 Bandara Soetta. Setelah aku mengambil koper di conveyor belt 10, aku menuju imana yang dipandu oleh Om Rio melalui telepon. Aku langsung bisa mengenali tubuh tegap dengan kemeja yang tangannya dipilin ke atas itu karena memang kita sering bertemu.

Welcome to Jakarta, Ya. How’s life?” sapa Om Rio.

“Baik, Om. Sehat semua, Om?”

Every thing’s fine. Apartemen kamu di daerah Kelapa Gading, ya?”

Aku mengangguk.

Aku berjalan mengikuti Om Rio hingga ke tempat dimana ia memarkir mobilnya. Setelah itu, ia mengajakku ke rumahnya untuk bertemu dengan istri dan anaknya sebelum mengantarkan aku ke apartemen di siang harinya. Melihat suasana Jakarta dari kaca, ada harapan besar dalam hatiku untuk sebuah masa depan. Suasana baru yang aku impikan benar-benar harus terwujud selama aku berada di kota ini. Namun, harapan itu tiba-tiba menyingkir perlahan saat sebuah panggilan mendarat di ponselku. Vino.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar