Bagian 3
Harapan Baru
Akhir bulan dan laporan bulanan harus
segera kuselesaikan. Sepertinya hari ini aku akan lembur. Aku ingin
menyelesaikan semuanya agar besok aku bisa bersantai di rumah. Liburan akhir
tahun ini benar-benar harus bisa kumanfaatkan dengan baik. Satu bulan ini
benar-benar kuhabiskan untuk bekerja. Otakku dipaksa berpikir keras. Sudah
seharusnya aku meletakkannya sebentar agar nantinya bisa fresh kembali.
Aku sengaja menghabiskan waktuku untuk
bekerja. Alih-alih agar aku melupakan segala kepenatan yang selama ini ada
dalam hidupku. Pasca kepulanganku dari Jogja bulan lalu, aku ingin bersumpah
untuk memulai hidup baru. Beberapa kali panggilan dari Vino tidak kuangkat. Pun
dengan puluhan pesan yang mendarat di ponselku. Bagiku Vino adalah masa lalu.
Pun dengan Kak Fikri. Ia sudah berada jauh di atas awan. Aku harus memulai
hidup baru.
“Rayya, dipanggil Pak Surya, tuh.” Rima
menghampiri mejaku.
“Ngapain lagi? Bukannya laporan udah kelar
semua ya?
Aku menggerutu sambil menuju ke ruangan
Pak Surya segera.
“Permisi, Bapak.” Aku mengetuk pintu
ruangan Pak Surya. Dengan sekali anggukan ia mengizinkan aku masuk.
“Rayya, saya merasa jika kamu sudah cukup
mampu menghandle semua urusan perusahaan. Bulan depan adalah soft launch branch
kita yang di Jakarta. Saya percaya kamu bisa mengurus semua di sana.”
“Hah? Jakarta, Pak?”
“Ya. Saya harap kamu tidak akan
menolaknya.”
Aku bingung harus menjawab apa. Aku senang
karena ini merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam karirku. Selain itu,
merasakan atmosfer Jakarta pasti akan memberikan warna baru dan mungkin menjadi
semacam short escape dari seluruh pelik yang pernah kurasa. Namun,
dengan aku pindah ke Jakarta artinya aku akan meninggalkan Ayah dan Bunda. Aku
harus meminta izin kepada mereka.
“Boleh saya kabari nanti, Pak? Saya harus
membicarakan ini dengan keluarga saya dulu.”
“Ok. Don’t be too late, Ya.”
Aku mengangguk dan mengucapkan permisi.
Rima dan beberapa rekan mendekat ke
mejaku. Mereka sangat ingin tahu maksud Pak Surya memanggilku.
“Jangan-Jangan Pak Surya suka sama Rayya,”
seloroh Fadil.
“Eh ga usah aneh-aneh deh. Pak Surya itu
cocoknya jadi Bokapnya Rayya,” timpal Rima.
“Coba tebak Pak Surya bilang apa?” Aku
tersenyum centil kepada mereka.
“Happy nih kayaknya,” goda Rima.
“Aku mau dipindahkan ke branch baru
kita di Jakarta. Manajer Produksi in our new branch.”
Mereka berteriak tak percaya. Rima dan
Fadil menutup mulut mereka dengan kedua tangan. Sementara yang lain memelukku.
“Congrats, Bes... You deserve
better.”
“Your welcome, Bestiii...” Aku
memeluk Rima.
“Tapi aku belom say yes.”
Seketika itu pelukan Rima ia lepaskan.
“Kenapa? Resek banget sih. Itu kan pencapaian
tertinggi buat kamu. Jakarta woy... Jakarta.”
“Aku harus tetep bilang ke Ayah Bunda dong
ya...”
“Fix anak mama deh kalo mereka ga kasih
izin. Fix ga pengen kamu keren berarti mereka.”
“Enak aja. Udah balik sana.” Aku mendorong
punggung Rima dan yang lain agar mereka kembali ke meja masing-masing
Jamuan makan malam bersama sudah dimulai
saat aku tiba di rumah. Bunda menyuruhku untuk segera mandi dan ganti baju.
Ayah bilang akan menungguku selesai beberes untuk kemudian makan bersama.
“Bund, bulan depan Rayya dipindah ke
Jakarta. Kantor buka cabang di sana. Pak Surya meminta Rayya buat handle semuanya.”
Raut wajah Ayah dan Bunda tampak bahagia.
“Congrats ya, sayang.” Ibu
memelukku.
“Di Jakarta lama dong?” tanya Ayah.
Aku mengangguk. Bunda menatap Ayah dengan
kode yang tidak aku mengerti.
“Bunda sama Ayah bangga atas pencapaianmu.
Tapi kamu harus tahu jika usiamu sekarang sudah seperempat abad. Tahun depan
sudah dua enam kan?”
“Kan masih dua enam, Bund. Belum juga tiga
puluh.” Aku tertawa sembari memasukkan potongan ayam ke mulutku.”
“Teman-temanmu sudah banyak yang menikah
loh, Ya.”
“Ayah... Trust me! Rayya akan
bilang ke Ayah dan Bunda kalau Rayya sudah siap untuk semua.” Aku memegang
tangan Ayah.
“Kamu harus bisa pelan-pelan melupakan
Fikri. Pasti Fikri di sana juga sedih kalau kamu belum bisa move on.
Kasihan dong Fikri bisa-bisa ga tenang di sana.” Bunda mengatakan kepadaku
dengan nada yang membuatku merasa iba.
“Bunda sama Ayah tenang aja. Rayya sudah
ikhlas Kak Fikri pergi. Rayya lagi belajar pelan-pelan buat move on.
Tapi sekarang Rayya lagi pengen fokus kerja. Ayah sama Bunda percaya Rayya,
kan?”
Mereka berdua tersenyum dan mengangguk.
Tawaran Pak Surya benar-benar aku
pertimbangkan. Aku harus menemukan tempat baru untuk upgrading skill. Aku
ingin mengejar segala pencapaian yang pernah aku impikan. Aku ingin selesai
dengan duniaku sendiri sebelum aku memutuskan untuk berbagi dunia dengan orang
lain. Aku memejamkan mata. Kumantapkan hati untuk menerima tawaran Pak Surya. Ya.
Besok aku akan menyampaikan kepada bosku itu bahwa aku siap dipindah ke
Jakarta.
###
Pesawat dengan nomor penerbangan
QR-208 itu akan lepas landas pukul 7:15 pagi ini. Ayah mengantarkanku ke
Bandara Juanda Surabaya bersama Bunda. Di pintu keberangkatan Ayah dan Bunda
bergantian memelukku.
“Sampai Jakarta langsung kabari Bunda ya,
sayang.”
“Om Rio sudah Ayah hubungi. Nanti dia yang
akan jemput kamu di bandara. Langsung aktifkan ponselmu setelah pesawat turun
biar kalau Om Rio telfon jadi gampang.”
Ayah dan Bunda bergantian berpesan. Aku hanya
mengangguk, memeluk mereka, dan menatap mereka haru. Bergegas aku mendorong
koper menuju booth chek-in bagasi. Setelah menerima boarding pass aku berjalan ke
arah tangga menuju gate 1 tempatku menunggu pesawat. Aku masih punya waktu
sekitar empat puluh lima menit sebelum panggilan masuk ke pesawat. Waktu yang
cukup lama ini aku gunakan untuk scrolling media sosial. Tiba-tiba ada
keinginanku untuk membuka blokir akun Vino yang pernah kublok beberapa tahun
silam. Antara ragu dan benar-benar ingin aku menggerakkan layar naik turun. Akhirnya
unblocked.
Setelah itu ada satu panggilan dari Rima.
“Udah di Bandara? Sorry ya ga bisa
nganter. Telat bangun, nih” Suara Rima yang nyaring mengudara.
“Tenang aja. Tinggal nunggu pesawat boarding
aja. Bakal kangen banget nih sama kamu, Bes…”
“Pasti lah. You’ll miss me every day.
Jangan lupa buat telepon aku ya. Awas kalau pura-pura lupa karena udah jadi
anak Jekardah.”
“Iya, Bawel. Rim…”
“Iya…”
“Aku abis unbloked semua akun Vino.”
“Heh? Yakin?”
Aku menggumam.
“Ya, kamu sendiri yang bilang kalau kamu
pengen suasana baru di Jakarta. Dengan buka blokirannya, tuh orang bisa dengan
mudah tau posisi kamu sekarang dimana. Disamperin di Jakarta baru tahu rasa
kamu.”
“Ga akan.”
“Halah. Ga akan gimana? Awas aja ya kalo
kamu ada apa-apa ga usah minta bantuan sama aku.”
“Rima, please.”
Rima menutup telepon. Sepertinya ia sebal
kepadaku yang tidak konsisten ini.
Panggilan boarding baru saja kudengar.
Bergegas aku menuju ke petugas yang mengarahkanku ke garbarata. Di lorong
garbarata ini aku mengambil gambar kemudian aku memasang story di Instagram dengan
narasi: Wait me! Hei, Jakarta. Setelah menemukan kursiku dan merapikan seatbelt,
aku sentuh ikon turn off di layar. Aku ingin tidur selama enam puluh
menit perjalanan ini.
Om Rio, saudara jauh ayahku sudah menunggu
tepat di sebelah pintu keluar terminal 3 Bandara Soetta. Setelah aku mengambil
koper di conveyor belt 10, aku menuju imana yang dipandu oleh Om Rio melalui
telepon. Aku langsung bisa mengenali tubuh tegap dengan kemeja yang tangannya
dipilin ke atas itu karena memang kita sering bertemu.
“Welcome to Jakarta, Ya. How’s
life?” sapa Om Rio.
“Baik, Om. Sehat semua, Om?”
“Every thing’s fine. Apartemen kamu
di daerah Kelapa Gading, ya?”
Aku mengangguk.
Aku berjalan mengikuti Om Rio hingga ke tempat
dimana ia memarkir mobilnya. Setelah itu, ia mengajakku ke rumahnya untuk
bertemu dengan istri dan anaknya sebelum mengantarkan aku ke apartemen di siang
harinya. Melihat suasana Jakarta dari kaca, ada harapan besar dalam hatiku
untuk sebuah masa depan. Suasana baru yang aku impikan benar-benar harus
terwujud selama aku berada di kota ini. Namun, harapan itu tiba-tiba menyingkir
perlahan saat sebuah panggilan mendarat di ponselku. Vino.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar